Hiruk pikuk para pendukung Anas yang menilai pencabutan hak politik Anas tidak berdasarkan fakta persidangan tentu harus dibantah. Menjelang pembacaan vonis terhadap Anas Urbaningrum yang kini menjadi terdakwa perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang, ada upaya untuk mengintimidasi majelis hakim Pengadilan Tipikor dengan pengembangan opini bahwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat (PD) itu tidak bersalah. Ini jelas merupakan bentuk intervensi hukum yang justru dibawa pendukung Anas ke ranah politik.
Namun kita tentu tetap optimis palu majelis hakim lebih tajam dari opini-opini pendukung Anas. Dan perlu diingat bahwa upaya pembentukan opini itu sulit dilakukan karena sudah ada beberapa orang yang dijatuhi hukuman karena terkait kasus yang melibatkan Anas. Nazarudin, Wafid, Anggie dan Andi M tentu terkait dengan bukti yang didapatkan penyidik KPK untuk menjerat Anas dengan gartifikasi dan tindak pidana pencucian uang.
Dengan bukti-bukti yang ada di KPK tentu tak ada landasan lagi bagi majelis hakim untuk memutuskan Anas bersalah dan mencabut hak politik terdakwa. Pencabutan hak politik Anas tentu berdasarkan beberapa kasus yang menjadi rujukan hukum. Pencabutan hak politik sudah pernah diterapkan terhadap terpidana korupsi lainnya, yakni mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Djoko Susilo, dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq.
Jika Majelis hakim tidak mencabut Hak politik Anas ini menjadi kemunduran bagi semangat pemberantasan korupsi. Semangat MA ketika menetapkan pencabutan hak politik seorang koruptor seharusnya bisa memberi inspirasi para hakim-hakim dalam menetapkan putusan dengan tegas tanpa kompromi. Karena putusan hakim akan menentukan wajah hukum Indonesia ke depan.
Kita turut prihatin juga dengan slogan-slogan yang disuarakan pendukung Anas dengan hastag #beraniadilhebat tentu bisa dimaklumi karena dibenak mereka yang ada hanyalah bahwa Anas tak bersalah. Upaya untuk membuat opini seolah Anas demi keadilan harus dibebaskan sangat sulit dilakukan karena opini publik yang sudah berkembang dengan masif, Sulit rasanya untuk tidak memutus bersalah terlebih Anas sendiri tidak bisa membuktikan darimana dia mendapatkan kekayaannya.
Jika majelis hakim memutuskan Anas bebas, justru vonis itu akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada lembaga peradilan dan upaya pemberantasan korupsi. Publik justru mengarapkan rasa keadilan dan menuntut pelaku korupsi dihukum berat. Dalam hukum ada asas rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dengan pemikiran yang jernih, sulit rasanya saya melihat Anas dibebaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H