Mohon tunggu...
Ibu lanaga
Ibu lanaga Mohon Tunggu... Wiraswasta - Head of Sekolah Ibu Peradaban

Ibu rumah tangga yang biasa berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sesat Demokrasi dan Urgensi Kesadaran Politik Peradaban

1 November 2024   09:10 Diperbarui: 1 November 2024   09:10 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesat Demokrasi dan Urgensi Kesadaran Politik Peradaban


oleh: IbuLanaga

Harapan Kosong Demokrasi: Sebuah Pengantar

Kembali, pesta demokrasi menjanjikan harapan. Pemilu presiden awal tahun lalu dengan berbagai drama politiknya telah secara resmi menghasilkan satu kabinet baru, Kabinet Merah Putih, di bawah kepemimpinan Prabowo - Gibran; kabinet gemoy yang sarat dengan bagi-bagi kue kekuasaan. Kepemimpinan baru dengan tim kabinetnya ini pun menjanjikan harapan-harapan yang bisa dipastikan hanyalah bualan.

Tidak hanya di level pemerintahan pusat, pesta demokrasi pun berlangsung di daerah. Parpol-parpol berebut kemenangan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang secara serentak diselenggarakan pada bulan November 2024 mendatang. Rayuan para calon pun disampaikan baik dalam visi misi maupun debat pilkada. Hasil akhirnya, bisa dipastikan rakyat kembali menjadi korban.

Secara global, tidak kurang dari 40 negara di dunia menyelenggarakan pemilu di tahun 2024. Lebih dari 4 milyar orang populasi dunia terlibat dalam pesta demokrasi.  Sebagai gambaran, dari 10 negara dengan jumlah populasi paling besar di dunia, tujuh di antaranya menyelenggarakan pemilu tahun ini. Ketujuh negara itu adalah India, Amerika serikat, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Rusia, dan Mexico. Tentu, pemilu AS sebagai kampiun demokrasi menyita perhatian dunia. Akankah berbagai pemilu di dunia khususnya AS akan membawa dunia pada keadaan yang baik? Bisa dipastikan tidak.

Demokrasi, Kepemimpinan Peradaban Barat, dan Kompleksitas Penderitaan Dunia Islam

Demokrasi, sejak kemunculannya sebagai sebuah sistem politik pemerintahan yang merupakan bagian dari ideologi kapitalisme sekuler telah membawa bencana besar bagi umat manusia khususnya dunia Islam. Betul memang bahwa demokrasi telah mengantarkan Barat keluar dari kediktatoran pemerintahan teokrasi dan menuju kebangkitan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa kebangkitan tersebut adalah kebangkitan semu. Demokrasi yang juga sepaket dengan konsepsi politik kapitalisme sekuler lainnya juga telah menjadikan Amerika Serikat muncul sebagai Adidaya yang memimpin peradaban baru, peradaban kapitalistik materialistik. Sementara dunia Islam, semenjak mengadopsi demokrasi, Umat semakin jatuh dalam keterpurukan, masuk dalam permainan kepentingan negara-negara Barat.

Tidak ada tragedi yang sangat besar sekaligus memilukan bagi Dunia Islam kecuali runtuhnya Khilafah Islam. Keruntuhan Khilafah menimbulkan dampak malapetaka dahsyat yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, yakni munculnya penguasa yang menjadi agen negara kafir imperialis dan adanya penerapan sistem kufur di tengah-tengah umat.

Dua musibah itu menimpa umat Islam di seluruh dunia. Musibah pertama, yakni penguasa yang menjadi agen Barat. Di Indonesia, keberpihakan penguasa terhadap kepentingan asing begitu kuat, tercermin dalam berbagai kebijakan yang ada, yaitu liberalisasi sektor minyak dan gas, sekularisasi pendidikan, dsb. Sementara itu, di negeri muslim lainnya, salah satu contoh nyata pengkhianatan penguasa Muslim adalah membiarkan pembantaian Muslim Palestina oleh entitas zionis Yahudi, pembantaian yang berlangsung berpuluh-puluh tahun. Bahkan kini invasi militer meluas hingga Lebanon. Konon, mereka hendak membangun Israel Raya yang membentang dari Lebanon ke Arab Saudi!

Musibah kedua yang menjadi tragedi bagi kaum muslimin adalah penerapan sistem dan aturan kufur di negeri-negeri Islam. Secara faktual, dalam hal sistem politik, tidak ada satu pun negeri Islam yang menerapkan sistem Islam. Kebanyakan mereka menerapkan sistem republik yang berlandaskan demokrasi sekuler dan sistem monarki (kerajaan). Akibatnya, lahir dari sistem politik tersebut sistem hukum dan aturan yang tidak berlandaskan Islam. Di Indonesia, misalnya, setelah sekian lama menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda, pada tahun 2023 disahkan KUHP menjadi UU No. 1/2023 yang diklaim buatan bangsa Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan KUHP warisan Belanda, KUHP versi Indonesia ini pun banyak yang bertentangan dengan syariah Islam, seperti pasal-pasal tentang pornografi, perzinaan, minuman keras, dan lainnya. Selain KUHP, banyak lagi undang-undang yang berlaku di Indonesia yang bertentangan dengan Islam. Negara Arab Saudi yang dikenal publik sangat memegang prinsip Islam ternyata dalam hal yang paling fundamental, yakni sistem politik, mengadopsi sistem monarki absolut atau kerajaan yang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Belum lagi sistem sosial yang semakin liberal, dan militer yang terikat dengan Barat. Seiring berjalannya waktu, proses demokratisasi pun terjadi di Timur Tengah termasuk Arab Saudi. Gelombang Arab Spring menjadi momen tumbuhnya demokrasi di kawasan Timur Tengah.

Mengapa Umat Menerima Demokrasi

Setelah Daulah Khilafah dihancurkan dan Umat berada dalam kesempitan hidup luar biasa yang notabene akibat penerapan sistem demokrasi, justru Umat dijebak untuk terus memegang demokrasi. Di dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilfah diungkapkan bahwa orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum muslim tidak akan pernah menerima demokrasi  dengan pengertiannya yang hakiki. Karena itu, negara-negara penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri muslim melalui upaya penyesatan (tahdhlil), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa. Negeri-negeri kaum muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka berada dalam sistem kerajaan maupun republik. Kaum kafir memasarkan demokrasi di negeri-negeri muslim sebagai aktivitas memilih penguasa agar nanti terpilih penguasa yang bisa menghilangkan semua kesempitan tersebut.  Mereka berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya  para syaikh, mengambil tipuan itu; baik dengan niat baik maupun buruk.

Demikianlah, Umat di berbagai negeri Islam dikacaukan pikirannya agar menerima demokrasi. Menyebarnya demokrasi ke berbagai penjuru dunia khususnya dunia Islam, tidak lepas dari kebijakan politik luar negeri AS dengan posisi AS yang semakin muncul pasca Perang Dunia II dan semakin meningkat pasca hadirnya AS sebagai adidaya Tunggal pasca Perang Dingin. Menurut Fawaz A. Gerges, semangat untuk penerapan demokrasi di luar negeri merupakan hal yang selalu ada dalam politik luar negeri AS. Agar demokrasi tetap eksis, AS tidak akan segan-segan  menjatuhkan sanksi politik, ekonomi, dan militer kepada negara-negara yang dianggap tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Hal ini tentu dilakukan AS dengan menggunakan instrumen internasional seperti PBB . Untuk senantiasa menjaga demokratisasi di berbagai negara, berdasarkan resolusi yang diadaptasi dalam sidang Umum PBB  8 November 2007, tiap tanggal 15 September diperingati sebagai Hari Demokrasi Internasional. Sidang Umum PBB mnegundang semua negara anggota untuk memperingati hari tersebut demi memperkuat demokrasi (yang dipromosikan sebagai nilai universal) serta meningkatkan kesadaran masyarakat yang lebih luas.

Kenyataan pahit penerimaan umat terhadap demokrasi baik ketika Khilafah masih ada (di masa-masa kelemahan dan sebelum keruntuhannya) maupun di masa setelah Khilafah runtuh hingga saat ini menunjukkan fakta jauhnya umat bahkan ulama dan aktivis Islam dari pemahaman yang lurus tentang demokrasi. Hal ini diakibatkan oleh kesadaran politik yang rendah di tengah umat mengenai perbedaan fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat.  Selain itu, penerimaan umat terhadap demokrasi tidak lepas dampak kuatnya hegemoni AS (yang didukung oleh instrumen internasional seperti PBB) dalam menyebarkan demokrasi dan kebebasan ke berbagai penjuru dunia.

Mendebat Demokrasi

Sebelum kita masuk mendebat/membantah  demokrasi, kita harus memahami fakta sistem Demokrasi, agar bantahan itu menjadi bantahan terhadap realita demokrasi sesungguhnya sesuai pemahaman orang-orang kapitalis, bukan berdasarkan pemahaman yang kacau di tengah umat akibat terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran Barat.


Abraham lincoln, presiden Amerika ke-16 menyatakan bahwa  demokrasi adalah "pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Statement ini yang kemudian banyak dikenal masyarakat dunia tentang apa itu demokrasi. Lincoln meyakini bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang memberikan kekuasaan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sejati.  

Sementara itu, menurut John Locke, demokrasi adalah pemerintahan di mana kekuasaan legislatif dan eksekutif berada dalam tangan orang banyak. Adapun, Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan di mana kehendak umum rakyat menjadi hukum.

Demokrasi (yang realitanya hari ini diterapkan di berbagai penjuru dunia) berasal dari ideologi Kapitalisme sekuler. Sebagaimana diungkap dalam Kitab Nidzhamul Islam, bahwa sistem demokrasi datang dengan pandangan bahwa manusialah yang membuat aturan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, rakyat adalah sumber kekuasaan, dan rakyatlah yang membuat sistem-sistemnya. Rakyatlah yang mempekerjakan penguasa untuk memerintah mereka. Rakyat pula yang akan menurunkan penguasa kapan pun sesuai kehendaknya. Rakyat yang membuat sistem pemerintahan yang diinginkan karena pemerintahan adalah kontrak kerja antara rakyat dengan penguasa.  

Ciri paling menonjol dalam konsepsi demokrasi adalah:
1.kedaulatan milik rakyat secara mutlak
2.kehendak mayoritas merupakan sesuatu yang diagungkan/dikuduskan.
3.pendapat mayoritas merupakan standar kebenaran.
4.akal merupakan satu-satunya rujukan untuk membuat undang-undang.

Dengan demikian, bisa kita gali bahwa asas dari demokrasi adalah akal manusia adalah al-Hakim dan bahwa pendapat mayoritas adalah hal yang harus diagungkan. Padahal, secara rasional, menjadikan akal sebagai al-Hakim atas perbuatan dan benda  dari aspek terpuji dan tercela dan dari aspek baik dan buruk adalah hal yang tidak mungkin terwujud dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam akal atas hal demikian. Masih secara rasional, mengenai asas pengkudusan pendapat mayoritas, maka demokrasi melabeli rakyat dengan sifat ishmah (terjaga dari kesalahan). Hal ini akan mengantarkan rakyat (atau yang mewakilinya) kepada sikap kesewenang-wenangan.

Adapun secara praktik, maka demokrasi telah jauh dari apa yang menjadi konsepsi. Apa yang dikatakan sebagai kedaulatan rakyat sesungguhnya hanyalah omong kosong.  Berapa banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh yang katanya wakil rakyat justru tidak mencerminkan keinginan rakyat. Yang terjadi, justru kebijakan-kebijakan tersebut berpihak kepada kaum kapitalis, bukan pada rakyat! Dengan demikian, demokrasi cacat sejak lahir. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS). "Demokrasi sudah cacat sejak lahir. Demokrasi tidak mungkin tanpa demokrasi perwakilan. Lalu apakah 1000 orang mewakili 240 juta rakyat? Tidak. Padahal dalam sistem demokrasi semua rakyat ikut mengurus negara," katanya.

Apa yang ada dalam benak masyarakat bahwa demokrasi bisa melahirkan penguasa yang bisa mengeluarkan mereka dari kemiskinan, penindasan, dll. juga adalah sebuah utopia. Faktanya, masyarakat terus berada dalam lingkaran kemiskinan tak berkesudahan, kriminalitas luar biasa, kezaliman, dsb.  Yang terjadi, justru demokrasi menjadi alat lahirnya para penguasa oligarki. Biaya politik yang mahal telah memastikan bahwa hanya mereka yang bermodal besar (para oligarki) yang mampu naik ke kekuasaan. Tentu mereka akan menjadikan kekuasaan sebagai jalan memperkaya diri/keluarga dan partai politiknya. Demikianlah fakta yang terjadi. Oleh karena itu, pernyataan bahwa demokrasi akan lahirkan penguasa yang melayani kepentingan rakyat adalah bualan. Sebagai implikasi lebih luas, berharap tatanan dunia menjadi beradab pada sistem demokrasi yang dipimpin penerapannya oleh AS juga merupakan harapan kosong yang menyesatkan.

Hal yang harus juga umat harus cerdas menilai demokrasi, yakni wacana bahwa demokrasi sedang berproses. Jadi, buruknya demokrasi di negeri ini yakni ketika melahirkan budaya korupsi dan oligarki misalnya, hal ini dinilai bagian dari proses demokrasi. Oleh karenanya, menurut mereka harus ada terus penyadaran tentang demokrasi . Demokrasi terus melakukan tambal sulam atas dirinya. Padahal, secara konsepsi, demokrasi adalah sistem bathil; secara praktik, dia adalah sistem utopis. Jadi, berharap pada demokrasi yang katanya sedang berproses adalah kebodohan dan kesia-siaan.

Demokrasi VS Khilafah

Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan dalam ideologi Kapitalisme sekuler dan yang menopang lahirnya peradaban Barat memiliki pertentangan yang amat jauh dengan sistem pemerintahan Khilafah Islam yang merupakan kunci terwujudnya peradaban Islam yang luhur.

Pertentangan tersebut bisa dilihat dalam tiga aspek yakni sumber kelahiran, asas yang mendasarinya, serta pilar-pilarnya.  Dari sumber kelahiran, demokrasi lahir dari akal terbatas manusia, sementara khilafah lahir dari wahyu Tuhan-nya manusia. Dari asas yang mendasari, demokrasi didasarkan pada sekularisme, sementara Khilafah didasarkan pada aqidah Islam. 

Adapun musyawarah ( Asy-Syura) dalam Islam, sangat jauh berbeda dengan demokrasi.  Asy-Syura merupakan pengambilan pendapat. Dalam aspek pemerintahan, syura dilakukan oleh Khalifah atau seorang Amir. Dalam Islam, syura hanya berlaku khusus bagi kaum muslimin dan sesama mereka. Khalifah dalam mengambil pendapat dibatasi dalam tiga kondisi. Pertama, Jika hal tersebut adalah dalam syariat/tasyri', maka harus merujuk pada dalil saja. Kedua, dalam hal ketepatan strategi, dalam bermusyawarah, Khalifah harus meujuk kepada ahli/expert. Adapun dalam hal pelaksanaan aktivitas, maka Khalifah boleh bermusyawarah dengan dengan kaum muslimin, dan pendapat mayoritas adalah mengikat.  Adapun dalam demokrasi, pendapat mayoritas adalah standar kebenaran, dan semua perkara bisa dibahas menggunakan suara mayoritas. Dengan demikian, syuro dalam Islam sangat jauh berbeda dengan demokrasi.

Dengan demikian, demokrasi adalah sistem kufur, sedikitpun tidak ada kaitannya dengan Islam. Oleh karena itu haram bagi kaum muslimin untuk mengambilnya, menerapkannya, dan menyebarluaskannya!

Khatimah: Urgensi Kesadaran Politik Peradaban bagi Muslimah

Negeri ini, dunia Islam, bahkan dunia pada umumnya membutuhkan hadirnya peradaban yang menyelamatkan. Tidak lain peradaban tersebut adalah peradaban Islam, yakni sekumpulan konsep/mafahim Islam tentang kehidupan yang mewujud dalam kenyataan. Artinya, dunia diatur oleh Islam. Dan, inilah politik Islam, yakni pengaturan urusan umat oleh Islam baik dalam hal urusan dalam negeri maupun luar negeri.  Kesadaran akan hal ini, yakni bagaimana umat diatur oleh Islam saja dan bagaimana peradaban Islam yang harus hadir menyinari dunia, inilah kesadaran politik peradaban Islam.

Peradaban Islam yang hadirnya kembali merupakan sebuah kepastian, tentu haruslah diperjuangkan, dan menjadi sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk terlibat mewujudkannya. Tidak sembarangan, perjuangannya pun memiliki syarat, yakni harus sesuai dengan jalan yang digariskan syariat, yakni jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Sedikit saja melenceng, maka tidak akan sampai pada tujuan.  Demokrasi yang masih ditempuh oleh sebagian besar umat bahkan mendapatkan legitimasi para ulama , bukanlah jalan yang disyariatkan oleh Islam.  Demokrasi adalah tsaqafah Barat, bagian dari peradaban Barat; bukan  tsaqafah Islam, bukan bagian dari peradaban Islam. Oleh karenanya, demokrasi bukanlah jalan perubahan menuju tegaknya Islam. Berharap syariat tegak melalui jalan demokrasi adalah sebuah angan-angan, sampai kapanpun tidak akan terwujud dalam kenyataan. Tidak pernah tercatat bahwa perjuangan Islam melalui jalur demokrasi sampai pada keberhasilan. Oleh karena itu, harus terus disuarakan tentang kufurnya sistem demokrasi serta utopis dan rusaknya sistem sesat ini. Umat harus membuang kepercayaan mereka terhadap demokrasi, baik umat dari kalangan remaja, mahasiswa, intelektual, ulama, tokoh pada umumnya, dan seterusnya.

Muslimah, sebagai bagian penting dari umat ini, adalah tonggak peradaban. Dari muslimah, lahirlah generasi pejuang yang kelak in syaa Allah akan menyaksikan tegaknya Khilafah Islam dan mengisinya dengan karya-karya keumatan. Muslimah , mereka pula support system terbaik bagi para suami/keluarga mereka dalam mewujudkan keluarga pejuang peradaban Islam. Oleh karena itu, urgen bagi muslimah untuk memiliki kesadaran politik peradaban yang dengannya umat akan keluar dari kezaliman peradaban kapitalisme sekuler demokrasi menuju keagungan peradaban Islam.

Wallahu a'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun