Setelah Daulah Khilafah dihancurkan dan Umat berada dalam kesempitan hidup luar biasa yang notabene akibat penerapan sistem demokrasi, justru Umat dijebak untuk terus memegang demokrasi. Di dalam kitab Ajhizatu ad-Daulah al-Khilfah diungkapkan bahwa orang-orang kafir memahami betul bahwa kaum muslim tidak akan pernah menerima demokrasi  dengan pengertiannya yang hakiki. Karena itu, negara-negara penjajah (khususnya AS saat ini) berusaha memasarkan demokrasi di negeri-negeri muslim melalui upaya penyesatan (tahdhlil), bahwa demokrasi merupakan alat untuk memilih penguasa. Negeri-negeri kaum muslim saat ini sedang ditimpa penindasan, kezaliman, pembungkaman, dan tindakan represif penguasa diktator, baik mereka berada dalam sistem kerajaan maupun republik. Kaum kafir memasarkan demokrasi di negeri-negeri muslim sebagai aktivitas memilih penguasa agar nanti terpilih penguasa yang bisa menghilangkan semua kesempitan tersebut.  Mereka berupaya menutupi dan menyembunyikan bagian mendasar dari demokrasi itu sendiri, yaitu tindakan menjadikan kewenangan membuat hukum serta menetapkan halal dan haram berada di tangan manusia, bukan di tangan Tuhan manusia. Bahkan sebagian aktivis Islam, termasuk di antaranya  para syaikh, mengambil tipuan itu; baik dengan niat baik maupun buruk.
Demikianlah, Umat di berbagai negeri Islam dikacaukan pikirannya agar menerima demokrasi. Menyebarnya demokrasi ke berbagai penjuru dunia khususnya dunia Islam, tidak lepas dari kebijakan politik luar negeri AS dengan posisi AS yang semakin muncul pasca Perang Dunia II dan semakin meningkat pasca hadirnya AS sebagai adidaya Tunggal pasca Perang Dingin. Menurut Fawaz A. Gerges, semangat untuk penerapan demokrasi di luar negeri merupakan hal yang selalu ada dalam politik luar negeri AS. Agar demokrasi tetap eksis, AS tidak akan segan-segan  menjatuhkan sanksi politik, ekonomi, dan militer kepada negara-negara yang dianggap tidak menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Hal ini tentu dilakukan AS dengan menggunakan instrumen internasional seperti PBB . Untuk senantiasa menjaga demokratisasi di berbagai negara, berdasarkan resolusi yang diadaptasi dalam sidang Umum PBB  8 November 2007, tiap tanggal 15 September diperingati sebagai Hari Demokrasi Internasional. Sidang Umum PBB mnegundang semua negara anggota untuk memperingati hari tersebut demi memperkuat demokrasi (yang dipromosikan sebagai nilai universal) serta meningkatkan kesadaran masyarakat yang lebih luas.
Kenyataan pahit penerimaan umat terhadap demokrasi baik ketika Khilafah masih ada (di masa-masa kelemahan dan sebelum keruntuhannya) maupun di masa setelah Khilafah runtuh hingga saat ini menunjukkan fakta jauhnya umat bahkan ulama dan aktivis Islam dari pemahaman yang lurus tentang demokrasi. Hal ini diakibatkan oleh kesadaran politik yang rendah di tengah umat mengenai perbedaan fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat. Â Selain itu, penerimaan umat terhadap demokrasi tidak lepas dampak kuatnya hegemoni AS (yang didukung oleh instrumen internasional seperti PBB) dalam menyebarkan demokrasi dan kebebasan ke berbagai penjuru dunia.
Mendebat Demokrasi
Sebelum kita masuk mendebat/membantah  demokrasi, kita harus memahami fakta sistem Demokrasi, agar bantahan itu menjadi bantahan terhadap realita demokrasi sesungguhnya sesuai pemahaman orang-orang kapitalis, bukan berdasarkan pemahaman yang kacau di tengah umat akibat terkooptasi oleh pemikiran-pemikiran Barat.
Abraham lincoln, presiden Amerika ke-16 menyatakan bahwa  demokrasi adalah "pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat." Statement ini yang kemudian banyak dikenal masyarakat dunia tentang apa itu demokrasi. Lincoln meyakini bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang memberikan kekuasaan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan yang sejati. Â
Sementara itu, menurut John Locke, demokrasi adalah pemerintahan di mana kekuasaan legislatif dan eksekutif berada dalam tangan orang banyak. Adapun, Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan di mana kehendak umum rakyat menjadi hukum.
Demokrasi (yang realitanya hari ini diterapkan di berbagai penjuru dunia) berasal dari ideologi Kapitalisme sekuler. Sebagaimana diungkap dalam Kitab Nidzhamul Islam, bahwa sistem demokrasi datang dengan pandangan bahwa manusialah yang membuat aturan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu, rakyat adalah sumber kekuasaan, dan rakyatlah yang membuat sistem-sistemnya. Rakyatlah yang mempekerjakan penguasa untuk memerintah mereka. Rakyat pula yang akan menurunkan penguasa kapan pun sesuai kehendaknya. Rakyat yang membuat sistem pemerintahan yang diinginkan karena pemerintahan adalah kontrak kerja antara rakyat dengan penguasa. Â
Ciri paling menonjol dalam konsepsi demokrasi adalah:
1.kedaulatan milik rakyat secara mutlak
2.kehendak mayoritas merupakan sesuatu yang diagungkan/dikuduskan.
3.pendapat mayoritas merupakan standar kebenaran.
4.akal merupakan satu-satunya rujukan untuk membuat undang-undang.
Dengan demikian, bisa kita gali bahwa asas dari demokrasi adalah akal manusia adalah al-Hakim dan bahwa pendapat mayoritas adalah hal yang harus diagungkan. Padahal, secara rasional, menjadikan akal sebagai al-Hakim atas perbuatan dan benda  dari aspek terpuji dan tercela dan dari aspek baik dan buruk adalah hal yang tidak mungkin terwujud dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam akal atas hal demikian. Masih secara rasional, mengenai asas pengkudusan pendapat mayoritas, maka demokrasi melabeli rakyat dengan sifat ishmah (terjaga dari kesalahan). Hal ini akan mengantarkan rakyat (atau yang mewakilinya) kepada sikap kesewenang-wenangan.
Adapun secara praktik, maka demokrasi telah jauh dari apa yang menjadi konsepsi. Apa yang dikatakan sebagai kedaulatan rakyat sesungguhnya hanyalah omong kosong. Â Berapa banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh yang katanya wakil rakyat justru tidak mencerminkan keinginan rakyat. Yang terjadi, justru kebijakan-kebijakan tersebut berpihak kepada kaum kapitalis, bukan pada rakyat! Dengan demikian, demokrasi cacat sejak lahir. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh J. Kristiadi, Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS). "Demokrasi sudah cacat sejak lahir. Demokrasi tidak mungkin tanpa demokrasi perwakilan. Lalu apakah 1000 orang mewakili 240 juta rakyat? Tidak. Padahal dalam sistem demokrasi semua rakyat ikut mengurus negara," katanya.