Aku tidak tahu mengapa makin lama aku semakin ragu dengan keputusanku dulu. Keputusan untuk berkomitmen dengan dia, Ian, satu-satunya cowok yang pernah dan sekarang masih menjabat sebagai kekasihku. Aku ragu dan semakin merasa aku sangat tidak cocok untuknya. Dia yang cerdas, memiliki banyak teman, santun dan ganteng bersandingkan dengan aku, anak biasa dari kampung dengan tinggi badan rata-rata bawah, kulit gelap, muka tanpa make-up, kemampuan akademis biasa saja, dan dari kampung pula. Semakin lama aku semakin merasa jauh untuknya. Entahlah…
Ketika teman-teman untuk pertama kalinya melihat dia datang ke kosan, semua, termasuk aku mengira dia datang hanya untuk main biasa, saling mengunjungi kosan teman, begitu. Tetapi ternyata itu salah. Aku yang belum pernah mengenal apa itu cinta, apa itu pacar, merasa biasa saja bahkan ketika dia datang untuk kesekian kalinya dengan martabak telur seperti biasa, dua porsi besar, satu untuk teman-teman kosanku dan satu untuk kita berdua, meski ujung-ujungnya yang makan anak kosan juga karena kita memang kurang suka haha.
Kunjungan pertama, biasa. Kunjungan kedua, biasa juga. Kunjungan ketiga, itulah muaranya, ternyata. Seumur hidupku baru pertama aku mendengar ada seorang cowok yang itu bukan kakak atau adikku berkata, “Syifa, kamu baik. Boleh tidak aku menjadi orang yang selalu ada untuk Syifa setiap Syifa butuh teman, yang selalu mendukung Syifa, orang yang ada dalam duka dan suka Syifa? Maukah Syifa ada dan mendampingi Ian dalam sedih dan senyum Ian?” Beberapa kalimat yang dia lontarkan dengan senyum dan pandangan yakin, tanpa bunga, tanpa genggaman hangat tangan, hanya kata yang kau ucapkan. Lantas dengan polosnya aku hanya terdiam, tanpa kata “iya” untuk mengiyakan ataupun gelengan kepala tanda menolak. Aku hanya mampu terdiam dan diamku itu ternyata berarti “iya”, baginya, bagiku, bagi kita dan juga bagi yang lainnya. Resmilah kemudian, a new couple is coming, Ian Si aktif dan santun dan Syifa Si gadis biasa saja.
Trisemester pertama semua berlangsung normal dan dalam kategori hubungan yang berhasil baik. Aku dan dia, ada berdua saling mendukung dalam kebersamaan kami yang bisa dihitung dengan jari. Dia tetap tersenyum setiap kali bertemu, meski tidak lantas menghampiri atau mengajak jalan bersama, senyum dukungan. Ya, memang aku dan dia jarang sekali bersama di depan orang lain, selain penghuni kosanku tentunya. Bukan mau backstreet, tapi aku yang selalu menghindar untuk bersama dengannya di depan anak-anak. Aku masih ragu dan tentu kurang pede berada di sampingnya. Maka aku mau dia duduk di sampingku hanya ketika kita di kosan atau ketika kita berada di tempat rahasia kita, taman wisata di kawasan Gunung Ungaran, tempat dia asyik berenang dan aku pun asyik duduk di tangga-tangga di sekitar kolam, dengan laptop ku, menungguinya berenang setelah menikmati sarapan pagi, nasi, sayur kangkung dan tempe goreng, menu kesukaannya, hasil masakanku. Selalu seperti itu setiap akhir pekan, dan acara akan dilanjutkan dengan makan sian bersama, ayam bakar dan telur asin, menu favoritnya yang kemudian aku pun mulai menyukai menu itu.
Entah mengapa, aku hanya bisa diam dalam apa yang aku alami sekarang. Mengiyakan tidak, menolak juga tidak. Aku baru sadar kalau ternyata aku juga menyayanginya tepat satu minggu sebelum insiden itu terjadi. Penolakan pertamaku untuk menemaninya berkemah dan mendaki Gunung Gede Pangrango. Aku sudah mengiyakan sebenarnya, tetapi aku harus menolaknya kemudian. Yah, aku tak mampu kalau harus melihatnya ditertawakan teman-temannya hanya karena ia berada di sana bersandingkan diriku, gadis biasa bukan bersandingkan dengan Tara atau Santi, dua dari teman sekelasnya yang luar biasa, plus dalam akademis juga plus dalam publisitas. Penolakan yang aku tahu sangat menyakitkan baginya. Tapi aku sungguh tak sanggup. Aku tidak berani. Aku takut dia ditertawakan oleh teman-temannya. Aku takut dia malu. Aku takut menjadi benalu baginya. Aku tidak mau. Aku takut melihat gurat kesedihan di wajahnya yang bersih, meski kini aku telah menggambar sendiri guratan sedih itu, meski baru satu guratan tapi mungkin akan berlanjut dengan guratan-guratan kesedihan berikutnya. Aku sudah memutuskan. Ya, aku akan pergi dari sisinya, entah sementara atau selamanya. Liburan ini dan dilanjutkan dengan bulan-bulan setelah liburan ini aku akan pergi. Menjauh darinya. Aku tidak akan tinggal di kos ku lagi, meski statusku masih anak kos itu. Aku akan tinggal di kota lain sambil menyelesaikan skripsiku. Aku akan datang ke kampus hanya untuk bimbingan atau melengkapi buku-buku referensiku dan itu hanya dua kali dalam seminggu, Rabu dan Jumat, hari dimana dia sibuk dengan teman-teman Pecinta Alam dan SARnya. Kebetulan aku diterima mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota lain dan mereka memperkenankanku bekerja di sana sambil menyusun skripsiku.
Aku memilih jalan ini untuk menghindarinya, entah sementara atau selamanya. Entahlah. Setidaknya aku tidak akan melihat dia ditertawakan teman-temannya karena ada bersamaku dan aku tidak perlu repot mencari alasan untuk menolak tampil bersamanya di muka teman-temannya. Aku masih belum yakin aku mampu ada bersamanya. Aku masih belum yakin aku pantas untuknya. Maafkan aku untuk guratan-guratan kesedihan yang aku gambar di wajahmu, Ian. Semoga kelak aku bisa merasa yakin berdiri di sampingmu, entah kapan.
Maaf untuk guratan itu, Kawan.
Rumah damai, 1 July 2011- 20.20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H