Pada Rapat Kerja Komisi VIII DPR-RI dengan Kementerian Agama (11/5), Menteri Agama Fachrul Rozi menyatakan akan mempertimbangkan relaksasi pembatasan tempat ibadah, sehubungan dengan kebijakan relaksasi PSBB yang dilakukan Pemerintah. Namun pada 15 Mei, Sekjen Kemenag menganulir pernyataan tersebut.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa tempat ibadah, utamanya masjid, bagi masyarakat bukan lagi sebatas ikatan agama, tapi juga ikatan sosial. Pembatasan kegiatan tempat ibadah di saat aktivitas lain sudah dilonggarkan tentu menyakiti hati sebagian besar umat islam.Â
Relaksasi seharusnya dipertimbangkan untuk menciptakan ketenangan umat beragama, dengan tetap memperhatikan aturan-aturan Covid-19, seperti physical distancing.Â
Di beberapa masjid, ada yang tetap menyelenggarakan ibadah dengan memberi jarak antar jamaah dan penggunaan sajadah pribadi, dan sejauh ini tidak muncul klaster penyebaran baru dari masjid-masjid tersebut.
Padahal, berdasarkan fatwa MUI terkait ibadah di masa pandemi, penyelenggaraan ibadah yang mengumpulkan orang banyak tidak boleh dilakukan hanya pada kawasan yang penyebaran Covid-19nya tidak terkendali.Â
Untuk kawasan yang masih terkendali (zona hijau), MUI bahkan memfatwakan tetap wajib untuk sholat Jumat. Oleh karena itu, konteks pembatasan ibadah di tempat ibadah sangat bergantung situasi dan kondisi kawasan.
Selain itu, Menteri Agama seharusnya mampu menegakkan wibawanya yang dicoreng oleh bawahannya, jika beliau benar-benar kuat seperti penampakannya.Â
Penganuliran sikap Menteri yang sudah disampaikan ke DPR bukanlah hal yang bisa dibiarkan. Karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kebijakan Kementerian Agama yang berikutnya, juga akan plin-plan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H