Mohon tunggu...
Ibrohim Abdul Halim
Ibrohim Abdul Halim Mohon Tunggu... Konsultan - Mengamati Kebijakan Publik

personal blog: ibrohimhalim.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Kewenangan Menteri Keuangan yang Terlalu Besar

14 Mei 2020   20:11 Diperbarui: 14 Mei 2020   20:03 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Indonesia sedang berjuang melawan Covid-19. Dalam perjuangan itu, Pemerintah mengeluarkan dua produk hukum yang fenomenal, yakni Perppu 1/2020 dan Perpres 54/2020. Keduanya secara terang-terangan mengangkat Menteri Keuangan ke tingkatan yang sangat tinggi, langit di atas langit, bahkan mungkin di atas Presiden.

Perpu 1/2020 yang entah kenapa disetujui Banggar DPR menjadi UU memicu banyak kekhawatiran masyarakat. Melalui Perppu itu, Menkeu yang juga sebagai Kepala KSSK punya hak di antaranya perlebar defisit anggaran di atas 3% sampai 2022, penggunaan sumber anggaran dana abadi, bantuan likuiditas kepada swasta, bail-out perbankan dan LPS. Kebijakan tersebut seolah membangkitkan traumatik kita dalam mengenang kebijakan Pemerintah mengatasi krisis 98, yang kemudian ditemukan sarat masalah dan korupsi.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah pembebasan tangan para pengambil kebijakan yang terdapat di pasal 27. Rakyat disuruh mengamini bahwa seluruh biaya yang disetujui oleh Pejabat KSSK merupakan bentuk penyelematan perekonomian dan bukan kerugian negara. Apabila ada rakyat yang hendak berbeda pendapat, tidak ada mekanisme hukum yang tersedia karena pejabat terkait tidak dapat dituntut baik perdata maupun pidana. Padahal, dalam kasus BLBI misalnya, penyidikan baru menemui jalan terang hingga 20 tahun kemudian.

Dengan Perpu tersebut, APBN juga sepenuhnya jadi milik Pemerintah karena pengesahan perubahannya tidak lagi melalui mekanisme DPR. Presiden tentu saja menyerahkannya kepada Menteri Keuangan, yang kemudian jadilah produk hukum APBN Perubahan, yakni Perpres 54/2020. Dalam Perpres tersebut, sebagian besar Kementerian mendapatkan pemotongan anggaran, bahkan Kemenristek kehilangan Rp 40 Triliun---dana yang sesungguhnya kita butuhkan untuk riset penemuan vaksin.

APBN yang sudah dimiliki Pemerintah (Presiden) tersebut, pada kenyataannya, adalah milik Menteri Keuangan. Karena, dalam hal diperlukan, Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 setelah "berkonsultasi" dengan Presiden (Pasal 3 ayat 2). Inilah dagelan terbesarnya: Presiden mengambil hak anggaran dari DPR, menyerahkannya kepada Menteri Keuangan, lalu bertransformasi menjadi lembaga konsultasi.

Presiden tentu menjadi lembaga konsultasi yang baik, karena "i dont read what i sign".

Kita juga percaya Menteri Keuangan adalah orang yang baik, cerdas, dan memiliki segudang pengalaman. Tapi masyarakat juga berhak mengawasi, dan setiap kesalahan sebagai pejabat negara harus bisa dituntut secara hukum. Karena pejabat negara tidak selalu benar, dan kita punya banyak pengalaman untuk membuktikan itu.

Pepatah lama mengatakan: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Sayangnya, tidak seperti penanganan krisis 98 yang masih bisa diperkarakan, krisis kali ini kita hanya bisa meningkatkan iman. Iman pada Menteri Keuangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun