APA ITU GEN Z ?
Tahukah kalian apa itu Generasi Z? Menurut sejumlah penelitian terdahulu, Generasi Z adalah mereka yang lahir setelah tahun 1995 (Brown, 2020; Francis & Hoefel, 2018; Linnes & Metcalf, 2017) dan sering disebut sebagai generasi pasca-milenial. Generasi Z merujuk pada individu yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, yang saat ini berusia antara 8 hingga 23 tahun.
Tumbuh dalam era digital yang penuh dengan teknologi canggih, internet, dan media sosial, Generasi Z memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk lanskap sosial dan budaya. Perkembangan teknologi membuat mereka mudah terpengaruh, sehingga memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Karakteristik Generasi Z di Indonesia antara lain adalah kreativitas, adaptabilitas, inovasi, dan keterampilan dalam penggunaan teknologi. Mereka bersifat terbuka terhadap perbedaan dan memiliki semangat untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
Namun, di era digital, Generasi Z Indonesia juga menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Dominasi media sosial dapat mengakibatkan kurangnya stabilitas emosional, dan munculnya fenomena seperti cyberbullying, rasisme, serta paparan konten yang tidak seharusnya mereka lihat dapat mengganggu kesehatan psikis mereka.
Kesadaran akan tantangan ini penting untuk memahami dinamika yang dihadapi Generasi Z dalam kehidupan sehari-hari dan untuk mengembangkan strategi yang mendukung kesehatan mental serta kesejahteraan mereka.
GEN Z SULIT MENCARI JATI DIRI
Menurut studi yang dilakukan oleh McKinsey (2018), perilaku Generasi Z berlandaskan pada satu fondasi yang kuat bahwa Generasi Z adalah generasi yang mencari kebenaran. Generasi Z disebut sebagai “the undefined ID,” di mana generasi ini menghargai ekspresi individu tanpa memberikan label tertentu. Pencarian jati diri membuat Generasi Z memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan setiap individu.
Banyak di antara mereka yang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mencari jati diri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita sering melihat komentar-komentar yang beragam pada konten-konten media sosial. Banyak dari komentar tersebut yang bersifat positif dan memotivasi, tetapi tidak sedikit juga yang memiliki sifat negatif. Semua ini dilakukan sebagai upaya untuk mencari kebenaran dan memperoleh pengakuan.
Terkait hal tersebut, Generasi Z juga percaya bahwa komunikasi sangat penting untuk penyelesaian konflik dan perubahan (Juanto & Basrowi, 2023; Purwaningsih et al., 2023; Ulpah et al., 2023). Banyak di antara mereka yang berpartisipasi dalam demonstrasi, karena mereka menganggap bahwa kebenaran harus disampaikan untuk mewujudkan perubahan. Namun, terdapat juga segelintir individu dalam Generasi Z yang ikut serta dalam demonstrasi tanpa memahami akar permasalahan; mereka berpartisipasi hanya untuk mencari jati diri.
Perbedaan dalam motivasi ini menunjukkan kompleksitas perilaku Generasi Z dalam konteks sosial dan politik, serta pentingnya pemahaman yang mendalam tentang dinamika yang mereka hadapi.
GEN Z LEBIH SULIT SUKSES DIBANDING ORANG TUANYA
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa hampir sepuluh juta pengangguran di Indonesia berasal dari Generasi Z yang berusia 15 hingga 24 tahun. Banyak pihak menyalahkan Generasi Z karena dianggap terlalu selektif dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan passion mereka. Namun, sebagian besar individu dalam generasi ini belum memiliki pengalaman yang cukup untuk diterima di perusahaan yang diinginkan. Mereka cenderung menginginkan segala sesuatunya dapat diperoleh secara instan namun tetap maksimal. Konsep kerja cerdas memang memiliki validitas dibandingkan kerja keras; akan tetapi, kesuksesan sejatinya memerlukan pengorbanan yang lebih.
Tidak sedikit dari Generasi Z memilih untuk menganggur karena pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan passion mereka. Selain faktor tersebut, kegagalan mencapai kesuksesan juga dipengaruhi oleh beban psikologis yang mereka rasakan. Banyak yang menganggap kesuksesan sebagai tuntutan dari orang tua, padahal tidak semua orang tua mengharapkan anaknya untuk sukses dengan cepat. Fenomena ini sering kali disebut sebagai overthinking.
Psikolog Klinis Remaja, Tara de Thouars, memberikan pandangannya mengenai fenomena ini. Ia menilai bahwa beban yang ditanggung oleh Generasi Z semakin berat dibandingkan dengan generasi sebelumnya. “Lihatlah bagaimana beban mereka semakin tinggi, baik dari lingkungan dekat (inner circle) maupun media sosial, biaya hidup yang meningkat, serta kondisi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Prinsip mereka menjadi 'work smart instead of work hard,'” jelas Tara dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Liputan6.com.
Pola pikir Generasi Z dapat dipahami dalam konteks situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Kemajuan teknologi memungkinkan mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas kompleks dengan cepat, sehingga mendorong keinginan untuk mencapai hasil maksimal secara instan. Namun, penting untuk dicatat bahwa pencapaian hasil maksimal tetap memerlukan proses yang panjang dan upaya yang konsisten.
GEN Z RENTAN KESEHATAN MENTAL DI ERA DIGITAL
Krisis kesehatan mental telah menjadi salah satu masalah global yang semakin meningkat, termasuk di kalangan Generasi Z. Generasi Z terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka dihadapkan pada berbagai tekanan dan tantangan yang khas di era digital serta media sosial.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA), Generasi Z memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Hanya 45% dari populasi Generasi Z yang melaporkan kondisi kesehatan mental yang baik atau sangat baik. Selain itu, generasi ini juga menunjukkan kerentanan yang lebih besar terhadap gangguan kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Ada beberapa faktor yang membuat Kesehatan mental Gen Z terganggu diantaranya adalah mereka terlalu mengedepankan tuntutan akademis yang tinggi dan di tambah persaingan yang semakin ketat untuk mencapai kesuksesan. Selain itu Rasa ketidakpuasaan terhadap hidupnya karena melihat konten-konten media sosial yang tidak realistis dengan kehidupan secara berlebihan, dengan durasi yang lama, juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental Generasi Z. Tekanan ini dapat menimbulkan kecemasan, stres, dan perasaan tidak mampu untuk menjadi yang terbaik.
Generasi Z menghadapi serangkaian tantangan yang kompleks di era digital. Untuk mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan mereka, penting untuk memahami dinamika yang mereka hadapi serta mengembangkan strategi intervensi yang efektif. Peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang isu-isu ini dapat berkontribusi pada perbaikan kualitas hidup mereka di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H