Cerita tentang jalur pantura tak akan selesai dikisahkan dalam satu malam. Bentang sejarah yang panjang dengan segala lika liku kehidupan jalanan memberi warna dalam budaya masyarakat yang mendiami jalur pantai utara jawa.
Bermula dari proyek ambisius yang digagas oleh Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk membuat Jalan raya pos sepanjang 1000 kilometer dari Anyer sampai Panarukan, kini telah menjadi urat nadi transportasi darat di pulau jawa. Jalur utama yang menghubungkan sebagian besar kota-kota di pulau jawa.
Saat lebaran tiba, jalan ini menjadi jalur padat yang luar biasa. Kaum urban berbondong-bondong pulang ke kampung halamanya untuk sungkem kepada orang tua dan bertemu sanak saudara. Hingga liburan usai ketika hendak balik kekota mereka juga melewati jalan pantura. Momen tahunan ini kita kenal sebagai arus mudik dan arus balik.
Kota-kota di sepanjang pantura banyak dikenal sebagai kota kiyai dan kota santri seperti Cirebon, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Lasem, Gresik, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Banyaknya pondok pesantren dan Masjid yang megah sepanjang jalur pantura merupakan simbol kehidupan masyarakat muslim di tanah jawa. Sebagai jalur dakwah di masa penyebaran agama islam di Nusantara, daerah pantura secara turun temurun tetap melestarikan budaya islami.
Seperti halnya arus balik dan arus mudik saat lebaran, budaya yang terbentuk di daerah ini adalah budaya yang saling bertolak belakang, Saat menelusuri jalan pantura, banyaknya warung remang-remang tentunya tak lepas dari perhatian kita. Tempat lokalisasi juga banyak tersebar di jalur pantura. Aksi bajing loncat juga kerap menjadi berita media sebagai cerita yang tidak bisa dipisahkan dari angkernya jalur pantura. Secara historis keberadaan para begal memang sudah marak sejak jaman kerajaan dulu.
Jadi, secara umum budaya pantura terbetuk dari peristiwa-peristiwa historis yang terjadi di masa lampau. Rekam jejak sejarah mencatat selain sebagai jalur dakwah yang di bawa oleh para wali, di jalur ini juga tempat para gali melakukan aksi begalnya.
Oleh sebab itu Jalur pantura bisa dikatakan sebagai tempat bertemunya dua budaya yang sangat kontras yaitu Budaya Wali dan Budaya Gali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H