Mohon tunggu...
ibrahim aji
ibrahim aji Mohon Tunggu... -

Lahir di Lampung, 7 Desember 1977. Lulus dari Universitas Indonesia tahun 2001. Kini bekerja sebagai wartawan ekonomi dan bisnis, khususnya ekonomi dan bisnis syariah di Jakarta. Blog saya ada di http://ajisaka.dagdigdug.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Spiritualisme Bankir di Inggris

12 Januari 2010   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:30 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Spiritualisme merebak di hati para bankir di Inggris. Sebuah sistem keuangan global baru pun ditawarkan. Lebih bermoral dan beretika. Anekdot ditawarkan serial kartun “Benny & Mice” di sebuah koran nasional, ketika film laris “2012” sedang tayang di jaringan-jaringan bioskop besar negeri ini beberapa bulan lalu. Tahu-tahu Benny menjadi lebih spiritual ketimbang sebelumnya. Ternyata ia sedang mempersiapkan diri sebelum menonton film tentang ”kiamat” tersebut. Anekdot juga ditawarkan Patrick Jenkins, penulis di Financial Times (FT) untuk laporan khusus: ”2000-2009: The Decade in Review” akhir Desember 2009. Melaporkan apa yang dilihatnya di St Paul’s Cathedral, London, Inggris jelang Natal 2009, ratusan karyawan Lloyds Banking Group menghadiri Konggregasi terbatas. Tampak khidmat, para karyawan tersebut menyanyi lagu-lagu rohani dalam Konggregasi. Jenkins menilainya, seperti bernyanyi dari dalam hati, melepaskan kegalauan setelah dua tahun terlilit krisis keuangan global. Lloyds Banking Group adalah salah satu bank asal Inggris yang terpaksa diselamatkan pemerintah Inggris selama krisis dua tahun ini. Tampaknya sedang ada gelombang datang ke gereja di London. Di gereja lainnya, St. Olave salah satu gereja tua dari abad pertengahan, jumlah jamaah meningkat terus beberapa bulan jelang tutup 2009 lalu. Pendeta Oliver Ross dari gereja tersebut mengatakan, “Gereja makin ramai sekarang. Para pekerja sektor keuangan di kota ini (London—red) mulai mengevaluasi nilai etika dari apa yang mereka kerjakan. Mereka membicarakan dan menanyakan itu”. Pertanyaan seperti itu memang sangat personal. Namun juga esensial jika pertanyaan dari banyak pekerja sektor keuangan tersebut dijalin satu persatu dalam kerangka besar kapitalisme. Di jejaring tersebut, pertanyaannya mungkin menjadi begini, mengapa kapitalisme membuat orang menjadi terlalu berani mengambil risiko, melalui instrumen keuangan yang meracuni sebagian pihak dengan keuntungan besar dan sebagian lagi dengan kerugian besar? Bonus Berlebihan untuk Para Bankir Satu jawaban yang jelas, rentannya kapitalisme keuangan dan ambruknya moral sebagian para pelakunya yang kemudian hampir meruntuhkan semuanya. Mengejutkannya, hal ini ternyata sebenarnya disadari, bahkan seorang bankir besar, Chairman HSBC Global, Stephen Green. Ia mengatakan, tidak ada pembenaran atas kesalahan yang telah kita (para bankir—red) lakukan hingga menyebabkan krisis keuangan dunia. Dalam bukunya, Good Value: Reflections on Money, Morality and an Uncertain World, ia memaparkan sejarah keuangan global dan menawarkan kode etik dan moral baru untuk sistem keuangan global. Apa sih sebenarnya yang salah dari moralitas keuangan kapitalis? Mungkin jawaban yang paling umum adalah, bonus bagi para bankir. Stephen Green adalah bankir salah satu bank terbesar di dunia yang tentu saja menikmati bonus keuangan sangat besar. Ia sendiri menilai faktor bonus ini telah menciptakan fokus keserakahan jangka pendek di kalangan para bankir global. Setidaknya satu dekade terakhir, menurut Green, bonus bagi para bankir lebih mirip pertaruhan satu arah. Para bankir tidak lagi peduli apakah bisnis bank yang dijalankannya untung atau rugi di jangka panjang. Mereka tetap meminta bonusnya dibayarkan tunai. Banyak analis mengatakan sebagian besar bonus dibuat tanpa perhitungan yang adil. Bahkan berbeda untuk tiap bankir. Dan itu dibuat di atas perhitungan penerimaan secara akuntansi di buku semata, bukan cash flow, apalagi uang dalam artian sebenarnya. Bonus dicatatkan berdasarkan profit di masa depan yang dicatatkan. Itu pun profit atas transaksi derivatif. Martin Taylor, mantan CEO Barclays di Financial Times pernah menulis bahwa fenomena ini menjadi seperti wajar saja. “Membayarkan 50% dari pendapatan bank kepada para bankirnya menjadi biasa, bahkan semacam aturan. Meskipun, pendapatan tersebut tidak benar-benar berbentuk uang.” Masalah dengan Riba Akar dari masalah ini, menurut Kepala Financial Services Authority (FSA) Lord Turner, terlalu banyak bisnis dalam dekade ini yang “socially useless”. Kebanyakan produk keuangan derivatif yang diterbitkan perbankan misalnya, yang diperdagangkan di bursa malah mempertaruhkan modal perbankan itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan “useless” menurut Lord Turner tadi. Jika penjelasan Lord Turner tidak mudah dipahami benar oleh para praktisi keuangan. Misal, batasan antara “usefulness” dan “uselessness”, sebaiknya ambil saja pemahaman umum bahwa keuangan hanya untuk keuangan itu sendiri sudah ketinggalan jaman. Ken Costa, Chairman Lazard International, mengatakan “dunia keuangan harus menjadi pelayan bukan tuan”. Pelayanan yang diberikan adalah untuk ekonomi riil. Sektor ini, menurut Costa membutuhkan perbankan untuk membiayainya, melindungi risiko bisnisnya, berbagi saham, dan menghubungkan sektor riil dengan investor. Perbankan itu sendiri sebenarnya sudah mengundang banyak kontroversi moral, terutama di kalangan relijius. Bisnis bank yang berdiri di atas peminjaman uang dengan bunga telah mendominasi perdagangan global sejak abad pertengahan di Italia. Ketika para pedagang Florentina mulai memperdagangkan tekstil yang dibayar dengan uang, bukan koin emas dengan sistem barter seperti sebelumnya. Riba dalam pandangan kaum puritan, termasuk Islam modern kini, adalah satu untuk membuat uang dengan uang. Di masa kini pun, Paus Benedict XVI telah mengeluarkan pernyataan senada, alih-alih “jahat”, definisi riba diperluas sebagai perbankan yang kurang bertanggung jawab secara sosial. Dalam sebuah pidatonya berjudul Charity in Truth, Juli 2009, Paus mengutuk krisis keuangan global sebagai kegagalan kapitalisme. “Praktisi keuangan harus menemukan kembali dasar etis atas setiap kegiatan keuangannya. Mereka tidak diharapkan menggunakan lagi instrumen keuangan yang dapat merugikan banyak pihak. Bisnis yang besar harus memprioritaskan etika dan tanggung jawab sosial selain imbal hasil”, kata Paus Benedict. IA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun