Mohon tunggu...
Ibrahim Rantau
Ibrahim Rantau Mohon Tunggu... -

Bertukar ide dan gagasan dengan tulisan adalah hobi yang paling mengasyikkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengintip Kembali "Jalan Ketiga"

5 Agustus 2010   08:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Resesi akut yang mengancam dunia sepanjang tahun 2009 menyisakan sebuah pertanyaan besar, mengenai apakah krisis ini merupakan bentuk dari kegagalan ekonomi pasar untuk bertahan? Indikasi yang tampak memang menunjukkan demikian.Paling tidak, faktor-faktor yang paling dominan sebagai biang kerok dari krisis finansial ini adalah merupakan produk ekonomi pasar. Dimulai dari Subprime Mortgage, transaksi spekulatif para pelaku pasar yang sangat sembrono, hingga lemahnya negara dalam mengontrol pasar modal, merupakan penyebab utama terpukulnya pasar finansial dunia.

Ditengah-tengah suramnya masa depan ekonomi dunia di akhir-akhir ini, proyek "Jalan Ketiga" yang pernah digagas Anthony Giddens diawal tahun 97 an tiba-tiba kembali hangat diperbincangkan. Gagasan besar yang dituangkan dalam salah satu master piece Giddens dengan judul The Third Way, The Renewal of social Democracy ini memang sempat membuat huru-hara dibelahan bumi Eropa dan Amerika Utara. Tony Blair di Inggris dan Bill Clinton di Amerika Serikat secara terang-terangan mengaku sebagai pengagum berat "Jalan Ketiga". Bukan hanya sampai disitu, hegemoni ajaran Giddens juga menjangkiti panggung politik negara-negara eropa lainnya lewat kemenangan partai berhaluan centre left sebagai wujud produksi politik "Jalan ketiga". Diawali dengan kemenangan Gerhard Schroder sebagai kanselir Jerman, Romano Prodi di Italia, Jacques Chirac di Prancis, hingga Jose Luis Zapatero di spanyol.

Namun entah apa sebabnya demam "Jalan Ketiga" tiba-tiba lenyap seiring dengan kemenangan Partai Republik di Amerika, yang sekaligus mengantarkan George Walker Bush sebagai orang paling berkuasa dinegeri itu. Efek Domino kemenangan Bush sebagai representasi neo-Konservatif yang mengagungkan free market system, secara serentak ikut menyapu panggung politik Eropa. Konservatisme tiba-tiba menjadi begitu kukuh disana. Angela Markel memperoleh kemenangan mutlak di Jerman, Begitu pula Nikolas Sarkozy di Prancis dan Silvio Berlusconi di Italia. Lenyapnya Jalan Ketiga di panggung Eropa tentunya bukan berarti proyek ini lemah secara epistemologis dan juga tehnis. Barangkali hanya political will semata lah yang tidak mengizinkan konsep ini untuk berbuat lebih banyak.

Kini setelah ekonomi pasar kembali dipertanyakan, dan neoliberalisme mulai dihujat, proyek Jalan Ketiga tampaknya menjadi layak untuk dimasukkan kembali kedalam dapur diskursus guna menghadirkan sebuah wacana alternatif bagi tatanan dunia yang mulai carut-marut seperti saat ini. Jalan Ketiga tentunya tidak bisa ditafsirkan sebagai sekadar pilihan antara Sosialisme dan Kapitalisme, antara Negara Kesejahteraan (welfare state) dengan negara pro pasar, atau jalan tengah diantara keduanya. Jalan Ketiga lebih bersikap pragmatis berhadapan dengan problematika yang dihadapi kedua teori besar tersebut, tanpa terjebak kedalam pilihan ideologis yang membabi buta.

Secara spesifik, Giddens menggambarkan bahwa situasi dunia di penghujung abad 20 ini sarat dengan ketidakpastian dan resiko yang tidak dapat dihindari. Giddens menyebutnya sebagai "the uncertainties inherent in high-consequence risks". Fundamentalisme pasar yang menjadi prinsip dasar dari neoliberalisme yang tadinya diharapkan dapat menjadi equilibrium bagi terciptanya stabilitas global justru mendorong adanya ketidakstabilan. Dari triliunan Dolar Amerika yang diperdagangkan oleh para pelaku pasar setiap harinya, kira-kira hanya 5 persen yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi lainnya. 95 persen sisanya adalah merupakan transaksi spekulatif guna mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dari fluktuasi nilai tukar dan selisih suku bunga.

Maka bisa dibayangkan bahwa dalam iklim pasar bebas ini perputaran likuiditas di pasar finansial akan berjalan dengan sangat cepat. Sebuah negara dapat kebanjiran uang dalam sekejap namun dapat menjadi kolaps akibat krisis finansial dalam waktu cepat pula. Kewenangan mutlak yang dimiliki para pelaku pasar justru melahirkan moral hazard yang mendorong pasar global kearah malapetaka yang cukup dahsyat, sebagaimana yang terlihat pada depresi ekonomi yang mengancam dunia saat ini.

Resiko lain yang dihadapi manusia adalah, munculnya persoalan ekologis sebagai dampak dari penguasaan alat-alat produksi dan eksploitasi sumberdaya alam yang kelewat batas. Global warming, munculnya banyak penyakit baru yang mematikan, hingga perubahan iklim yang cukup ekstrem menjadi persoalan sangat serius yang harus dihadapi umat manusia. Giddens secara sistematis menggaris bawahi bahwa kebijakan deregulasi ekonomi yang menjadi prinsip neoliberalisme secara simultan ikut berpengaruh terhadap rendahnya kesadaran ekologis dari penganut prinsip ini.Terlebih lagi, dalam prinsip negara pro pasar telah dipastikan bahwa tidak ada batas bagi pertumbuhan ekonomi, meskipun harus dilakukan dengan mengorbankan keseimbangan ekologis sekalipun.

Inilah bahaya serius yang sedang dihadapi umat manusia. Giddens menggambarkannya dengan sebuah metafor "Juggernaut", yaitu sebuah truk besar yang meluncur tanpa kendali, dan tak ada satupun manusia yang sanggup menghentikannya (bersambung).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun