Mohon tunggu...
Umi Ibroh
Umi Ibroh Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Pelukis Kata

15 Januari 2015   09:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:06 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejenak Marissa terdiam, mengunci rapat bibir mungilnya dari deretan kosakata yang ingin dimuntahkan pada sosok lelaki itu. Hari ini ia melihatnya di sebuah warung remang-remang, dikelilingi perempuan-perempuan pembawa bir. Riuh. Lewat butir-butir kacang yang berserakan kulitnya mereka melontarkan tawa-tawa yang manja, juga candaan centil yang bersemakna khusus pada sesuatu. Entah apa. Lelaki itu tampak menikmatinya seakan dunia bak lampu-lampu gantung yang berkedap-kedip di matanya.

Tak ada yang berubah darinya, meski berwindu-windu waktu telah membawanya menjauhi tenangnya malam, menenggelamkan kepalanya yang setengah botak pada kesibukan dan tumpukan kisah barunya. Hal itu rupanya tak membuatnya lupa dengan malam yang hingar-bingar yang selalu menyajikan berbotol-botol bir atau kekehan wanita jalang yang selalu ditemuinya di tempat itu, menawarkan bir dan butir-butir kacang kesukaannya.

Caranya mengapit rokok tak pernah berubah. Juga bagaimana ia mengepulkan asap yang mulai penuh dirasa dadanya ketika ia menghisap tembakau. Ah, itu selalu membuatnya tampak begitu gagah. Ia tak pernah berubah. Meski botak di kepalanya terlihat lebih lebar dari terakhir yang Marissa lihat bertahun yang lalu. Saat kakinya yang mulai terlihat jenjang mencoba melangkah dengan sebatang kuas di tangannya. Juga ketika beberapa bagian tubuhnya mulai berbentuk dan berisi. Ia masih mengingat itu. Bagaimana ia mengenalkannya pada masa yang ia sebut sebagai fase kedewasaan lewat sebuah kuas dan cat warna-warni.

Matanya yang cokelat jernih, selalu mengingatkannya pada lukisan kata yang pernah terpampang di sebuah gedung pemerintahan dengan simbol-simbol yang sengaja diukir pada bingkainya. Cerita jendela. Ia menamainya demikian. Lelaki itu melukiskan deburan ombak yang menyentak-nyentak di bibir pasir. Seperti yang pernah dilantunkan oleh seorang pemuda dalam sebuah pentas puisi pada malam pertengahan musim dua dasawarsa silam.

***

Lelaki itu sengaja menenggelamkan kepalanya yang setengah botak pada lautan yang menghitam diterpa hujan. Berteriak dalam kegamangan. Dibiarkannya ombak menghantam tubuhnya hingga retak lalu remuk. Berpuing-puing. Mengapung bersama buih lautan dan akhirnya menyatu lagi dengan ruang kosmik yang ia sebut sebagai kehidupan.

Sambil berdendang lagu kepahitan ia berdialog pada debu bisu dan langit yang menyatu dengan laut di ujung horizon. Bertanya sesuatu akan hidupnya yang selalu diterpa ombak seperti karang yang berjajar di pinggir lautan sana.

“Hum na na na na, ratu menitahkan laut. Juga bebatuan. Gunung, pasir juga air menunduk patuh pada kata. Ia membawanya pada lautan harta. Haruskah aku mengikuti mereka? Menyumbang tetes keringat untuk mengayakannya tanpa upah?” Ia berteriak gamang. Namun alam bisu tak bersuara.

“Oh, apa seharusnya tak kugoreskan pena pada dinding gedung itu, hingga ia runtuh oleh dendam pengemis dan gelandangan.”

Lelaki itu masih berontak dengan deburan ombak. Tubuhnya tak sekuat karang namun ia tetap tegak. Memecah suara laut yang jelas-jelas menelan getar pita suaranya yang hampir putus.

“Inikah nasib? Wahai Tuhan, bukankah engkau maha mengetahui kenapa tak kau tampakkan saja segala yang telah Kau ketahui sejak zaman Azzali?”

“Hum nana nananannaaaa hum humm...”

Debur ombak menghantamnya lagi.

Gelap.

Marissa membuka matanya. Riuh tepuk tangan menggema di sana. Seorang pemuda berhenti di tengah panggung. Lalu menunduk. Sementara bola mata itu menangkap sosok lelaki itu yang tengah tersenyum mantap. Malam ini ia mendapat sebuah penganugerahan untuk karyanya yang menghanyutkan.

Dan marissalah yang merasa paling berbangga diantara mata-mata yang menatap wajah itu. Sebab hanya dirinyalah yang bisa bersanding satu atap dengannya. Lelaki pelukis kata itu. Meski hal itu tak lantas membuat dirinya menyatu dengan lautan pikir lelaki itu. Juga tak mampu membuat lelaki itu yakin atas cintanya selama ini.

“Apa yang membuat diksimu bak belati?” Marissa berbinar memeluk lelaki itu. Tangan mungilnya bergelayut manja pada lengannya yang kokoh. Lelaki itu mematung bisu. Menciptakan kedinginan dalam bongkahan waktu yang menemani langkah mereka. Begitu yang selalu dilakukannya pada orang-orang, juga pada Marissa. Lelaki itu seakan memendam rahasia. Ada selembar hitam yang menutup pandang, hingga ia tak bisa menatap jernih lukisan dalam batok kepala lelaki itu.

Pernah suatu ketika Lelaki itu bersandar di sudut ruang selepas sembahyang. Tak biasanya ia memutar tasbih dan bersenandung doa setelah ritual pertemuanya dengan tuhan. Marissa mendekatinya, mencium tangannya lantas bertanya tentang ombak dan mantra-mantra yang selalu dilukiskanya dalam lembar-lembar kertas puisinya. Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya beringsut menatap ombak hitam dan tetesan hujan yang tergantung di tembok luar tempat ia bersembahyang.

“Jika aku meminta dituliskan sebilah puisi kepadamu apakah kau akan mau? Aku ingin melukis tiap jengkal diksimu di depan jala retina agar aku tahu apa yang membuatmu sedingin salju.” Bisik hatinya.

Lelaki itu masih bungkam. Lalu menarik tangan Marissa pada sebuah kuas yang tergeletak di kolong meja ruang tengah. “Ini, ini...” Lelaki itu menggetarkan giginya. Matanya merah menyala. “Lukis semua yang kutulis! Kau akan mengerti semuanya sebab tak ada yang lebih mampu membuatmu mengerti selain cat-cat warnamu, bukan?”

Marissa bisu tak mengerti. Namun dari nyala matanya Marissa bisa menangkap setitik bara. “Aku tak pernah memberimu apa-apa seperti yang cat-catmu berikan padamu. Bahkan untuk sesuap nasi yang kau makan tiap hari.”

Marisa tertegun. Pikirnya berlarian ke mana-mana mencari makna yang tersirat dari deretan kata yang baru saja tertangkap daun telinganya.

“Apa kau ingin kita berpisah saja?” Wanita itu membuat telaga di matanya.

Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Menahan sesuatu yang mendesak dalam pikirannya. Ia tak dapat mengendalikan itu. Lalu digigitnya telapak tangannya hingga berdarah. Marissa terperanjat.

“Apa yang kau lakukan?”

Sepertinya lelakinya tengah sakit jiwa.

***

Waktu itu, ia bahkan belum genap tujuh belas tahun dan belum menyadari kekuatan magic yang dimilikinya. Ditangannya kuas tak ubahnya sepertitongkat sihir jika bertemu dengan cat warna dan singgah di lembaran kanvas. Beberapa kali lukisannya menyabet medali emas tiap ada kompetisi lukis antarsekolah. Namun itu tak membuatnya berhenti bergeming. Tiap warna adalah kekosongan, kebekuan yang ia dapatkan dalam emosi puisi lelaki itu. Lelakinya.

Kebekuan memenjara Marissa dalam sekat-sekat warna takbersuara. Meski sebagian orang menyebut itu sebagai kelebihan.

“Kamu punya bakat yang bisa dikembangkan.” Begitu kata kepala sekolah ketika membujuk Marissa untuk mengikuti pameran di sebuah galeri ternama. “Siapa tahu ada yang berminat dengan lukisanmu. Kamu bisa terkenal dan sekolah ini akan ikut terbawa. Akan banyak beasiswa untukmu melanjutkan studi di sekolah seni.” Ia mengiming-imingi.

Namun lagi-lagi ia tetap bergeming. Menangkap ucapan kepala sekolah itu seperti menyecap kapas yang ia kira arum manis.

“Kenapa saya harus berbangga dengan kebekuan gambar?”

“Yang kau lukis itu lebih dari sekedar gambar, nak. Ada ruh yang hidup di sana. Kau berhasil menyeret mata-mata penikmat warna pada dimensi yang lain.”

Kalimat jelas bukanlah sebuah pujian baginya. Jauh di dalam hatinya Marissa seakan dipaksa untuk menjerit memamah kalimat-kalimat itu yang sama artinya dengan nyanyian pemandu sorak yang terus memaksanya untuk terus menyepi dalam lubang kegelapan. Dan membeku, memaknai bungkamlelakinya.

Orang-orang melihat ruh yang hidup dalam lukisan Marissa sayangnya mereka tak dapat membaca betapa ruh yang tinggal di dalamnya terkurung dalam kegelapan dan kesepian. Pelan-pelan bayangan lelaki itu muncul di balik batok kepalanya. Dengan raut muka yang murung dan dingin. Sesenggukan. Lalu memaki-maki dirinya. “Kau membuatku nampak tak berguna di mata orang!”

Tiba-tiba Marissa berdiri di hadapan kepala Sekolah. “Saya tetap tak mau.” Setengah berteriak Marissa berucap. “Lukisan itu adalah kalimat seseorang yang sangat saya cintai.”

Kepala sekolah terdiam seketika.

***

Lagi. Lelaki itu memhempaskan asap dari mulutnya. Kali ini perempuan-perempuan pembawa bir tak lagi mengelilinginya. Satu per satu mereka meninggalkan lelaki dengan botol bir yang kini telah kosong itu. Mungkin mereka berpindah melayani bos-bos yang berkantong lebih tebal darinya.

Marissa masih memperhatikannya. Lelaki itu sudah menghabiskan sebotol bir di genggamannya. Matanya yang terlihat memerah lelahmembidik sesuatu di luar sana. Mungkin ia tengah menunggu seseorang.

Kembali Marissa tersapu kuas lukisnya.

Duadasawarsa silam. Sebatangkuas diusapnya diantara deretan puisi yang dituliskan lelaki itu pada kanvas kosongnya yang benar-benar polos. Seorang gadis menangisi setangkai mawar. Saat itu lelaki setengah botak itu dirundung amarah. Namun kata tak berbicara. Hanya suara tangis seorang wanita yang menggema. Lalu perabotan yang pecah terbanting. Jerit wanita itu yang diiringi tamparan. Marissa merekamnya dengan cat warna-warni. Hingga warna biru yang biasa bercerita tentang ketenangan berubah menjadi kesenduan.

Lelaki itu keluar dari bilik rumah wanita itu dengan langkah yang memburu. Kesal. Ia lantas menyapu ujung matanya yang merah berair. Gadis di kanvas Marissa menangis.

Lalu bak orang yang kesetanan lelaki itu kemudian bersenandung sesal atas yang baru saja ia lakukan pada wanitanya.

“Aku tak mau membuatnya menangis.” Kata lelaki itu. Menyeru pada kekosongan.

“Bahkan untuk hutang-hutang dan syetan yang bersemayam dalam perut. Yang membuat kami keroncongan dan buta. Jika penyakit yang terkutuk itu nyata, sesungguhnya bukan dia yang penyakitan. Tapi aku. Budak kat-kata. Gila harta. Lupa segalanya.”

Kuas di tangannya jatuh.

Wanita itu benar-benar menangisi setangkai mawar yang baru saja menancapkan duri beracun. Wanita itu istrinya, istri lelakinya.

Sejak itu lelakinya tak pernah pernah lagi muncul di rumahnya atau pun di rumah istrinya. Meski waktu itu istrinya sakit-sakitan. Marisaa sering menjumpai ia berkeliaran di pinggiran kota. Namun ia bersikap seolah tak melihatnya. Ia berjalan ke sana ke mari entah untuk apa. Jika hari gelap lantas ia mencari kesenangan lain yang mungkin tak ia dapatkan dalam bilik-bilik rumahnya. Ia mendatangi sebuah warung remang-remang dan menghabiskan berbotol-botol bir di sana. Marisa tak memberitahukan hal ini pada istrinya. Ia sengaja menutupnya dengan lukisan dusta hanya untuk sebuah alasan konyol. Ia mencintainya.

Pernah suatu ketika Istri lelaki itu menangis menanyakan suaminya. Marissa hanya mampu membisu. Menyembunyikan kalimat jujurnya di balik kisah warna cerita jendela.

“Aku tak tahu yang ada di pikirannya. Sama sepertimu, selama ini aku pun mencari-cari makna yang mungkin saja dapat kutemukan itu dalam bait puisinya.” Marissa melukiskan lagi lembar kebohongan yang tak terendus wanita itu.

“Dia kecewa denganku.”

“Kecewa untuk apa?”

Seharusnya Marissa yang kecewa padanya. Wanita tua itu membesarkannya tanpa mengenalkannya siapa dia juga siapa lelaki itu padanya. Hingga ia tumbuh dewasa dan mengenal cinta. Sialnya ia justru jatuh cinta pada lelaki itu yang jelas-jelas sudah beristri dan istrinya menganggap Marissa sebagai anak.

“Dia tak pernah menginginkan seorang bayi lahir dari rahimku.” Lirih wanita itu. Hambar. “Kau tahu sebabnya? Dia bilang tak ada yang bisa dipakainya mencukupi kebutuhan kami berdua, apalagi ditambah seorang bayi.”

Ujung mata wanita itu meleleh. Lagi, ia menyaksikan sendiri betapa wanita yang pernah ada dalam lukisannya menangis. “Saat aku menemukanmu. Dia memintaku untuk membuangnya lagi. Aku menolak. Kau tahu kenapa, karena ada kekosongan yang harus kau isi di sini.” Ia menunjuk dadanya sendiri. Seketika itu juga ujung mata Marisa basah berair.

***

Sungguh tak ada yang bisa ia sesali. Bahkan untuk tangisan bocah yang terperangkap dalam gua di lukisanya. Betapa bocah itu terkurung dalam kebisuan dinding-dinding gua. Ia seakan dipaksa untuk mencari makna dalam semiotik dinding terjal hingga celah cahaya ditemukanya dan ia bisa keluar dari sana. Menatap hijau dedaunan. Ah, bukan untuk itu.

Tapi waktu dimana wanita itu memungutnya dari jalanan waktu masih bayi. Seharusnya biar saja ia tergelatak di sana. Biar orang orang lain yang merawatnya. Biar ia tumbuh menjadi orang asing bagi lelakinya. Biar ia bisa mencintai lelaki itu tanpa sekat ayah dan anak. Ah, takdir memang menyebalkan. Kenapa ia membiarkna dirinya jatuh cinta pada lelaki itu.

Argggh!

Sehari setelah dialongnya dengan wanita itu tersiar kabar kalau wanita tua yang merawatnya sejak bayi itu sudah pergi menemui Tuhan. Marissa pergi mengasingkan diri. Dan meninggalkan sebuah jejak lukisan berkabung yang tergeletak di kolong meja rumahnya bertahun-tahun hingga warna suramnya semakin kusam tercium debu yang berterbangan.

***

Marissa tak lagi memandangi lelaki itu. Ingatannya yang buram membuatnya muak mengartikan puisi-puisi lelaki itu yang sebagian besar adalah rasa kecewanya. Oh, ia bahkan tak lagi melukis kata-kata yang dipahatkan lelaki itu pada bait-bait puisi yang selalu muncul di surat kabar. Sekarang yang ia gambar adalah apa yang ia lihat dan rasa, bukan apa yang ia baca.

Hanya sebuah kebetuan Marissa bertemu dengannya di tempat itu. Ia pula meyakini itu suatu kebetulan ketika mata itu bertemu pandang dengan matanya. Pada sebuah detik yang sama sebelum lelaki itu lenyap dan seorang pelayan di warung itu mendekatinya dengan sebuah kertas yang terlipat.

Ibunda tercinta, dimanakah engkau?

Apakah setan telah melumpuhkanmu?

Apakah telah ditutupnya matamu dengan cadar yang tebal?

Apakah telah dirusaknya wajahmu dan digantinya namamu?

Hingga aku tak lagi merasa ada nyawa yang pantas memelukku.

Ia kembali teringat lukisan suram yang tegeletak di kolong meja berlapis debu yang semakin hari semakin tebal. Mungkin Lelaki itu telah menghapus debu-debu itu dan berusaha mengartikan sebuah bahasa di lukisannya.

Kali ini hati Marissa berbisik. Bukan ibunda, tapi kau. Ah, rasanya cinta itu begitu mengiris hatinya.

Petikan dalam novel “Love in the kingdom of oil” karya Nawal El Saadawi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun