Tiba-tiba saya teringat kontrakan rumah saat masih kuliah di Malang. Sejak kuliah terhitung beberapa kali saya berpindah-pindah tempat tinggal, yang kesemuanya tidak terlalu jauh dari kampus dimana saya menempuh study. Dari kesemuanya, satu tempat yang paling berkesan dan membekas diingatan. Berjuta kenangan dan harapan pernah tertambat dibangunan yang tak terlalu besar, terbilang rumah minimalis. Sempitnya ruangan, ternyata tak menghalangi para penghuninya untuk menemukan arti Besar persahabatan, pengalaman sekaligus tantangan. Ya dibangunan itulah, di Perumahan Muara Sarana Indah (MSI) Blok G.14.
Penemuann rumah itu berawal dari tuntutan sebuah organisasi (PMII UMM) untuk memiliki sekretariatan sebagai pusat aktivitas organisasi. Saya yang kebetulan memimpin organisasi itu, harus dengan segera memiliki sekretariatan. Ditemani seorang teman bernama Herdy, yang baru saja masuk kuliah dan kebetulan juga belum memiliki tempat tinggal sementara, hunting rumah kontrakan dari satu tempat, satu lokasi, ke lokasi yang lain. Hingga sampailah di sebuah bangunan kosong, hanya tertera tulisan Rumah Dikontrakan dan nomor telp pemilik rumah.
Tanpa menunggu waktu lama, saya langsung menelpon pemilik rumah, mbk Sonia. tawar menawar harga cukup lama, dan akhirnya deal. Kami kembali ke rumah itu lagi yang pagarnya tak terkunci, dan merobek tulisan “Rumah Dikontrakan”. sekarang rumah ini “milik kami”.
Keesokan harinya, kami kembali ke perumahan itu untuk menemui pak Satpam, ini sesuai permintaan mbk Sonia untuk konfirmasi jika kami yang akan menempati rumah itu, rumah di Blok G.14. Apa tanggapan pak satpam? “sudah banyak lho mas yang mau ngontrak disana, tapi gak berani, gak ada yang jadi”. Kami hanya bengong dan langsung mengajaknya untuk melihat rumah itu lebih detail.
Dalam perjalanan menuju ke rumah itu dari pos satpam, sempat saya dan Herdi berbincang ringan agak serius, “jangan sampek rumah yang akan kita tempati ini ada gendrowonya”, kitapun tertawa tidak lepas, khawatir apa yang kita bayangkan benar-benar ada. Kecuali ucapan pak Satpam tadi hanya menakut-nakuti.
Rumah ini sebenarnya cukup ideal bagi sekretariat organisasi. Halaman rumah agak luas yang didepannya terdapat pagar berwarna orange. Ada tiga ruang tidur yang ukurannya hanya 2X3 meter. Kecuali kamar depan yang lebih luas. Ruang tengah kira-kira cukup kalau diisi 15 orang. Kamar mandinya ada di pojok bangunan yang langsung berdempet dengan salah satu ruang tidur. Sebenarnya ada lagi satu ruangan kecil, ukurannya sekitar 1X1,5 meter. Ruangan yang sangat kecil itu sangat kotor, dengan perlahan, saya ragu-ragu memasukinya. Saya lihat keatap dari ruangan itu ternyata tanpa plafon. Tembok rumah berwarna putih susu. Kusen-kusennya berwarna orange, sama dengan warna cat pagar.
Kemudian kami menemukan sebuah kalender yang masih terpajang di salah satu kamar. Kalender itu bertahun 2006, menandakan penghuni terakhir rumah ini tahun 2006. Artinya sudah sekitar empat tahun rumah ini kosong tak berpenghuni. Kalau dikait-kaitkan dengan ucapan pak Satpam diawal, apakah karena kekosongan rumah yang cukup lama ini menjadikan rumah ini tak dikehendaki oleh para calon pengontrak rumah?
Lalu apakah kita menyerah hanya dari sebuah pernyataan pak Satpam yang belum tentu benar? Ataukah kita harus takut pada sebuah bangunan kosong tak berpenghuni selama empat tahun? Kamipun bertekad untuk tetap lanjut mengontrak rumah ini. Ya ini kita lakukan untuk membedakan dari mereka yang “menyerah” sebelum menempati rumah ini, rumah misteri bagi kami.
tunggu lanjutannya...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H