Dalam pewacanaan Ajeg Bali yang memulai megemuka, masih menyisakan perdebatan yang belum tertuntaskan. Ajeg Bali yang dikampanyekan Kelompok Media Bali Post ini, tampak berhasil dalam menghipnotis rakyat bali untuk selalu dibincangkan, diwacanakan, mulai dari pertemuan-pertemuan resmi sampai pada obrolan warung.
Dimulai pertanyaan, ada apa dengan Ajeg Bali?. Perdebatan dari berbagai intelektual selalu kita bandingkan. Kelompok yang mendukung pewacanaan ini biasanya memiliki sederet kepentingan yang berkaitan langsung dengan industri wisata. Kepentingan kapital lebih mengarahkan mereka untuk sama-sama bergandengan tangan dalam pengaplikasian konsep Ajeg Bali yang sebenarnya masih kabur. Walau juga ada indikasi, wacana ini muncul, didasari sentimen keagamaan.
AA.GN Ari Dwipayana sempat menyinggung kenapa masyarakat bali bersusah keras menjaga kebudayaan bali ditengah arus budaya luar yang menyerbu Bali. Beliau mejelaskan bukan karena alasan religiusitas keluhuran rakyat Bali untuk menjaga budaya mereka, melainkan karena faktor ekonomi. Bisa dipastikan ketika budaya Bali hilang, wisatawan tidak akan lagi datang ke Bali. Sebab, ikon wisata Bali terletak di kebudayaannya yang unik.
“Ajeg Bali diluncurkan pada peresmian Bali TV pada Mei 2002, ketika Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha, mendorong pemirsa untuk mengajegang adat dan budaya bali. Kata “ajeg” mengandung makna kuat, tegak, dan dalam arti tertentu,sebuah versi yang lebih kuat dari pada paham “kebalian”, yang sebelumnya digunakan dengan cara serupa. Istilah terkait seperti “ajeg-ajeg” dan “ajengang” mengacu kepada aturan-aturan desa dan menempatkan istilah “ajeg” di pusat budaya Bali. Paham “ajeg” adalah suatu kategori longgar yang menawarkan cara yang enak kepada berbagai kelompok masyarakat untuk berbicara tentang bali. Meski sejumlah teman saya dari kalangan cendiakawan kelas-menengah tidak suka dengan nada konservatif Bali Post, progaram-program menjemukan yang ditayangkan Bali TV, dan watak pasca Orde Baru, wacana Ajeg Bali banyak orang bali dari kalangan awam menyukai konsep tersebut” Tulis Nordholt dalam bukunya Bali Benteng Terbuka,2010.
Nordholt menuliskan, setidaknya masyarakat awam mengartikan Ajeg Bali: “ajeg” artinya kita harus kembali ke asal. Kembali ke Bali yang murni dan damai, ketika segalanya tertib dan damai. “Ajeg” berarti Bali aman dan mampu melawan teroris. Ajeg Bali menawarkan kepada kita jawaban terhadap modernisasi yang tak berisi.
Kolaborasi antara elite Pemerintahan dan pihak-pihak kepentingan lainnya, seakan menutup kepengetahuannya terhadap kondisi Bali kontemporer. Dimana Ajeg Bali yang ingin memunculkan budaya eksklusif dan homogen, tentunya akan berdampak pada pengalienasian “identitas” lain. Identitas kebalian dimaknai sebagaimana wacana dominan Ajeg Bali(Orang Bali: Hindu). Lalu bagaimana bagi mereka yang telah hidup beratus-ratus tahun di Bali, dalam hal ini mereka yang bukan beragama Hindu? Akankah mereka bukan orang Bali?.
Juga, setting agenda dibalik pewacanaan Ajeg Bali adalah masuk dalam kerangka logika kapital. Dwipayana mengungkapkan wacana siaga bisa dimodifikasi dan dimanfaatkan untuk menciptakan pasar yang menggiurkan, dimana masyarakat Bali dikreasi untuk menjadi penggemar dan pengguna (konsumen) dari produk-produk dengan selera etnis. Kalau anda orang Bali dan bersiaga budaya maka “makanlah makanan Bali” “belilah produk Bali” “tontonlah TV Bali” “dengarlah radio Bali” dan “bacalah koran Bali!”.
Bali Post dalam hal ini, sangat gencar untuk melakukan kampanye wacana Ajeg Bali. Entah apakah untuk kepentingan bisnis, atau memang dikampanyekan sebagai sebuah resistensi budaya yang mereka anggap terancam. Perlu diketahui, Anton Muhajir (AJI Denpasar) menuliskan dalam Blog nya, bahwa Harian Bali Post merupakan salah satu anak perusahaan dari Kelompok Media Bali Post yang diterbitkan oleh PT Bali Post. Selain menerbitkan Bali Post, Kelompok Media Bali Post juga mengelola Harian BisnisBali, Harian DenPost, Mingguan Bali Travel News, Mingguan Tokoh, Dwi Mingguan Wiyata Mandala, Dwi Mingguan Lintang, dan harian Suara NTB yang terbit di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Di bidang media elektronik, lanjut Anton, Kelompok Media Bali Post juga mengelola Radio Global Kini Jani, Radio Suara Besakih, Radio Genta FM, Radio Singaraja FM, Radio Suara Banyuwangi, Lombok FM dan Negara FM. Dalam bidang pertelevisian, lembaga tersebut mengembangkan stasiun BaliTV, BandungTV, JogyaTV, SemarangTV, MedanTV, Aceh TV, Sriwijaya TV, Makasar TV dan Surabaya TV.
Menarik diketaui, tatkala Nordholt melakukan wawancaranya pada Juni 2004, Satria Naradha, Pimpinan Kelompok Media Bali Post, mengklaim mendapat ilham untuk meluncurkan konsep Ajeg Bali sudah sejak 1980-an, ketika dia masih menjadi siswa SMA. “ketika sedang bermiditasi, saya mendapat ide, tetapi waktu itu saya belum bisa memberi nama. Akan tetapi ketika pada 1990 saya melihat papan reklame yang mengajak masyarakat untuk menjaga bali, tiba-tiba saya tau apa seharusnya namanya”(Nordholt,2010).
Satria Naradha menjelaskan pada ranah praktis tentang Ajeg Bali, swiping pendatang diagenda teratas. Nomor dua dalam daftar adalah tuntutan agar ada lebih banyak lagi orang bali dalam pemerintahan mendatang, dan nomor tiga adalah meminta otonomi khusus bagi Provinsi Bali. Dalam konteks lain. Dia bilang ingin menghadang pendatang (Nordholt,2010).
Agenda mengajegkan Bali justru akan mempertebal egoisme identitas yang berujung sentimen golongan yang berlebihan. Mempertegas kembali pada budaya lama, belum jelas pada zaman mana pilihan kembali. Bukankah sejarah Bali sejak lama merupakan benturan dari berbagai budaya Bali yang terbuka dan hidup dengan harmonis. Klaim atas identitas yang paling benar dan identitas lain salah dan harus dihadang, hanya memunculkan fragmentasi yang mengakibatkan konflik horizontal yang setiap waktu akan meledak. Setidaknya kita harus mengantisipasi ramalan Nordholt akan masa depan Bali yang akan kembali pada masa sebelum tahun 1906, saat kolonial Belanda belum berkuasa penuh atas bali. Sebelum tahun itu adalah masa-masa peperangan internal Bali.
Dalam posisi seperti ini, sebagai kelompok muda, harus bisa keluar dari wacana dominan Ajeg Bali yang eksklusif tersebut, dan sebisa mungkin memunculkan dan mensosialisasikan wacana yang dapat menandingi Ajeg Bali. Semisal, bukankah ideologi kebangsaan kita Pancasila yang menjunjung tinggi keberagaman? Atau meniru pertanyaan mendalam Nordholt, seberapa Indonesiaka Ajeg Bali tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H