Mohon tunggu...
Ibob Baros
Ibob Baros Mohon Tunggu... -

This My opini

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mana Lebih Tragis. Buruh atau Wartawan Lepas?

2 November 2013   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:42 1966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari terakhir ini pemberitaan mengenai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) memang tengah maraknya. Tuntutan buruh yang meminta 50 persen UMP pun terus disuarakan buruh di beberapa daerah. Menarik memang melihat perjuangan para buruh yang memperjuangkan masa depannya agar bisa hidup lebih layak dengan penghasilan yang mereka anggap.

Oke, lupakan sejenak tentang perjuangan para buruh. Selama demonstrasi, aksi buruh terus diliput oleh para jurnalis. Sepintas, ada yang terlupakan dari kedua aksi ini. Tentunya, para penonton berita hanya melihat aksi buruh. Padahal, ada 2 momen yang mengharukan saat demonstrasi tersebut. Pertama mengenai aksi buruh yang memperjuangkan kesejahteraannya. Kedua, yakni mengenai aksi wartawan yang tengah meliput aksi tersebut. Sebagian banyak dari penikmat berita banyak melupakan para wartawan yang meliput aksi buruh. Apalagi wartawan lepas yang bertugas di daerah.

Begini, belum lama ini seorang petinggi partai sempat menyebutkan jika siapa saja bisa menerima suap. Termasuk wartawan.Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Dalam sebuah artikel di salah satu situs ternama disebutkan begini.  Para jurnalis professional tak semuanya bersih dari praktik kotor, tentu masih banyak jurnalis yang tidak menggadaikan idealismenya. Ia menjadi jurnalis sebagai pekerja biasa, digaji seperti karyawan pabrik kata-kata pada umumnya.

Pertanyaannya mengapa praktik kotor wartawan terjadi? Ada beberapa hal yang menurut saya sangat krusial. Pertama, kondisi internal perusahaan pers sendiri. Pasca reformasi, untuk membuat koran, majalah atau media online tidak lagi perlu izin. Atas dasar kebebasan Pers semua orang, komunitas boleh membuat penerbitkan.

Dengan kemudahan itu, membuat para pendiri kurang memperhatikan kondisi keuangan perusahaan. Pers, di lain pihak merupakan lembaga bisnis. Ia layaknya pabrik, harus menghidupi karyawannya, produksi membiayai cetak juga menjalankan opersional sehari-hari yang tentu dengan biaya uang.

Tak jarang, Koran terbit hanya menjelang upacara ulang tahun pemerintahan daerah. Isinya berisi ucapan selmat dan profil pejabat dan kepala daerah. Banyak juga dari penerbitan Koran kecil, boro-boro bisa menggaji wartawannnya, malah sebaliknya, si wartawan harus menjualkan Koran hasil karyanya. Bahkan konon, si wartwan harus membayar jika beritanya ingin dimuat. Akibatnya dapat ditebak, si wartawan bersangkutan harus meminta kembali uang secara terang-terangan dari narasumbernya.

Model wartawan seperti ini, mereka membeli kartu pers kepada perusahana tempat bekerjanya, dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Padahal di perusahan pers yang benar, kartu pers dikeluarkan jika sudah benar-benar lulus sebagai wartawan dengan seleksi ketat tentunya.

Kartu pers sebagai senjata saat beraksi di lapangan, untuk meyakinkan kepada narasumber calon korban, bahwa dirinya seorang wartawan tulen. Sayang, masyarakat banyak yang masih beranggapan jika keaslian seorang wartawan muncul pada kartu pers. Bisa jadi, kartu pers dicetak sendiri atau minjam dari temannya.

Dari kondisi seperti ini, wartawan bukan lagi menjadi seorang pencerah kepada public melalui karya beritanya. Malah momok menakutkan, atas nama kebebasan pers dan informasi. Pers menjelma menjadi tukang peres.

Kedua, ini yang menjadi esensi tulisan judul di atas. Bagaimana tidak, perusahaan pers ternama nasional, baik TV, cetak maupun online, justeru memberi andil besar terhadap hilangnya citra baik wartawan. Salah satu yang merugikan wartawan di daerah, sistem kerja dengan status wartawan kontributor.

Kontirbutor dimaksudkan, seorang wartawan daerah yang dikontrak oleh TV, Koran, majalah atau media online untuk melaporkan peristiwa yang terjadi. Kontrak resmi berlaku satu atau dua tahun tergantung masing-masing perusahaan. Hanya saja, mereka tidak digaji plat setiap bulannya. Melainkan, diberi honor sesuai dengan berita yang dimuat, yang tayang di TV atau terbit di Koran, majalah atau media online.

Besaran honor mereka bereda-beda. Mulai per berita Rp5000, Rp25.000 untuk online, hingga Rp10.000 Rp75.000 per berita media cetak atau lebih besar dari itu. Untuk berita TV, honor per tayang mulai Rp25.000 Rp400.000 sesuai media mereka juga tingkat ekslusifitas berita.

Beruntung bagi media yang memberi kelonggaran kategori berita yang bisa tayang. Apapun berita berarti uang bagi sang wartawan. Dengan model begitu, ada kalanya honor kontributor bisa melebihi gaji wartawan pegawai tetap, karena banyak berita yang dimuat.

Hanya saja untuk media nasional, standar berita supaya bisa tayang cukup ketat. Hanya isu-isu tertentu yang bisa naik. Akibatnya dalam satu bulan, hanya beberapa berita yang tayang yang berdampak pada jumlah rupiah yang diterima seorang wartawan kontributor.

Pekerjaan wartawan cukup menghabiskan waktu dan tidak bisa diprediksi. Jika seorang wartawan mencari usaha lain yang masih memerlukan tenaga dan pikirannya, dapat dipastikan, momen, peristiwa atau isu-isu penting malah tertinggal. Jika lolos, itu akan menjadi pertanyaan tersendiri dari atasan mereka bahkan terkena semprot.

Di sini ada kebingungan dari para kontributor. Giliran mereka mati-matian mencari berita hingga habis waktu, tenaga dan biaya, berita tidak tayang. Sementara dia sudah mengeluarkan biaya dan tenaga yang juga tidak sedikit. Mulai biaya traportasi, koneksi internet, pulsa dan uang makan, mereka harus tanggung sendiri. Apalagi wartawan kontributor yang sudah berkeluarga, selain harus membiayai dirinya juga membiayai keluarga yang ditinggalkan di rumah.

Dampak lain, para jurnalis kontrbutor tidak lagi memikirkan kualitas karya melainkan yang penting tayang. Tak jarang berita melenceng dari fakta, demi mengejar sensasional. Isu-isu tertentu yang menjadi favorit masyarakat selalu diburu. Mungpung lagi ramai, kesempatan tayang tinggi.

Dengan kondisi demikian, setegar apapaun moralitaa jurnalis, sepertinya dipaksa harus membenarkan praktik-praktik curang jurnalistik. Seperti menerima isi amplop, menguangkan kasus bahkan taraf esktrem memeras narasumber. Bukankah di kartu pers sudah tertera jelas Dilarang menerima dalam bentuk apapun dari narasumber.

Para kontibutor juga banyak yang tidak mendapat asuransi kesehatan, THR serta tunjangan lainnya. Mereka murni mendapat uang dari media tempat bekerja dari berita yang tayang. Masih beruntung buruh harian penjaga toko kelontongan, asal masuk dia pasti dapat uang. Sementara bagi wartawan kontirbutor, sebanyak apapun berita yang mereka buat tetapi tidak tayang atau dimuat, ia tidak menjadi uang.

Para kontributor juga jangan harap bagaimana menaikkan status karirnya untuk menduduki jabatan tertentu. Tak heran, jika seorang wartawan puluhan tahun masih dalam posisi dan nasib yang sama. Miskin.

Beruntung wartawan yang bisa nyambil usaha. Seperti jadi penulis lepas, membuat buku, membuat bengkel, jasa cucian kendaraan, punya kontrakan rumah atau jadi rekanan instansi pemerintahan atau perusahaan. Rasanya cara ini cukup elegan ketimbang peras narasumber, bisnis kasus sebagai ladang uang untuk mencukupi kebutuhannya. Dari usaha tersebut, banyak wartawan kontributor yang beralih menjadi pemborong atau rekanan pemerintah dan meninggalkan dunai kewartawannya.

Kondisi di atas nampaknya harus menjadi perhatian semua pihak. Jangan sampai atas nama kebebasan pers, para pekerja pers malah ditelantarkan. Perhatian tidak cukup keprihatinan dari dari para kontirbutor yang cemas dengan nasib dan profesinya, melainkan para pemilik perusahaan pers situ sendiri. Mereka jangan mau enak, membayar tenaga kerja murah, atau memanfaatkan tenaga kerja yang melimpah.

Bila selama ini pers tajam terhadap permasalahan di luar dirinya mengapa tidak tajam pula terhadap masalah kronis yang melilitnya? Pers saat ini bukan lagi pers perjuangan seperti masa perang kemerdekaan, melainkan industry. Sebagai industry penghasil uang, sudah semestinya pula para wartawan contributor diperlakukan sebagai karyawan yang punya hak mendapat kesejahteraan layaknya pekerja di dunia industry dan bukan seperti aktifis sukarelawan.

Perusahan pers sama dengan perusahaan lain. Ia butuh sumber daya manusia atau pekerja yang karenanya harus taat terhadap undang - undang ketenagakerjaan. Mereka tidak mesti cuci tangan terhadap kesejahteraan, dengan dalih status mereka sebagai wartawan kontributor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun