Jakarta boleh bernafas lega, karena bukan satu-satunya Ibu kota negara yang tertimpa banjir. Bangkok pernah mengalami hal serupa, sampai-sampai pertandingan piala AFF di pindah ke phuket kawasan wisata paling disukai di Thailand. Meski akhirnya partai semifinal kembali berlangsung di Bangkok karena banjir sudah surut, tapi terjangan banjir sempat melumpuhkan aktifitas penerbangan di bandara suvarnabhumi, salah satu terminal penerbangan paling besar di negeri gajah putih tersebut.
Masalah Bangkok dan Jakarta relatif sama, antara saluran dan debit air tidak seimbang, akibatnya meluap dan menggenangi kota sampai beberapa meter. Kalaupun ada yang berbeda, mungkin intensitas banjir yang menimpa kedua kota tersebut. Jika Jakarta rutin disinggahi banjir, berbeda dengan Bangkok yang memiliki periodesasi tersendiri. Bahkan mungkin banjir 2011 lalu tidak akan pernah melanda bangkok kembali, karena sejumlah langkah kongkret sudah dilakukan dan akan terus diupayakan.
Singapura negara kaya raya dengan beragam fasilitas mewah dan canggih turut menjadi korban banjir. Kemampuan singapura mengelola genangan air, bobol oleh intensitas hujan yang meningkat. Akibatnya saluran yang seharusnya menyalurkan air tak sangguh menampung curah hujan dalam jumlah besar. Tahun 2011 boleh dikata sebagai tahun paling suram dan menyeramkan bagi Singapura. Kawasan  perbelanjaan Orchard yang menjadi favorit wisatawan adalah lokasi terparah yang tertimpa banjir. Kerugian diperkirakan mencapai jutaan dollar, tak ketinggalan mobil-mobil mewah bermerk ikut terendam.
Menariknya dalam waktu singkat Singapura berhasil menemukan penyebabnya dan segera melakukan perbaikan agar banjir serupa tidak terjadi lagi. Debit air yang deras dengan saluran air yang kecil adalah masalah utama yang perlu penanganan segera. Tidak ingin kehilangan devisa (dari pelancong mancanegara), Singapura bergerak cepat, saluran air diperlebar, dan hasilnya langsung dirasakan pada musim penghujan tahun berikutnya.
Beda Singapura, beda Jakarta. Banjir yang sudah menahun gagal di rumuskan solusinya. Padahal sudah berkali-kali ganti pemerintahan, tapi hingga kini problemnya masih sama, banjir dan banjir lagi. Sudah waktunya menemukan solusi yang konkret dan jelas. Tidak masalah pelaksanaan penanganan banjir berjalan dalam waktu yang lama (katakanlah 3 tahun), asal hasilnya pada tiap tahun bisa dirasakan. Lakukan langkah yang komprehensif dan terukur, bahkan jika perlu gunakan sikap keras dan tegas, demi menghindarkan Jakarta dari banjir. Tinggalkan kebiasaan tambal sulam, karena curah hujan tidak akan berkurang, meski pawang hujan didatangkan.
Ayo lakukan sekarang, demi Jakarta bebas banjir 3 atau 4 tahun ke depan. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H