Mohon tunggu...
Ibnu Zubair
Ibnu Zubair Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menolak Tua I Pengamat segala hal | Menggemari Arsenal & Persija | Suka humor & Lawakan cerdas. Blog pribadi www.ibnuzubair.wordpress.com & akun @IbnuZbr\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Negara Hukum dan Transisi Menuju Demokrasi

13 Mei 2011   08:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 2167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Hukum dalam Berbagai Perpektif

Sulit membayangkan negara tanpa aturan hukum yang jelas, dimana kekuasaan dimiliki oleh manusia yang kuat dan yang lemah ditindas sedemikian rupa tanpa perlindungan. Siapapun tidak ingin kondisi seperti ini, bukan hanya mengembalikan peradaban manusia ke zaman kuno, juga dapat mempercepat punahnya spesies manusia.

Kekuatan yang dominan tanpa aturan jelas akan menggiring manusia pada upaya saling memusnahkan satu sama lainnya. Sistem monarki yang muncul sebagai akibat munculnya kekuatan dominan, lambat laun akan ditinggalkan bahkan sudah sulit kita lihat lagi. Meskipun secara fisik masih ada, tapi kewenangan dan kekuasaannya sudah dikurangi.

Harus disadari bahwa relasi antara satu manusia dengan lainnya terbentuk bukan karena kesepakatan yang secara kebetulan dibuat oleh manusia itu sendiri, melainkan sesuatu yang berproses. Interaksi dalam masyarakat melahirkan pola hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Dari sinilah muncul kesepakatan-kesepakatan. Proses ini bisa dipahami sebagai proses alamiah yang terjadi dan dilalui setiap manusia.

John Locke berpendapat bahwa “And thus every man, by consenting with others to make one body politic under one government, puts himself under an obligation to every one of that society to submit to the determination of the majority, and to be concluded by it; or else this original compact, whereby he with others incorporates into one society, would signify nothing, and be no compact if he be left free and under no other ties than he was in before in the state of Nature. For what appearance would there be of any compact? What new engagement if he were no farther tied by any decrees of the society than he himself thought fit and did actually consent to? This would be still as great a liberty as he himself had before his compact, or any one else in the state of Nature, who may submit himself and consent to any acts of it if he thinks fit[1].” Menurut Lock bahwa kekuasaan politik adalah suatu keadaan alamiah (state of nature) yang di dalamnya terdapat hukum alam yang tidak lain adalah hukum Tuhan yang mengatur keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini mendahului eksistensi negara. Dalam keadaan alamiah, manusia itu sama dalam pengertian bahwa semua memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka. Manusia secara alamiah sebenarnya baik. Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”. Hak dasar terpenting manusia adalah hak atas hidup dan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, manusia dalam keadaan alamiah sebenarnya sudah mengenal hubungan-hubungan sosial. Pandangan Locke yang sangat positif dalam memandang state of nature manusia ini sangat berbeda dengan pendahulunya, yakni Thomas Hobbes yang penuh curiga terhadap state of nature manusia[2].

Gagasan state of nature yang ditawarkan Locke tersebut sebenarnya tidak lebih orisinil dibanding gagasan state of nature yang ditawarkan Hobbes yang menggambarkan keadaan mula manusia sebagai homo homini lupus dan bellum omnium contra omnes. State of nature dalam konsep Locke diambil dari pemikir sebelumnya yang penuh nuansa teologis. Oleh karena itu, menurut Bertrand Russell, state of nature dalam konsep Locke ini tidak lebih dari sekedar pengulangan doktrin skolastik abad pertengahan. Pelukisannya tentang keadaan alamiah yang bahagia, masih menurut Russel, tidak lain merupakan suatu pengulangan mitos klasik Alkitab mengenai kejayaan masa lampau. Dari pandangan Locke tentang state of nature ini yang kemudian melahirkan konsep perjanjian negara[3].

Negara lanjut Locke, didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang  dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut[4].

Motivasi manusia untuk mendirikan negara, yaitu menjamin hak-hak asasinya, terutama hak miliknya, menjadi tujuan negara. Oleh karena itu, kewajiban-kewajiban utama negara adalah untuk melindungi kehidupan dan hak milik para warga negara. Hanya demi tujuan itulah para warga negara meninggalkan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang penuh ketakutan itu. Oleh karena itu, negara mempergunankan kekuasaannya untuk memelihara lahir batin kepentingan masyarakat[5].

Selanjutnya Locke menegaskan bahwa bahwa tujuan dasar dibentuknya suatu kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil. Demi melindungi kebebasan sipil itu, cara apa pun boleh dilakukan oleh negara. Negara diperbolehkan menggunakan kekerasan sejauh demi tujuan itu dan bukan tujuan lain seperti kejayaan bangsa, kebajikan bersama, dan lain-lain. Hal ini boleh jadi juga menjadi salah satu pendapat Locke yang sulit untuk dijelaskan dalam dunia modern[6].

Jika Locke menyebut state of nature, maka Han Kelsen berpendapat mengenai teori hukum murni yang berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana semestinya ada. Inti ajaran Hans Kelsen sebenarnya ada tiga konsep, yaitu:

a.Ajaran Hukum Murni

Bagaimana ajaran Hukum Murni itu? Secara ringkas dapat dikatakan Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir non hukum, seperti sejarah, moral, sosiologis, politis, dan sebagainya. Hans Kelsen misalnya menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen, keadilan adalah masalah ideologi yang irasional, Hans Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya, yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.

b.Ajaran tentang Grundnorm

Grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Jadi antara grundnorm yang ada pada tata hukum A tidak mesti sama dengan Grundnorm pada tata hukum B. Grundnorm ibarat bahan bakar yang menggerakan seluruh sistem hukum. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.

c.Ajaran tentang Stufentheorie

Menurut Hans Kelsen peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada pada puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah semakin kongkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang "seharusnya" berubah menjadi suatu yang "dapat dilakukan"[7].

Baik Locke maupun Kelsen menginginkan agar hukum tidak menjadi obyek politik, artinya hukum harus menjadi panduan dalam bertindak. Hukum tidak sekedar tumpukan aturan tanpa kepatuhan untuk melaksanakannya. Sebab hakikatnya manusia butuh keteraturan, hal itu terlihat dari proses alamiah yang dilalui setiap manusia. Sadar atau tidak aturan-aturan yang melekat secara alamiah itu tidak dapat dillepaskan, meskipun ada paksaan resmi yang diberlakukan oleh suatu negara. Karena itu dengan teorinya Locke dan Kelsen mengingatkan sekaligus menawarkan ragam pemanfaatan hukum untuk kebaikan kekuasaan.

Negara esensinya adalah penerapan aturan hukum, bukan pemanfaatan hukum untuk kepentingan kekuasaan. Meskipun dalam prakteknya hukum adalah produk politik. Daniel S. Lev berpendapat bahwa, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya[8]. Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri[9].

Namun demikian, sekalipun pandangan Kelsen terlihat menarik dan banyak digunakan, namun ada juga kritik terhadap teori tersebut, diantara kritik tersebut sebagai berikut[10]: Pertama, Pemikiran Hans Kelsen yang "normatif murni" sejak dahulu telah banyak memikat para ahli hukum dan penstudi hukum, karena hadir ketika filsafat hukum yang masih didominasi aliran hukum alam terlampau sibuk pada mainstram perbincangan ontologis dan debat spekulatif tentang apa makna keadilan, kelayakan/kemanfaatan, dan akhirnya paradigma positivisme adalah tawaran alternatif tetapi saat ini penyelesaian hukum normatif kenyataannya semakin menjauh dari permasalahan konkret, karena yang dikejar hanya kepastian hukum, dan itu membuktikan, bahwa hukum dalam tataran empirik sebenarnya tidak bebas nilai, oleh karena itu perlunya analisis hukum berparadigma ganda, yaitu sinergisitas antara paradigma hukum alam rasional dengan paradigma pospositivisme yang berbasiskan moralitas .

Kedua, Pembersihan atau pemurnian hukum dari anasir non hukum (secara epistemologi) merupakan dasar akhir dan mutlak bagi Kelsen. Banyak kalangan menyebut Hans Kelsen sebagai peletak dasar dari teori dan ilmu hukum menjadisuatu disiplin yang mandiri (autonomus dicipline). Fondasi epistemologi Hans Kelsen inilah yang sampai sekarang mengundang perdebatan, termasuk dilingkungan para penstudi hukum, karena Kelsen menolak apabila validitas norma diuji dari sesuatu yang bukan norma. Konsekuensi pemikiran Kelsen dalam memaknai norma melahirkan teori jenjang (stufen desrecht) bahwa norma hukum tersusun secara berjenjang dan teori berjenjang ini banyak mempengaruhi sistem peraturan perundang-undangan diberbagai negara, termasuk Indonesia, dimana norma yang tinggi menjadi sumber bagi penyusunan norma-norma dibawahnya.

Ketiga, Hans Kelsen relatif berhasil ketika menjelaskan adanya sistem hirarkis dari norma-norma hukum positif.Masalah baru timbul ketika ia sampai pada puncak sistem hirarki, yang diberi nama Grundnorm (norma dasar). Diskursus tentang norma dasar dan norma fundamental negara ini sesungguhnya telah "menjebak" Kelsen pada ajaran hukum alam yang abstrak (abstrasi norma), karena abstraksi norma tertinggi bermain diwilayah antara hukum dan moral, sedangkan Hans Kelsen berupaya membebaskan norma hukum dan anasir-anasir non hukum.

Keempat, Positivisme Hukum dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ilmu hukum dengan membersihkan dari anasir-anasir non hukum membawa ilmu hukum cenderung mereduksi masalah hukum yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanis dan determenistik, sehingga melemahkan daya antisipasi hukum terhadap perkembangan masyarakat.

Jika Kelsen datang dengan hukum murni, beda lagi dengan Philipe Nonet dan Philip Selznick yang memberi penyegaran dengan tawaran yang lebih menarik dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Nonet dan Selznick membuat tiga klasifikasi hukum dalam masyarakat, Pertama, Repressive Law, hukum sebagai pelayan kekuasaan represif.Kedua, Autonomous Law, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya. Ketiga, Responsive Law, hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial[11].

Lebih lanjut Nonet dan Selznick menjelaskan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model)[12]. Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapanResponsive Law yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Responsive Lawberorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel[13].

Transisi Menuju Demokrasi

Demokrasi sejatinya adalah terselenggaranya pemerintahan sebuah negara yang kedaulatannya bersumber dari rakyat, dikelola oleh rakyat dan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat[14].Namun jalan menuju demokrasi tidaklah mudah, sebab tahapannya memerlukan waktu dan partisipasi aktif masyarakat. Dalam kondisi seperti ini biasanya terjadi banyak masalah, diantaranya benturan antara sipil dan militer. Meskipun dalam banyak kasus, sipil selalu berhasil mendapat dukungan, namun faktor militer selalu menjadi sandungan dalam upaya penerapan demokrasi. Para ahli telah banyak meneliti mengenai masalah ini.

Perjuangan menuju demokrasi adalah perlawanan melepas diri dari otoritarianisme, yang sering kali lahir dari proses kudeta politik. Proses ini berlanjut pada upaya demokrasi, namun tidak jarang melahirkan otoritarianisme baru. Hal inilah yang memunculkan kembali perlawanan baru dan pada tahap kedua ini, biasanya peran militer ramai dibicarakan, selain trauma kembalinya demokrasi semu, juga perilaku militer yang sering tergoda kekuasaan politik.

Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga) dekade terakhir ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara[15]. Dalam pandangan Anthony Giddens, dalam semua upaya pembaruan politik, pertanyaan mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan sendirinya. Jika program politik yang koheren bisa disusun, bagaimana penerapannya? Partai-partai demokrasi sosial pada awalnya muncul sebagai gerakan-gerakan sosial pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad keduapuluh. Pada saat ini, selain mengalami krisis ideologis, mereka juga dikepung oleh gerakan-gerakan sosial baru, dan—sebagaimana partai-partai lainnya—terperangkap dalam situasi dimana politik mengalami devaluasi dan pemerintah tampaknya kehilangan kekuatan. Neoliberalisme melancarkan kritik berkepanjangan mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kritik yang tampaknya menggemakan kecendrungan-kecendrungan dalam dunia nyata. Sudah saatnya para demokrat sosial meluncurkan serangan balik atas pandangan-pandangan seperti itu, yang tidak bertahan lama jika dikaji dengan seksama[16]. Lanjut Giddens, tema-tema tentang berakhirnya politik, dan negara yang dilanda oleh pasar global, menjadi begitu menonjol dalam literatur akhir-akhir ini, sehingga apa saja yang bisa dicapai oleh pemerintah dalam dunia kontemporer saat ini layak diulang kembali[17].

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu sama lain. Tidak ada rezim otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya yang memperjuangkan demokrasi yang dapat dianggap seperti itu. Perbedaan-perbedaan dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki; antara demokratisasi dan liberalisasi; antara transisi dengan konsolidasi; antara kaum garis-keras dengan kaum garis-lunak atau para akomodasionis dalam koalisi otoritarian; dan antara kaum maksimalis, moderat dan oportunis dalam koalisi yang mendukung liberalisasi[18].

Proses menuju cita-cita ideal demokrasi inilah yang disebut dengan masa transisi demokrasi. Pada masa ini, demokrasi berjalan dengan tertatih-tatih karena para aktornya masih dalam tahap belajar berdemokrasi. Upaya mencari format ideal ketatanegaraan, pendewasaan kualitas berpolitik warga negara, partai politik yang masih menjamur, program pembangunan yang belum memiliki skala prioritas dikarenakan pemerintahan yang terfragmentasi dan keterkejutan rakyat dengan pola demokrasi langsung merupakan beberapa contoh betapa Indonesia hari ini masih dalam masa transisi atau peralihan.

Transisi bermakna peralihan. Yang dimaksud dengan peralihan adalah adanya perubahan dari keadaan tertentu menuju keadaan lain yang dicita-citakan atau diharapkan[19]. Transisi selalu dihubungkan dengan demokrasi, yang berarti adanya sebuah peralihan dalam upaya menciptakan kondisi negara yang tidak atau kurang menjunjung tinggi demokrasi menuju keadaan yang lebih mengedepankan atau menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. Negara yang menjunjung tinggi demokrasi menurut Schumpeter adalah di mana untuk mencapai keputusan politik, yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat[20].

Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Scmitter berpendapat bahwa transisi adalah interval (selang waktu) antara satu rezim politik dan rezim yang lain. Transisi dibatasi oleh dimulainya proses perpecahan rezim autoritarian oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya beberapa bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan beberapa alterntif revolusioner[21]. Ia juga menilai, sudah jadi ciri masa ini yakni tidak menentunya aturan main politik. Hal itu disebabkan bukan hanya aturan itu berubah terus menerus dalam masa transisi itu tetapi juga karena aturan main itu dipertarungkan anta relit politik. Menurut kedua sarjana tersebut, selama masa transisi bila memang ada aturan-aturan yang efektif, cenderung berada dalam genggaman pemerintah otoriter. Biasanya penguasa ingin mempertahankan kekuasannya untuk menentukan aturan dan hak-hak yang dalam kondisi demokrasi yang mantap dipagari oleh perundang-undangan. Oleh karena itu penguasa akan berusaha memodifikasi aturan itu demi kepentingan dirinya. Dalam ketidakpastian inilah menurut Schmitter, banyak orang yang berkeinginan menjadi pencari keuntungan. Muncullah politisi-poitisi instant yang berkarakter pragmatis karena hanya ingin mendepatkan keuntungan dari kencangnya tarikan-tarikan kepentingan elit. Menurut Adam Przeworski (1993), transisi menuju demokrasi sebagai sebuah proses penciptaan institusi-institusi spesifik , dengan berbagai efek terhadap kapasitas beragam kelompok untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka.

Adapun polanya, menurut Huntington (2001) transisi demokrasi memilikikeragaman pola menuju demokrasi[22]. Pola yang pertama adalah pola siklus. Hal ini ditandai dengan belum stabil dan silih bergantinya rezim otoiter yang mapan berganti dengan rezim otoriter yang tidak mapan dalam memimpin suatu negara. Pola ini sangat umum berlaku di Amerika Latin seperti Argentina, Peru, Brasil dan Bolivia.

Pola kedua yakni pola mencoba untuk kedua kalinya. Pola ini menjelaskan tentang nasib rezim demokratis yang lebih mapan tampil kembali menggantikan rezim otoriter untuk waktu yang sangat lama. Jepang, Venezuel dan Kolombia pernah mengalami pola seperti ini. Negeri-negeri tersebut yang setelah rezim demokratis ditumbangkan oleh rezim otoriter, diam-diam rezim demokratis yang telah tumbang menyusun kekuatan dan akhirnya sukses menumbangkan rezim otoiter tersebut.

Pola ketiga yaitu demokrasi terputus-putus. Ini terjadi pada negeri yang membangun rezim-rezim demokratis yang telah bertahan dalam masa yang relative panjang. Namun pada suatu ketika, ketidakstabilan, polarisasi, atau kondisi-kondisi lain berkembang dan menyebabkan terhentinya proses demokrasi. Pada tahun 1970-an sistem demokrasi di India dan Filipina dihentikan oleh para pejabat eksekutiftertinggi yang dipilih secara demokratis.

Pola keempat ialah pola transisi langsung. Hal ini berupa rezim otoriter yang mapan ditumbangkan oleh kekuatan demokrasi dengan tatanan pemerintahan yang solid dan stabil, baik melalui evaluasi yang berangsur-angsur dari waktu ke waktu ataupun melalui pergantian sistem yang tersebut pertama oleh sistem yang tersebut kedua secara mendadak. Rumania, Bulgaria dan Guatemala menjadi contoh yang mendekati pola dimaksud.

Pola kelima ialah pola dekolonisasi di mana negara yang telah jauh demokratis berupaya mengintervensi negara lain yang masih otoriter untuk mengikuti sistem demokrasinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Myron Weiner, pola ini terutama terjadi pada bekas-bekas koloni-koloni Inggris yang tergabung dalam negara-negara persemakmuran (commonwealth) seperti Papua Nugini.

Dari uraian tentang transisi demokrasi di atas, setidak-tidaknya telah memberikan gambaran tentang sebuah negara dikategorikan sedang berada dalam masa transisi demokrasi. Pergantian rezim antara yang otoriter dan demokratis disertai ketidakpastian berjalannya roda pemerintahan dan pembangunan merupakan gambaran umum sebuah kondisi yang transisional.

Demokrasi dan Model Kekuasaan

Demokrasi secara literal diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Definisi ini secara luas dan mendasar adalah definisi yang paling banyak digunakan. Meski demikian ketika demokrasi dibahas dalam level nasional dan modern, maka demokrasi diartikan sebagai tindakan pemerintah yang tidak dilakukan langsung oleh rakyat namun oleh wakil-wakilnya yang dipilih secara bebas dan setara. Dengan demikian, demokrasi biasanya adalah demokrasi perwakilan. Itulah sebabnya Lijphart menegaskan bahwa didalam tulisannya adalah bukan melihat sosok demokrasi yang ideal, melainkan cara kerja demokrasi yang mendekati bentuk ideal tersebut dengan berfokus kepada berbagai variasi institusi formal dan informal serta praktek yang digunakan dalam menerjemahkan kehendak publik ke dalam kebijakan publik[23].

Arend Lijphart membedakan model demokrasi ke dalam dua bentuk dasar yakni Model Westminster dan Model Konsensus. Keduanya memiliki berbagai macam varian dan deviasi yang berkembang kemudian. Esensi dari Model Westminster yang digunakan di Inggris dan negara-negara dalam pengaruh Anglo-Saxon lainnya adalah kekuasaan mayoritas.

Model Westminster[24] terdiri dari sembilan unsur yakni : (1) konsentrasi kekuasaan eksekutif yakni satu partai dan kabinet mayoritas dimana jarang sekali terjadi koalisi partai, (2) fusi kekuasaan dan dominasi kabinet yang bergantung kepada kekuatan parlemen. Parlemen dalam hal ini dapat mengontrol kabinet atau sebaliknya kabinet terdiri dari pemimpin partai mayoritas sehingga didukung oleh parlemen, (3) bikameralisme asimetris dimana parlemen terdiri dari House of Commons yang dipilih dan House of Lords yang merupakan warisan kebangsawanan. Semua kekuasaan legislatif secara asimetris jatuh ke tangan House of Commons sementara House of Lords hanya dapat menunda hasil legislasi, (4) sistem dua partai yang didominasi oleh Partai Konservatif dan Partai Buruh, sementara partai lainnya seperti Partai Liberal tidak cukup besar untuk bisa menang secara keseluruhan kecuali menduduki kursi parlemen, (5) sistem partai satu dimensi yakni pembedaaan spektrum politik secara tajam berdasarkan isu kebijakan sosial ekonomi. Partai Buruh merepresentasikan kepentingan kiri-tengah sementara Partai Konservatif merepresentasikan kepentingan kanan tengah. Sementara itu agama dan nasionalisme sempit, meski dianggap lebih penting namun tidak memberikan ancaman kepada kedua partai tersebut, (6) Sistem pemilihan umum yang plural dimana 650 anggota House of Commons dipilih dalam sistem distrik tunggal. Kandidat dengan suara mayoritaslah yang menang dan jika tidak ada mayoritas, maka minoritas terbesarlah yang mendapat kursi, (7) Pemerintahan terpusat dan unitarian dimana pemerintah daerah tidak lebih dari alat pemerintah pusat dengan ketergantungan baik keuangan maupun tidak adanya jaminan kekuasaan secara konstitusional terhadap kekuasaan pemerintah daerah, (8) kedaulatan parlemen dan konstitusi yang tidak tertulis karena diartikan dalam sejumlah hukum dasar, kebiasaan dan konvensi, serta (9) demokrasi perwakilan yang eksklusif karena semua kekuasaan terkonsentrasi di dalam keputusan parlemen yang merupakan perwakilan rakyat sehingga tidak ada ruang untuk demokrasi langsung seperti referendum.

Kesembilan karakteristik tersebut membuat model demokrasi yang sepenuhnya berdasar kepada asas mayoritas. Meski demikian, tidak terjadi tirani mayoritas di Inggris karena adanya kebiasaan-kebiasaan informal yang menghambat hal itu. Hak dan kebebasan warga tidak dilanggar dan minoritas tidak ditindas. Justru di House of Commons, terdapat kebiasaan dimana kabinet berkonsultasi kepada pemimpin oposisi jika menghadapi isu penting atau sensitif[25].

Lebih jauh Lijphart menjelaskan mengenai definisi demokrasi tentang pemerintahan oleh mayoritas rakyat. Argumennya adalah mayoritas harus berkuasa dan minoritas menjadi oposisi. Oleh Lijphart, pandangan seperti inilah yang kemudian ditentang oleh Model Konsensus di dalam demokrasi. Model Konsensus melihat bahwa pola pemerintah-oposisi adalah tidak demokratis karena bersifat eksklusif. Model Konsensus oleh Arthur Lewis melihat bahwa demokrasi adalah “segala yang terkena imbas keputusan harus memiliki peluang untuk berpartisipasi didalam membuat keputusan baik secara langsung maupun melalui wakil yang terpilih’. Jika partai pemenang berhak atas segala keputusan pemerintah dan yang kalah hanya mengkritik namun tidak memerintah maka menurut Lewis kedua hal tersebut tidaklah setara. Baginya, mengeluarkan kelompok yang kalah untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan jelas melanggar makna demokrasi[26].

Model Konsensus[27] dalam demokrasi kemudian dilihat dapat bekerja dalam masyarakat yang plural, dimana dibutuhkan tatanan demokrasi yang menekankan konsensus dibandingkan oposisi. Model Konsensusterdiri dari delapan unsur yakni (1) pembagian kekuasaan eksekutif berupa koalisi besar, (2) pemisahan kekuasaan formal dan informal, (3) bikameralisme berimbang dan representasi kelompok minoritas, (4) sistem multipartai, (5) sistem partai multidimensional yang tidak saja mengedepankan basis isusosial ekonomi semata tetapi juga basis isu agama, ideologi dan lainnya, (6) representasi proporsional, (7) federalisme teritorial dan non teritorial serta desentralisasi, (8) konstitusi tertulis dan hak veto minoritas. Dengan demikian kedelapan unsur Model Konsensus dalam demokrasi tersebut bertujuan untuk (a) membagi kekuasaan antara mayoritas dan minoritas, (b) memecah kekuasaan baik di antara eksekutif dan legislatif serta beberapa partai kecil, (c) pendelegasian kekuasaan terhadap kelompok teritorial dan non teritorial serta (d) pembatasan kekuasaan melalui hak veto minoritas[28].

Model apapun yang akan digunakan, kekuasaan harus dibatasi, itulah mengapa muncul paham kostitusionalisme, suatu pemikiran yang telah lama berkembang. misi utama pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan, karena pada masa sebelumnya kekuasaan nampak sangat luas seolah tanpa batas. Pembatasan kekuasaan itu terutama dilakukan melalui hukum lebih khusus lagi melalui konstitusi. seperti dikatakan Erick Barent, constitutionalism is belief in imposition of restrains on goverment by means of constitution[29].

[1] Satya Arinanto, Politik Hukum 1 (Bahan Kuliah), Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, hal.3

[2] A. Ahsin Tohari, Pokok-Pokok Pemikiran John Locke Dalam Two Treatises Of Government, http://ilhamendra.wordpress.com/2009/03/17/pokok-pokok-pemikiran-john-locke-dalam-two-treatises-of-government/diakses 11 Mei 2011

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7]Turiman Fachturahman Nur, Analisis Ensensi Teori Hans Kelsen Kaitannya Dengan Pancasila Sebagai Grundnorm Dalam Bernegara Hukum Indonesia. http://fak-hukumuntan.blogspot.com/2010/02/analisis-esensi-teori-hans-kelsen.html diakses 11 Mei 2011

[8] Daniel S. Lev, Hukum dan Politik, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3ES, Jakarta. 1990, hal XII

[9]Hamdan Zoelva, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia/ diakses 12 Mei 2011

[10]Turiman Fachturahman Nur, Op.Cit

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun