Rinjani tak seperti gunung yang pernah kudaki sebelumnya. Ia tersembunyi di balik-balik bukit. Tertutup kabut. Ia tak tampak dari kejauhan. Rinjani tampak begitu misterius. Aku bertanya pada bang Ofik, supir yang mengantarkan kami ke Sembalun, basecamp Rinjani. Apakah itu puncak Rinjani, tanyaku saat melihat sebuah puncak gunung yang samar-samar di selimuti awan. Ia tertawa lebar. “Nikmati sajalah,” ucapnya. Mendaki Rinjani, adalah impianku nomor 60 dalam 100 list impianku. Tahun ini, aku memang sudah bertekad akan mendaki Rinjani tahun ini. Namun masalahnya, aku tidak tahu harus pergi dengan siapa. Lalu aku coba mention Info Gunung di tweeter. Mencari teman, siapa yang kira-kira akan mendaki Desember ini. Hanya dalam beberapa menit, banyak balasan. Tapi sebagian mereka masih sekadar rencana. Salah satu akun yang bernama Fahmi, ternyata menanggapi serius tweet-ku. Ia ternyata juga sudah membeli tiket ke Lombok. Ia akan pergi berdua bersama temannya, Juple. Atas alasan itu, menurutku, fahmi jauh lebih siap dari yang lain. Aku pun memutuskan untuk pergi bersamanya. Aku telah siap dengan segala konskuensinya, bagaimana nanti perjalananku dengan orang yang nyaris tak kukenal. Tapi di sisi lain, ini justru menarik. Aku akan belajar untuk menyesuaikan diri nantinya. Setelah mengatur waktu dan penerbangan yang sama, selanjutnya komunikasi hanya di dunia maya saja. Kami baru benar-benar bertemu di Bandara, saat akan berangkat. Kesan pertamaku saat mengenal mereka adalah, “all is well”. Mereka sama seperti Rinjani, misterius. Sesampainya di Lombok kami langsung menuju Sembalun. Sepanjang jalan bang Ofik memberikan banyak nasihat selama pendakian nanti. Aku tak sepenuhnya mendengar nasihat bang Ofik, hujan yang mengguyur sepanjang jalan telah membuatku ngantuk. Rinjani mendengung-dengung dalam kalbuku.
Hujan mulai reda. Dan tepat pukul empat sore kami tiba di Sembalun. Setelah shalat dan registrasi di
basecamp, kami pun memulai pendakian. “Sudah siap bang?” ucap Fahmi padaku. Aku mengacungkan jempol, “Ini pertualangan kita boy” kami pun tersenyum. Di antara kami, Juple lah yang paling bersemangat. Ia jalan begitu cepat. Aku sendiri masih bertanya-tanya, mengapa anak muda ini membuat namanya Juple, sementara nama aslinya adalah Siddiq. Besar dugaanku ia teracuni film 5 CM. Memang benar, kalau dilihat sekilas wajahnya mirip Herjunot Ali pemeran Juple dalam film itu. Tapi kalau ditatap lebih lama, rasanya memang lebih tepat namanya Siddiq. Seperti Abu Bakar pada gelar as siddiq-nya. Nama Siddiq lebih jujur menjelaskan dirinya. Aku menatap ke depan, tak ada tanda-tanda di depan kami ada gunung. Sudah setengah jam kami berjalan. Tracknya masih saja landai. Lalu naik turun perbukitan. “Ini benarkan tracknya?” tanyaku. Karena ketika itu kami tidak membawa
guide ataupun
porter. Kami hanya mengikuti jejak jalan orang, dan tentu saja dengan sedikit sentuhan firasat. “Mudah-mudahan betul bang haha….” Fahmi tertawa. Aku mengehela nafas, pasrah.
Hari mulai gelap, dan perlahan-lahan gerimis mulai turun. Semakin lama rintik hujan itu semakin deras. Kami berteduh sejenak di bawah pohon, aku mulai memakai
rain coat. Setelah meneguk air, kami kembali melanjutkan perjalanan. Sudah satu jam lebih kami berjalan namun belum juga ada tanjakan berarti. Hujan yang terus mengguyur membuat kami lebih banyak diam selama perjalanan. Dalam hati aku berdoa semoga tidak ada petir, sebab kami berjalan di lapangan yang terbuka. Kawasan perbukitan, tak ada sebatang pohon pun yang tegak. Kondisi seperti itu risiko tersambat petirnya besar. Aku tidak bisa membayangkan, apa jadinya, sekiranya aku disambar petir. Masihkan ada yang mengenaliku? Sudah tiga jam kami berjalan. Malam semakin gulita. Hujan pun tak kunjung berhenti. Sementara
track yang kami lalui masih seperti ini, bahkan aku masih menemukan kotoran sapi. Artinya, ini masih kawasan yang biasa dilalui penduduk. Entahlah, hanya keyakinan yang membuat kami terus melangkah. Bila letih, kami langsung menghempaskan tubuh di rerumputan. Setelah meneguk air, aku menengadahkan kepala ke langit. Membiarkan air hujan membasahi wajahku. “Ya Allah, ridhailah perjalanan ini” batinku. Memang, sebelum mendaki, ada terbesit perasan bangga dalam diri, kalau aku akan menaklukkan Gunung Berapi tertinggi ke dua di Indonesia ini. Berulang kali aku beristighfar. Aku pun kembali meluruskan niat. Untuk apa sebenarnya aku mendaki? Kami kembali melanjutkan perjalanan, sementara hujan semakin deras saja. Tak berapa lama, tampaklah sebuah pondok. “Pos satu!” teriak Juple.
Alhamdulillah, ada semacam titik terang bahwa
track yang kami lalui benar. Sebuah tenda berdiri di pos tersebut. Ada dua orang lelaki di dalamnya, dan ke duanya adalah pendaki. Salah seorang keluar, menyapa kami yang menggigil di luar. Ia berniat menurunkan tendanya agar kami bisa berteduh di pondok tersebut. “Tidak usah bang, kami cuma sebentar, mau lanjutkan lagi ini” ucapku. “Benar ini?” Tanyanya lagi. “Iya, kami nge-
came di Palawangan saja” ucap Fahmi. Kami pun melanjutkan perjalanan. Sekitar satu jam setengah kami sampai di pos dua. Di sanalah kami mengisi air. Juple mengarahkan senternya ke pondok. Ada sebuah tenda berdiri. “Haloo Om..!”teriaknya. Tak ada suara. Memang malam itu suasana sangat dingin. Tapi kami sudah bertekad paling tidak sampai dulu di pos tiga, baru akan mendirikan tenda. Tepat pukul sebelas malam akhirnya kami sampai di pos tiga. Hujan masih turun dengan derasnya. Tidak mungkin, kami rasanya tak mungkin melanjutkan sampai Plawangan. Aku telah menggigil karena terus dipeluk hujan. Akhirnya kami memutuskan untuk membangun tenda di pos tiga. Dalam guyuran hujan kami membangun tenda. Malam itu aku rasanya ingin cepat-cepat tidur. Menjelang pagi, hal yang kami syukuri adalah langit yang cerah. Aku menjemur pakaian dan jaket yang basah semalam. Juple melakukan senam, dengan gaya bak kucing baru bangun tidur. Sementara Fahmi merebus air dan membuatkan mie goreng. Ia adalah koki kami dalam perjalanan ini. Maka apapun dimasaknya, Aku dan Juple harus sama-sama memahami, untuk sepakat mengatakan enak. Matahari mulai meninggi, setelah sarapan kami melipat tenda. Hari ini, target kami adalah sampai Palawangan. Di sanalah basecamp terakhir untuk sampai ke puncak. Kata bang Ofik, Pos tiga ke Plawangan normalnya adalah 6 jam. Dan dari sinilah, tanjakkan sesungguhnya baru di mulai. Muatanku tambah banyak, karena
day pack Fahmi pindah ke tempatku. Sementara dia memegang air selama perjalanan. Beginilah kami, saling membagi tugas. Karena sejatinya pendakian ini juga tentang kebersamaan. Kita tidak akan sampai kalau masing-masing menjadi egois.
Sepanjang track ini adalah hutan-hutan cemara gunung. Kabut-kabut tipis menyela di dahannya. Aku menyematkan
ear phone di telinga. “One more time” Kenny G mengalun lembut. Untuk
trackini, sebentar-sebentar kami berhenti. Jalannya terus menanjak, dengan kemiringan sekitar 70 derjat. “Hi sir, how are you to day?” tanyaku pada seorang bule yang turun dengan girangnya. “I am happy going down” teriaknya. Kami tertawa mendengarnya. Di jalan kami memang mulai bertemu banyak pendaki. Baik yang turun maupun yang akan naik. Kami pun mulai akrab dengan mereka. “Nah, ini Tanjakan Penyesalan” kata seorang porter. Tak salah memang, seperti namanya, tanjakan ini memang benar-benar membuat kita putus asa. Rasanya tanjakan ini tak ada habisnya. Setiap kali sampai di ujung, ada lagi tanjakannya. Berlapis-lapis. Hanya beberapa langkah kami sudah istirahat. Tanjakan ini benar-benar menguras tenaga. Saat kami bersandar di pohon pinus, dan meneguk air. Aku melihat sebuah tugu kecil. Di sana tertulis 9 KM. “Marseulina”-nya bang Ramlan Yahya mengalun merdu melalui
ear phone-ku. Aku tak membayangkan telah mendaki sejauh ini, meninggalkan nun jauh kampung halamanku. Aku mengumpulkan satu-satu semangat. Pendakian ini harus berlanjut. Aku telah sejauh ini, tak mungkin menyerah. Seterjal apapun tanjakan penyesalan ini, satu-satunya cara menaklukkannya adalah terus melangkah. Aku menutup rapat-rapat segala bentuk perasaan putus asa. Kita akan sampai, batinku.
Sekitar satu jam kemudian, tiba-tiba Juple berteriak “Plawangan!”. Aku menghela nafas lega. Akhirnya kami sampai juga. Ketika itu Palawangan tengah diselimuti kabut yang cukup tebal. Saat kabut mulai menipis, aku berdecak kagum. Karena nun di bawah sana tampaklah Danau Segara Anak yang indah. Airnya biru dan tenang. Indah sekali.
Kami tiba di Plawangan sekitar jam setengah lima sore. Di sini, kami akan mendirikan tenda. Setidaknya kami masih punya waktu yang cukup untuk memulihkan tenaga, karena tengah malam nanti adalah
etape terakhir dan paling penting. Yaitu mendaki puncak Rinjani. Sampai di Plawangan pun, aku belum juga melihat dengan jelas puncak Rinjani. Ia masih begitu misterius. Malam itu Fahmi memasak mie goreng dengan siraman sarden cabai hijau. Ketika itu, aku dan Juple harus jujur. Kalau masakan Fahmi memang benar-benar lezat.
Setelah kenyang, Juple memasang alarm. Aku menyiapkan segala persiapan untuk mendaki puncak nanti. Salah satunya kertas dan spidol, karena di atas nanti aku akan menulis banyak pesan. Setelah lampu dipadamkan, kami pun larut dengan mimpi masing-masing. Alarm Juple menjerit-jerit pukul 12 malam. Tapi kami baru benar-benar bangun pukul setengah satunya. Di luar,
head lamp pendaki lain berkelap-kelip. Inilah waktu yang kami tunggu-tunggu, menuju
summit. Aku mengganti bajuku dengan
jersey Arsenal, melilitkan serban Palestina. Dalam setiap pendakian, ini adalah stelan wajibku. Setelah berdoa sejenak, kami pun memulai lagi pendakian. Aku menggamit sebotol air mineral. Untuk pendakian menuju
summit ini, kita memang disarankan untuk membawa muatan seminimal mungkin. Jadi kami meninggalkan semua perlengkapan di tenda, hanya membawa apa yang perlu saja. Malam itu angin berderu lembut, kami berhati-hati melewati tepian tebing. Tracknya kali ini penuh pasir. Karena sebenarnya pendakian ini adalah menelusuri bibir kawah Rinjani yang curam. Aku merinding membanyangkannya. Dengan tracknya hanya selebar dua meter, sementara sebelah kirinya adalah jurang yang curam. Dan sebelah kanan adalah kawah yang menganga. Semakin lama deru angin semakin kencang. Rasa dingin menembus sarung tanganku. Menjalar ke buku-buku jari. Aku mengepal-ngepalkan tangan agar tidak kaku. Saat aku menghempas tubuh di balik batu, rasa kantuk menyerang. Aku tersentak. Cepat-cepat aku mengucek mata. Membuang rasa kantuk. Karena mengerikan sekali kalau aku tertidur di sini. Maka satu-satunya cara melawan rasa dingin dan kantuk ini adalah aku harus terus melangkah. Agar suhu tubuhku tetap normal. Kalau pun istirahat tidak boleh terlalu lama.
Malam masih begitu pekat. Puncak Rinjani belum juga terlihat. Kata bang Eric, yang memimpin pendakian ini, sebentar lagi kami akan melewati tanjakan berpasir. Ia menyebutnya tanjakan 32. Sebabnya, kalau kita menejejakkan kaki tiga langkah, hanya dua langkah yang berlaku. Sementara selangkah lagi kaki kita merosot dibenam pasir. Aku mulai terengah-engah.
Nun di atas sana tampak kelap-kelip lampu pendaki. Aku pasti bisa! Batinku. Sudah lima jam aku mendaki. Air mineral pun sudah habis dua pertiganya. Sebentar lagi subuh tiba, dari bawah sebenarnya aku sudah berniat akan shalat subuh di puncak. Tapi mengingat pendakian masih jauh, rasanya tidak mungkin. Lalu aku menepi di celah-celah batu. Aku kembangkan kain sarungku di atas pasir. Setelah bertayamum. Aku menunaikan shalat subuh di sana. Inilah shalat subuh pertamaku di tempat yang paling tinggi. Rasanya syahdu sekali. Aku, Fahmi dan Juple terpisah cukup jauh. Kini, kami berjalan sendiri-sendiri. Saat itulah, aku merenungkan banyak hal. Merunut kembali perjalanan hidupku yang telah lalu. Kekeliruan yang telah kulakukan selama ini. orang-orang yang selalu menghangatkan hatiku. Terkenang, semuanya tampak begitu nyata Perlahan langit mulai memerah. Samar-samar mentari mengintip nun jauh di timur sana. “Ayo bang, sedikit lagi!” ucap salah seorang pendaki menyematiku. Aku mengangguk. Saat hari semakin terang, aku tak kuasa menahan haru saat melihat puncak Rinjani. Begitu kontras denga langit biru di belakangnya. Tubuhku bergetar. Dan tanpa aku sadari butiran bening mengalir lembut dari mata.
Aku semakin bersemangat. Rinjani sedikit lagi. Aku tertatih-tatih menapaki tracknya yang berpasir. Sambil terus menjaga keseimbangan. Sekuat daya kulawan rasa takut dan putus asa yang terus menggoda. Aku terus melangkah, untuk menembus rasa dingin yang kian menusuk. Akhirnya, setelah 18,5 jam pendakian ini, kakiku sampai juga di puncak Rinjani. Aku menghela nafas lega. Kulemparkan pandangan ke bawah sana, tampak awan Cumulus berarak lembut di langit sembalun. Indah sekali. Sembalun, di sanalah kami memulai perjalanan dan aku sudah sampai di sini. Selangkah demi selangkah.
Aku masih tak percaya sudah menjejakkan kaki sejauh ini. Danau Segara Anak pun tampak begitu menawan dari sini, awan tipis teduh memayunginya. Hari itu, pukul tujuh pagi, Kuteriakkan takbir atas segala pesonaNya yang terhampar, lalu kuletakkan keningku serendah-rendahnya pada pasirnya yang sejuk. Inilah bentuk syukurku, karena Allah telah menjaga dan menguatkanku sampai di sini. Aku mengeluarkan notes, lalu melingkari point no 60 dalam 100 list impianku. Rinjani, Tuntas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya