Orang Tamiang memiliki selera humor yang tinggi. Humor mereka tidak seperti lelucon kebanyakan yang sering kita saksikan di TV-TV, yang cenderung menjelek-jelekkan orang lain atau menyakiti secara fisik. Humor Tamiang dibangun dari kejelian mereka memanfaatkan momentum serta kelihaian merangkai kalimat yang menggelitik.Dan tentu saja biar lebih menarik, ditambah dengan sedikit improvisasi seperti dengan mengatur intonasi, atau menggunakan bahasa tubuh seperlunya.
Keluarga dari pihak ayahku adalah orang yang sangat lihai merangkai kalimat. Pak Cikku misalnya, kalau dia sudah bicara, maka hadirin seperti tersihir untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Padahal secara fisik Pak Cikku tampak menyeramkan, kumisnya tebal. wajahnya tirus sehingga sorot matanya juga terkesan tajam.
Tapi, setiap kali Pak Cikku melempar guyonan, setiap orang yang mendengarnya akan terguncang-guncang perutnya karena tak kuasa menahan tawa. Menariknya lagi, meskipun pintar membuat lelucon, itu bukan berarti Pak Cikku kehilangan wibawanya di masyarakat. Orang-orang justru segan padanya. Sebab seperti itu tadi, guyonannya dibangun bukan dengan merendahkan orang lain.
Aku teringat tahun 1996 silam. Saat banjir besar melanda kampungku. Ketika itu semua warga mengungsi di sebuah bukit kuburan Cina yang merupakan tempat tertinggi kampung kami. Saat malam kian larut, aku terbangun karena mendengar suara tawa yang rasanya tak asing lagi. Aku tidak bisa tidur, belum lagi nyamuk yang ngang-nging-ngung tak menentu. Aku beranjak untuk memastikan sumber suara. Benar dugaanku, di sana ada sekelompok orang yang tengah melingkari api unggun, dan Pak Cikku telah menyulut tawa mereka hingga tinggi malam.
Terkadang humor-humor yang disajikan juga memiliki pesan moral.
Sebenarnya abahku juga memiliki selera humor yang tinggi. Namun, karena abah adalah seorang imam kampung tentu saja ia harus tetap menjaga wibawanya. Bagi Abah humor adalah salah satu caranya untuk dekat dengan masyarakat. Pernah sekali, ada sepasang suami istri datang ke rumah kami. Mereka datang dengan saling memendam emosi, jelas kalau datang dengan gelagat demikian tujuannya satu. Mau cerai. Tapi inilah hebatnya abah. Ia tidak langsung menasehati, tapi memberikan guyonan-guyonan ringan untuk menyapa pasangan yang mau retak tersebut. Dalam amatanku pada banyak kasus, metode abah ini kerap berhasil untuk menyatukan dua insan yang hendak bercerai.
Nah, berikut ini adalah beberapa lelucon ala Tamiang yang saya ketahui dengan bermacam modelnya:
pertama, lelucon yang dibangun dengan logika. Saya sangat tertarik dengan lelucon model ini. Karena ia biasanya terucap sepontan dengan cukup menggelitik imajinasi. Misalnya,
“ah, bukan tanggong khumahku khayo ene”
“Keno mae”
“tamu yang datang cado putus-putus”
Artinya;
“ah bukan main rumahku raya ini”
“Ada apa”
“tamu yang datang tidak putus-putus”
Kedua, lelucon yang dibangun dengan memanfaatkan peritstiwa. Biasanya lelucon ini diucapkan untuk mengomentari peristiwa namun dengan melakukan perumpamaan-perumpamaan yang kerap tidak kita duga. Seperti:
“aiih... khecoknye ngalah ayam nak ngekham aje”
Artinya
“aiih... ributnya macam ayam mau ngeram saja”
Ketiga, lelucon yang dibuat dengan kelihaiannya memilih kata. Lelucon model ini harus didukung dengan intonasi atau pun bahasa tubuh. Bedanya, ia bisa diucapkan kapan saja asalkan bisa mengkombinasikan dua hal tadi, yaitu kelihaian memilih kata dan intonasi atau bahasa tubuh dengan sempurna. Misalnya:
“engko dhap, pande. awakne maele...”
Artinya
“Kamu enak pandai. Saya ini apalah...”
Inilah beberapa macam model lelucon suku Tamiang. Sedikit sisi kehidupan orang-orang kampung yang mencoba menghibur diri dengan cara-cara yang sederhana.Nah, sebagai keturunan suku Tamiang, terkadang saya berfikir apakah diri ini mewarisi selera humor seperti demikian? :D
Banda Aceh, 23 September 2011-
Pukul 01;27 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H