Di mulut gua Tsur orang-orang kafir Quraish telah berdiri, mereka masih mengira-ngira apakah di dalam gua Tsur ini Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi. Mereka ragu, sebab di bibir gua itu sarang laba-laba teranyam rapi. Mustahil bila dua lelaki Mekkah itu masuk dan sarang laba-laba ini tidak rusak, begitulah sangka mereka. Sedangkan di dalamnya, Abu Bakar diselimuti cemas, bila saja orang-orang kafir itu menoleh, tentulah mereka akan mendapati bahwa di dalam gua itu Rasulullah dan dirinya bersembunyi. Saat mengetahui kecemasan Abu Bakaritu, Rasulullah pun menenangkannya dengan kalimat yang penuh muatan iman.
“jangan takut dan gentar sesungguhnya Allah bersama kita”.
Kekhawatiran Abu Bakar adalah kekhawatiran yang beralasan. Perasaan yang tumbuh karena cinta, sehingga ia mencemaskan segala kemungkinan buruk yang terjadi terhadapapa yang ia cinta, yaitu Rasulullah dan masa depan dakwahnya. Di Gua Tsur itu juga, Abu Bakar telah membuktikan cintanya. Sebab, ketika itu ia tidak hanya mencemaskan keselamatan dirinya, ia rela menahan sakit ketika kakinya di gigit ular. Meskipun perih tak tertahankan, ia mendiamkannya. Tujuannya satu, agar binatang berbisa tersebut tidak mengigit Rasulullah.
Kecemasannya terhadap yang ia cintai itu, telah melampui rasa cemasnya terhadap sekat-sekat keduniaan. Sehingga ia mengerti, bagaimana menempatkan dan menentukan skala prioritas kerisauan pada jiwanya.
Ya, mungkin inilah yang sering membuat kita salah dalam menempatkan perasaan. Terkadang, kekhawatiran kita adalah kekhawatiran yang tidak beralasan. Perasaan yang tumbuh karena akumulasi cemas yang tidak terukur. Bahkan bila mau lebih jujur lagi, sekiranya saja kemungkinan buruk itu terjadi, dampaknya juga tidak begitu serius terhadap kehidupan kita.
Kita cemas, bila orang lain menilai buruk kepribadian kita. Hari-hari kita pun terkurung dalam sangka yang tidak jelas. Tapi, pernahkah kita mencemaskan bagaimana penilaian Allah terhadap prilaku-prilaku kita selama ini. Prilaku-prilaku yang semestinya membuat kita malu. Kita risau, bila yang kita kerjakan tidak dihargai orang lain. Tapi, pernahkah kita gundah bila yang kita kerjakan tidak diridhai Allah.
Lantas yang terjadi apa? waktu kita pun tersita hanya untuk memikirkan hal-hal yang justru menghambat produktivitas kita. Apalagi yang kita pikirkan itu pun, bukan sebuah upaya untuk keluar dari permasalahan.Hanya semacam perasaan semu, yang tumbuh subur karena kita terus melayaninya.
Sejenak, cobalah pelajari riwayat kehidupan yang telah lalu, berapa banyak kemungkinan buruk yang kita khawatirkan tapi nyatanya tidak seburuk yang kita duga. Bagaimana kita mendapati diri ini ketika itu. Adakah kita terpuruk. Bisa jadi, kita sekarang justru tersenyum mengenangnya. Mengingat betapa bodohnya diri ini ketika itu.
Gua Tsur adalah cerita kekhawatiran yang beralasan, kecemasan yang punya nilai, perasaan yang tumbuh karena kerisauan yang terukur. Dari Rasulullah kita belajar keteguhan iman, sedangkan dari Abu Bakar, kita belajar tentang alasan sebuah kekhawatiran.
Banda Aceh, 19 Juli 2011
Pukul : 22;36 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H