Dalam kekaguman kita tergoda untuk 2 hal; cemburu dan malu. Cemburu, karena menilai diri ini masih jauh dari kata pantas. Apalagi bila disandingkan dengan sosok yang dikagumi. Malu, karena pada batas ini baru mampu sekedar mengecap kagum. Merayakan pesona orang lain dalam kelemahan di sana-sini.
Hingga inilah, mengapa semestinya dalam kekaguman harus ada jarak. Semacam ruang yang membatasi diri. Jarak itu adalah antara apresiasi jiwa dengan harga diri. Ini menjadi penting, agar ketika rasa kagum menghampiri kita paham, bagaimana meletakkan kekaguman ini pada wilayah jiwa yang benar. Tujuan akhirnya, agar harga diri tetap terjaga dan setiap tingkah laku tetap pada batas-batas kewajaran.
Teriakkan histeris penggemar Justin Beiber adalah kekaguman. Tapi, memahami terlebih dahulu lirik lagunya adalah menjaga jarak. Antrian panjang penggemar buku Harry Potter adalah kekaguman. Tapi, mencerna setiap kalimat racikan tangan dari JK Rowling ini adalah menjaga jarak.
Ya, semestinya begitu. Karena menjaga jarak kekaguman adalah cerita tentang sebuah upaya. Tentang ikhtiar bagaimana diri ini tidak terjebak pada perasaan yang salah. Rasa kagum itu fitrah, karena jiwa selalu tertarik terhadap apa saja yang menyiratkan pesona. Namun sebelumnya, rasa kagum itu harus dilandasi dengan alasan yang kuat yaitu kepantasan. Pesona seperti apa yang layak dikagumi? itulah pertanyaan jiwanya.
Tapi ini cerita lain bila yang dikagumi adalah telaga keteladanan, yang hari-harinya terjaga dalam rahmat Allah. Beliau adalah baginda Rasulullah. Menjaga jarak kekaguman terhadap Rasulullah jelas-jelas sebuah kekeliruan. Sebab, mencintai Rasulullah secara utuh adalah kelanjutan dari mencintai Sang Khaliq yang hakiki. Hingga jiwa kita memang dituntut akrab dengan pribadinya. Sedangkan tentang celanya, luruhkanlah segala ragu. Karena dalam alquran Allah telah menjamin akan keluhuran akhlak Rasulullah.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab ayat: 21)
Oleh karena itu, selain pada Rasulullah rasa kekaguman kita semestinya ada jarak. Antara apresiasi jiwa dengan harga diri. Agar diri ini tak gelap mata. Bila nantinya sosok yang dikagumi menorehkan cela, kita mampu berfikir jernih menilainya. Tidak membenarkan celanya dan tidak pula menghadirkan benci, sekiranya orang lain tak sepaham dengan kita terkait penilaian sosok tersebut.
Sekali lagi, mari kita menjaga jarak kekaguman. Agar diri ini mampu bertindak dalam batas-batas yang wajar. Hingga diri ini mengerti kapan saatnya meneguk keteladanan, kapan pula menegaskan kekeliruan.
Banda Aceh, 14 Mei 2011
Pukul : 22;23 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H