Membaca judul di atas mungkin sebagian pembaca ada yang nyinyir. Maklum, sudah berpuluh tahun peran politisi senantiasa dinilai buruk oleh masyarakat. Kampanye pembusukan terhadap praktisi politik dan partai politik begitu massif. Padahal semakin sering masyarakat mengkerdilkan politisi maka sejatinya masyarakat sendirilah yang akan menanggung akibatnya.
Bertolt Brecht mengatakan seburuk-buruknya orang adalah yang buta buta huruf politik. Apatismenya dalam mengikuti gawean politik yang membuat negara justru kian kacau, karena produk politik itu berbagai hal, semisal memutuskan masalah harga pangan sampai penanganan patologi sosial.
Kita tahu bahwa tugas anggota dewan adalah pengawasan, penganggaran dan legislasi. Jika sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang memiliki kapabilitas intelektual dan moral pasti hasilnya akan jauh lebih signifikan.
Dan posisi eksekutif yang dipertandingkan melalui pemilukada dan pilpres itu akan mengemban amanah yang besar. Jika yang terpilih adalah orang-orang yang minim kredibilitas maka yang akan terjadi adalah kehancuran.
Dan faktanya media dan pengamat menganggap politisi adalah hantu-hantu yang tugasnya hanya membuat takut dan cemas rakyat. Imbasnya masyarakat acuh dengan proses politik yang diatur dalam Negara demokrasi yang sejatinya sudah menjadi pilihan yang disepakati. Sehingga yang terpilih sebagian besar adalah orang-orang yang kendor empatinya dan minim kapabilitasnya.
Alangkah lebih bijak meneropong dahulu siapa diantara kandidat yang memiliki kelebihan. Jika dirasa tidak ada yang “sempurna” cukuplah pilih orang atau partai yang terbaik diantara yang terburuk (menurut pandangan anda).
Meski sah, sepertinya kurang gentlemen, orang-orang yang cuek dengan pemilu tiba-tiba
mendemo parlemen dan eksekutif untuk meluruskan program dengan apa yang dia harapkan.
Mau dengan jalan apa kita mau menata? Apakah cukup dengan teriak mengkritik tidak ada ketidak adilan dan keadilan akan datang? Apakah dengan aksi mogok makan kesejahteraan akan muncul? Atau apakah yang akan kita ambil adalah revolusi? Tentu itu bukanlah solusi jitu dan waras.
Politisi adalah pekerjaan mulia karena ia memikirkan bagaimana masyarakat bisa lebih sejahtera. Tentu politisi yang mulia adalah yang memahami fungsi dan tugasnya adalah politisi yang berintegritas, bukan sekedar mengandalkan uangnya untuk membeli suara rakyat. Dan kita berkewajiban untuk mencarinya. Karena pemilu adalah jalan legal yang sudah kita sepakati.
Jika pemilu 2014 nanti anda tidak ikut berlaga, bersabarlah untuk pemilu selanjutnya.
- "Yang terburuk adalah buta huruf politik, ia tidak mendengar, tidak berbicara, atau berpartisipasi dalam peristiwa politik.
- Dia tidak tahu biaya hidup, harga kacang, ikan, tepung terigu, dari sewa, dari sepatu dan obatnya, semua tergantung pada keputusan politik.
- Buta huruf politik begitu bodoh sehingga dia bangga dan membengkak dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.
- DUNGU TIDAK TAHU BAHWA, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua, politisi buruk, rusak dan bujang perusahaan nasional dan multinasional. (Bertolt Brecht)"
Saya membayangkan jika parlemen dan kursi eksekuitif diisi oleh 30 persen saja orang yang punya visi jauh ke depan, maka pasti akan ada perubahan signifikan. Mau?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H