Mohon tunggu...
Ibnu Sina Palogai
Ibnu Sina Palogai Mohon Tunggu... -

Sederhana, liar dan keras kepala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tallu Cappa': Falsafah Adat Bugis-Makassar

22 Juni 2012   04:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:40 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu identitas yang dimiliki oleh manusia Bugis-Makassar adalah merantau. Melakukan perjalanan dan menetap di tempat lain untuk mencari kehidupan. Selain dikenal sebagai perantau, manusia Bugis-Makassar juga dikenal dengan kehebatannya dalam mengarungi lautan. Tidak salah jika mereka dijuluki pelaut ulung. Ada kebiasaan yang dipegang teguh oleh orang tua ketika melepas anaknya ke perantauan. Para orang tua tidak hanya membekali anak mereka dengan uang tapi ada tallu cappa' mereka sematkan di hati anak mereka.  "Jika ini gagal, sorongi lasonu (sorong kemaluanmu) dengan kata lain kawini putri raja, ketua adat, atau mereka yang berpengaruh di negeri tersebut" Dalam pappasang to riolo (pesan para leluhur) dikatakan: “Nia tallu cappa’ bokonna to lampaiyya, iyamintu: Cappa’ lila, Cappa’ laso, Cappa’ badi’. (Ada tiga ujung yang harus menjadi bekal bagi yang bepergian, yaitu ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik).  “Oe ana’… a’ngu’rangiko, nia’ antu tallu cappa nuerang (Duhai, anak, ingatlah selalu, ada tiga ujung yang harus kau bawa sebagai bekal) Kalo dikampungnya ko orang jaga baik-baik tiga ujung itu. Kau akan jadi untung atau merugi, tergantung bagaimana kau berperilaku dengan tiga ujung yang kau bawa.” Tiga ujung yang menjadi bekal setiap orang Makassar ini sepintas terkesan vulgar dan sadis. Namun hakikatnya tidak demikian. Perantau Makassar dibekali dalam dirinya tiga ‘alat’: lidahnya, kemaluannya, dan badiknya. Lidah dan kemaluan sudah ada sejak lahir, sementara badik adalah diri kedua yang harus dimiliki setiap laki-laki Makassar saat mereka sudah baligh. Sampai pada pembahasan ini, dalam budaya Makassar dikenal pesan: “Teyai bura'ne punna tena ammallaki badik” (Bukan laki-laki jika tidak memiliki badik), yang sering bersamanya, minimal ada tersimpan di rumahnya, miliknya.   Merantau bagi manusia Makassar berarti penaklukan, adaptasi, atau paling rendah bertahan di negeri orang dengan hidup tidak direndahkan. Tallu Cappa adalah tahapan dalam proses penaklukan, adaptasi atau bertahan tersebut. Dalam situasi apapun, ketiga ujung ini berperan menurut situasi dan kondisi.  Jika keadaan masih bisa diselesaikan atau dimenangkan dengan cara berucap atau berdiplomasi, sorongi lilanu (sorong lidahmu) dan menangkan hati mereka dengan ucapan santun dan ujaran lembut. Jika ini gagal, sorongi lasonu (sorong kemaluanmu) dengan kata lain kawini putri raja, ketua adat, atau mereka yang berpengaruh di negeri tersebut. Jika ini masih juga gagal, sorongi badi’nu (sorong badikmu), perangi, kuasai atau tundukkan mereka dengan perkelahian (pertempuran).  Budaya Tallu Cappa sangat dikenal di kalangan orang Makassar sebagai falsafah hidup, beriringan dengan budaya siri’ na pacce (rasa malu dan kesetiakawanan) baik di tanah adat sendiri, terlebih di negeri orang. Tallu Cappa digunakan di banyak aspek kehidupan: sosial, politik, maupun ekonomi.          Falsafah Tallu Cappa bukan hanya efektif dalam penyelesaian perkara atau masalah saja, tapi dalam pembauran atau sosialisasi dengan masyarakat juga efektif digunakan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Makassar, ujung lidah diartikan sebagai kecerdasan yang mencakup semua hal, baik kecerdasan emosional sampai kecerdasan spiritual, sehingga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sedangkan ujuang kemaluan, bisa di artikan bahwa dalam mencari jodoh, hendaklah mencari jodoh dari kalangan bangsawan, atau orang yang berpengaruh. Karena dengan demikian orang Makassar berharap memperoleh kedudukan dan peningkatan status sosial di tengah masyarakat. Semantara ujung badik bermakna bahwa dalam pergaulan hendaklah menjaga harkat dan martabat sebagai orang Makassar yang menjunjung tinggi adat ‘Siri na Pacce’. Sekaligus bila menghadapi permusuhan, maka  di sinilah fungsi ujung yang terakhir, sebagai senjata pamungkas dan harga diri sebagai taruhan, keberanian pantang mundur ditunjukkan untuk dipertaruhkan, dengan catatan bahwa kita dalam posisi yang benar.  Dalam adat Makassar-Bugis harga diri adalah harga mati yang harus dibayar meskipun dengan nyawa sekalipun. Peneliti La Galigo, Dr Nurhayati juga berpendapat bahwa keluwesan orang Makassar membuatnya mudah beradaptasi dan dengan cepat membaur dengan masyarakat setempat. Orang Makassar dimana-mana lebih menonjolkan sisi keberanian yang membuatnya terkenal dan sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun