Alkisah diceritakan...
Selepas zuhur masih dengan baju muslim dan pecinya, Pak Kiai menjemput anaknya yang sekolah di desa seberang dengan motor tuanya. Berjalan di pinggir sawah, menyusuri desa-desa, Pak Kiai menuju kota. Ini menjadi rutinitas lain Pak Kiai selain mengajar ngaji.
Dalam perjalanan pergi menjemput, semua baik-baik saja. Seperti biasanya. Namun di tengah perjalanan pulang, terlihat dari kejauhan segenap aparat polisi melakukan razia kendaraan. Tak satu pun lepas dari razia itu. Termasuk Pak Kiai dengan motor tuanya dan anak gadis satu-satunya yang di belakang.
"Bisa lihat surat-suratnya, pak?" kata Pak Polisi berseragam lengkap.
"Saya tidak bawa dompet," jawab Pak Kiai. "Hanya bawa uang dua puluh ribu," imbuhnya.
"Kalau gitu bapak minggir dulu ke sini," pinta Pak Polisi.
"Apa salah saya?" Protes Pak Kiai.
Pak Polisi tahu Pak Kiai adalah kesohor di Kampung Surga. Namanya beken ke seantero desa.
Karenanya pak polisi menjelaskan semua jenis pelanggaran yang dilakukan Pak Kiai dengan sangat hati-hati dan penuh rasa hormat.
"Kamu tahu," bentak Pak Kiai, "peci ini lebih aman dari helm, hah?!"
Pak Kiai tahu betul apa yang diyakininya. Peci yang selama ini dan selalu dikenakan di kepalanya menurut Pak Kiai, adalah semacam syariat kepercayaannya.