Jika seseorang bertanya tentang tujuan membaca buku, kita semua pasti bisa menjawabnya dengan mudah. Lha terus, mengapa kesadaran itu tidak mempengaruhi kita? Sekarang pertanyaannya saya ubah. Apakah yang terpenting itu membaca buku?
Buku adalah jendela dunia, hanyalah sebuah kredo yang orang-orang gaungkan tanpa mengetahui tujuan membaca yang sesungguhnya. Sekarang, Indonesia masih menduduki tingkat negara dengan minat baca terendah di dunia. Apakah karena mereka kekurangan buku bacaan? Atau mereka kurang senang dalam membaca?
Sepertinya pertanyaan kedua paling benar. Bisa jadi, peran orang tua dan guru sebagai pembimbing selalu memaksakan anak-anak untuk membaca buku tanpa menumbuhkan kebahagiaan di dalamnya. Atau mungkin anak-anak sudah sering membaca buku, tetapi tidak memahami apa yang buku itu sampaikan sama sekali.
Kalau memang benar begitu, maka saya kurang setuju kalau literasi dikampanyekan hanya dengan membaca buku.
Dari segi pragmatis, membaca bisa diasosiasikan sebagai belajar untuk menumbuhkan daya berpikir kritis (critical thinking creativity) dan daya imajinasi emosional (imagination emotional intelligence).
Maka dari itu, menanamkan gemar membaca pada anak kecil itu sangat penting, tetapi, sesuaikan dengan jenjang dan kriteria yang anak sukai. Lama kelamaan juga, anak itu akan berkeinginan untuk membaca sendiri. Jangan jadikan hal itu sebagai kewajiban yang menimbulkan kesan tuntutan dan paksaan.
Setelah anak kecil beranjak remaja sampai dewasa, barulah mereka nantinya memahami sendiri pentingnya buku yang mereka baca dan mempraktikkannya pada realita. Saya akan memberi satu contoh dampak positif yang ada saat ini.
Pada tahun 2010, seorang penulis berkebangsaan Korea-Amerika menerbitkan novel anak yang berjudul A Long Walk to Water. Isi ceritanya begini:
Pada 1985, Salva Dut berumur 11 tahun ketika terjadi perang saudara di Sudan. Dia termasuk salah seorang anak yang berhasil selamat setelah melarikan diri sejauh ratusan mil bersama 17.000 orang dengan kaki telanjang. Ribuan orang meninggal dunia dalam perjalanan.
Sepuluh tahun setelahya, Salva masih bisa terus bertahan hidup, meski bertinggal di tenda kumuh yang memprihatinkan bersama jutaan penduduk lainnya. Kabar baiknya, dia terpilih sebagai rakyat yang mendapat visa untuk diasuh oleh keluarga Amerika Serikat. Dia beradaptasi di lingkungan yang dikelilingi orang kulit putih sepanjang jalan! Salva tumbuh dewasa dengan sangat baik.