Pelangi itu menawan, tak kalah menawannya dengan mondok
Pelangi adalah bentuk karunia Allah Swt., yang patut disyukuri dan cukup digemari oleh banyak kalangan, terutama bagi anak kecil. Selian karena perpaduan tujuh warna yang sering disingkat "me-ji-ku-hi-bi-ni-u", pelangi juga punya makna filosofis.
Coba bayangkan, kalau pelangi hanya diambil dua-tiga warna, pasti membosankan. Apalagi kalau sewarna. Kayak kurang enak aja gitu.
Kalau di Indonesia, kita punya semboyan Bhineka Tunggal Ika, bukankah itu semakna sefrekuensi dengan pelangi, bermacam-macam warna tetapi tetap satu?
Jadi, perbedaan warna itu bukan sekadar perpindahan emosi dan suasana alam seperti di serial Upin & Ipin episode "Warna-warni", tapi juga bisa direprentasikan sebagai keindahan lika-liku problematik dalam kehidupan.Â
Dalam kartun, sang tokoh tampak seperti membanggakan dirinya sendiri, seperti contoh, Mail, sebagai representasi warna hijau, dia merasa hebat karena warnanya menyeluruh pada rumput dan pepohonan. Ipin sebagai biru, berdalih air dan langit. Upin sebagai kuning, pembawa keceriaan dan kegembiraan. Ehsan sebagai jingga, lambang kesehatan dari sayur labu dan lobak. Mei-mei sebagai merah, bukti lambang cinta (dicontohkan dengan lamaran cinta antara dua kelinci, Ijat dan Devi). Ijat sebagai ungu, menunjukkan warna dari mendung langit dan kilatnya, meski membuat semua warna lari tunggang langgang karena takut tersambar petir.
Setelah itu (entah mengapa Susanti tidak diberi jatah untuk tampil, kasihan), Fizi datang sebagai lambang hujan. Ia datang untuk menasihati tujuh warna tersebut agar bisa hidup bersama, sehingga terbentuklah bentuk pelangi yang cantik nan elok.
Dari kartun anak-anak itu sudah jelas, mereka mengajarkan kita untuk menghargai tiap perbedaan. Tak peduli itu baik atau buruk, kita harus menerimanya, karena lika-liku itulah yang membuat hidup kita semakin berwarna.
Hidup memang harus punya banyak rintangan. Apalagi kalau impian kita tinggi, maka ujian yang dihadapi semakin sulit. Seperti mondok, hidup di sana membuat seorang anak semakin tanggap dalam menyelesaikan beragam problematika kehidupan ketimbang di rumah. Dengan begitu, pondok memang tempat yang tepat untuk membentuk karakter kuar pada si anak. Bukan begitu?
Di pondok, santri memang banyak yang putus asa. Dibuli teman, uang bulanan hilang, pakaian kotor semua sampai mager cuci-cuci, belajar banyak tapi gak paham-paham, bahkan gak nafsu makan gara-gara kualitas makanan yang tidak semewah di rumah.