Pendahuluan: Korupsi Lagi
Sementara orang lain mulai bangkit dari krisis, rakyat Indonesia masih saja terpuruk, yang disebabkan korupsi masih merajalela, hukum susah ditegakkan, partai-partai hanya memikirkan bagaimana membangun aliansi kekuasaan.
Itulah ungkapan Kang Moeslim Abdurrahman (alm) dalam bukunya Islam Yang Memihak (2005). Bertubi-tubi kita dihadapkan pada fakta bahwa korupsi telah mendarah daging pada bangsa ini. Yang terbaru adalahpenangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, Rabu (2/10) yang dengan telak mencederai eksistensi dan kredibilitas lembaga di bidang hukum (Kompas, 4/10). Korupsi yang terjadi, sebagai tindak pidana pencurian dan pengkhianatan atas uang dan kepercayaan rakyat, bukan hanya mendegradasi keluhuran lembaga negara terkait, bahkan mempersubur tingkat tidak percaya masyarakat terhadap praksis pemerintahan , yakni mandul dan khianat dalam menjalankan konstitusi sebagai hukum tertinggi (Kompas, 4/10).
Logika suap-menyuap pun mudah terbaca. Sebagaimana kekhawatiran Nurcholish Madjid, bahwa ada kaitan yang berbahaya dari kekuasaan dan kekayaan di negeri ini; berkuasa artinya menjadi kaya. Itulah yang menyebabkan banyak orang rela merogoh kocek untuk melicinkan ambisi kuasanya, karena dia tahu, di atas kursi, uang begitu mudah diundang. Para calon penguasa seperti ini, adalah penghisap darah dan pengkhianat rakyat yang dibawahinya. Kekuasaan baginya, meminjam istilah Moeslim Abdurrahman (2005) adalah posisi sulthan alias raja, bukan khadam, alias pelayan. Padahal dalam dunia demokrasi, posisi pemimpin, pemerintah dan wakil rakyat adalah pelayan bagi kepentingan rakyat.
Itu bagi yang menyuap, bagi yang ingin licin berkuasa. Bagaimana dengan yang disuap. Mereka juga adalah pengkhianat rakyat. Yang rela menjual keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, kepada si penghisap darah, demi selembar dua lembar uang dollar. Pejabat yang dengan senang hati menerima suap (gratifikasi) adalah layaknya Yudas Eskariot, yang mulanya adalah sahabat Yesus Kristus, namun berkhianat, dan menunjukkan persembunyian Sang Firman Tuhan pada diktator Romawi.
Harga Mati Rule of Law
Dua pendahulu Akil Mochtar, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, menyampaikan kekecewaannya. “Pantasnya orang ini (Akil) dihukum mati. Walau undang-undang tidak mengenal pidana mati untuk korupsi” ungkap Jimly. “Sekarang tinggal KPK yang secara institusional bisa dipercaya. MK sudah jatuh terjerembab dan hancur” sambung Mahfud (Kompas, 4/10). Kini seolah tinggal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang bisa dipercaya masyarakat untuk meruntuhkan adagium “hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang kuat” (Kompas, 4/10). Senang atau pun tidak, adagium negatif itulah yang kini hidup. Padahal, hukum kita sebagai kelanjutan Rule of Law, sejatinya dibangun untuk bertindak, meminjam istilah Mustafa Akyol (2011), secara bebas dan adil, memihak pada kebenaran.
Pembicaraan tentang Rule of Law ini menjadi penting demi mengawasi kelanjutan setiap kasus korupsi yang bertamu di negeri kita. Tentu tidak mungkin dilakukan pembiaran apabila mereka yang terdakwa pidana, malah bebas dari tuntutan. Yang artinya sama sekali tidak mendapat punishment atas dosa-dosanya. Hal yang akan semakin mengernyitkan dahi masyarakat, tanda kekecewaan yang mendalam.
Menarik merefleksikan keadaan bangsa besar ini, dengan struggle (perjuangan) Nabi Muhammad mentransformasi masyarakatArab dengan risalah-nya. Bagian dari ide yang ditawarkan al-Qur’an yang dibawa Muhammad adalah bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang dijamin Tuhan, dan tak seorang pun boleh mencederainya. Ide inilah yang kemudian, bagi Akyol (2011) membuat rule of law alias hukum menjadi basis pembinaan masyarakat Islam klasik.
Di tengah masyarakat rimba, ketika yang kuat memangsa yang lemah, Nabi Muhammad coba menerobos keadaan the lack of law tersebut. Namun demikian, sekalipun ketiadaan hukum dan otoritas bisa mengantarkan pada anarki dan chaos, eksistensi hukum atau rule of law tidak serta merta dimungkinkan melindungi hak-hak dan kebebasan umat manusia (Akyol, 2011). Hal ini karena keberadaan rule of law tidak selamanya menjadi berkah Tuhan dari langit. Dia mungkin saja menjadi begitu tidak adil dan tirani. Akyol (2011) memberikan contoh rule of law di bawah kuasa Stalin sebagai penyelewengan tujuan hukum; dari pembelaan dan perlindungan atas hak-hak dan kebebasan individu, menjadi pembelaan atas ideologi, kepentingan atau, meminjam istilah Nurcholish Madjid (1992) vested interest dari Partai Komunisnya. Bagaimanapun di bawah sistem oligarki, maka hukum menjadi tameng bagi kepentingan yang kaya dan berkuasa, menjadi unjust dan unfree, sebagaimana ungkapan Akyol (2011). Kiranya hal yang sama tidak jarang terjadi di tanah warisan Soekarno-Hatta ini.
Yang semestinya terjadi (das sollen) adalah rule of law bukan diperuntukkan bagi si pembuat hukum (ruler) atau privilege dari kelas tertentu saja. Keadaan ideal rule of law dan masyarakat yang berkeadaban adalah tak seorang pun memiliki imun dari todongan hukum, dan bahwa setiap individu berada pada kondisi yang sejajar (Akyol, 2011). Siapa pun tak akan pernah lupa ungkapan emosional Nabi Muhammad menyikapi penegakan hukum masyarakatnya; “Seandainya Fatimah anakku itu mencuri (korupsi! – pen.) maka aku sendiri yang akan memotong tangannya!” sabda Sang Nabi.
Transformasi Moral
Namun yang kita alami boleh jadi lebih kelam dari itu semua. Bangsa ini bukan tidak memiliki hukum (lack of law). Bukan pula ditunggangi kuasa oligarki maupun monarki. Bangsa ini telah ber-ijma’ dengan demokrasi; yang berarti membangun sendi-sendi hidup kemasyarakatannya dengan hukum atau konstitusi. Seperti halnya Nabi Muhammad yang merumuskan Piagam Madinah (Charter of Medina) dengan semua golongan pembentuk komunitas Madinah, para founding fathers Indonesia menancapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai payung hukum bersama. Tampaknya, dari segi modernitas negara demokrasi, kita tidak ketinggalan.
Lalu bagaimana kita bisa lebih kelam dari keadaan tiadanya hukum. Karena, seperti permisalan di muka, tentang pengkhianatan Yudas terhadap Yesus Kristus; bangsa ini seolah mengkhianati semua yangdiikrarkannya sendiri. Lebih dari itu, bangsa ini, dengan segala bentuk dan corak perilaku korupsi, telah merusak dan mencederai warisan leluhurnya. Apa pasal bisa terjadi demikian? Menurut Moeslim Abdurrahman (2005), karena bangsa ini telah kehilangan moralnya. Sejalan dan mengamini ungkapan jargon KPK; Berani Jujur Hebat!, yang menyiratkan betapa mahal moral hidup jujur dan berkarakter masyarakat kita saat ini.
Dengan merenungkan itu semua, pengobatan segera yang bangsa Indonesia butuhkan adalah transformasi moral. Hal yang telah dilupakan; oleh masyarkat dan kelompok-kelompok politik, yang beranggapan bahwa membangun aliansi kekuasaan jauh lebih penting (Moeslim Abdurrahman, 2005). Diperlukan kecermatan menyelesaikan persoalan ini. Kita perlu sadar, bahwa Nabi Muhammad pertama kali datang bukan sebagai pemimpin politik. Dengan kata lain, dia datang bukan membawa ambisi untuk berkuasa (Akyol, 2011). Bahkan, ketika ditawarkan menjadi raja Arab – hal asing yang bahkan dibenci bangsa Arab sendiri – layaknya Heraclius di Byzantium dan Khosrow di Persia, Muhammad menolaknya (Martin Lings, 2007). Gerakan Nabi Muhammad dimulainya dengan upaya transformasi moral, yang menjadi asas utama bagi pembinaan civilized people. Baru, ketika dia hijrah ke Yatsrib, yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah (the City), Nabi Muhammad berkoalisi dengan setiap elemen masyarakat membangun komunitas madani. Bukan berarti pendidikan dan ambisi-ambisi politik demikian tidak penting. Namun, dibandingkan kecerdasan di bidang politik tersebut, kepiawaian bangsa Indonesia di bidang moral, akhlak dan karakter jauh tertinggal.
Wallahu a’lamu bish shawab []
*Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam
Universitas Negeri Jakarta
Bibliografi
Buku:
Abdurrahman, Moeslim, Islam yang Memihak (Yogyakarta: LkiS), 2005.
Akyol, Mustafa, Islam Without Extremes; A Muslim Case for Liberty (New York & London: W. W. Norton & Company, Inc.), 2011.
Lings, Martin (Abu Bakr Siraj al-Din), Muhammad; Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, terj. oleh Qamaruddin SF dari Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources (Jakarta: Serambi), 2007.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina), 1992.
Artikel dan Koran:
Ketua MK Ditangkap KPK dalam Tajuk Rencana, Harian Kompas, Jumat 4 Oktober 2013.
Suap MK Mengguncang Negara, Harian Kompas, Jumat 4 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H