Di sini akan dibahas dan dibicarakan tentang “Ahok”, isu yang saat ini menghangatkan dan meramaikan pemberitaan nasional Tanah Air. Namun sebelum itu, ingin ditekankan di sini, bahwa pendekatan yang digunakan dalam diskusi ini adalah pendekatan filosofis-etis, yang berarti akan dibicarakan tentang “Ahok” dengan menjadikan akal sehat (reason) dan hati nurani (conscience) sebagai landasan, alat berpikir, dan pijakan argumen yang akan dibangun. Dengan pendekatan filosofis-etis ini, diharapkan argumen yang dibangun nanti telah melalui proses berpikir yang benar dan sehat, dan akan menghasilkan pemikiran dan pendapat yang bertanggung jawab, serta menghasilkan pilihan berbuat dan berperilaku yang benar dan tepat menyangkut isu “Ahok” ini. Hal ini dimaksudkan karena, isu “Ahok” ini sangat ramai dibicarakan, dan sebenarnya cukup sensitif dalam konteks kebhinekaan Indonesia, namun, dalam sirkulasi pembicaraan dan pemberitaan tentang “Ahok” ini, argumen dan konten pembicaraannya sangat keruh dan tidak sehat, mengingat landasan emosional dan sentimental seringkali dirujuk sebagai model berpikir dan bertindak. Demi menghasilkan argumen yang bersih – setidaknya demikian niat baik di sini – namun tidak lupa akan kemungkinan-kemungkinan keliru (mengingat kekuarangan dan keterbatasan penulis), maka pendekatan filosofis-etis dijadikan landasan berpikir.
Undang-Undang Menghalangi Ahok?
Ahok, panggilan akrab pelaksana tugas gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama, saat ini sedang ramai dibicarakan. Masyarakat luas, dengan mengacu pada pemberitaan media massa nasional dan sirkulasi perbincangan di media sosial, sedang ramai berpolemik mengenai status Ahok, apakah ia bisa segera dilantik menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo (Jokowi) yang telah menjadi Presiden Republik Indonesia, atau tidak. Baik bagi pihak yang setuju untuk pengesahan Ahok sebagai DKI 1, maupun yang tidak, semua berargumen dengan dalil-dalil konstitusional, dalam hal ini UU (undang-undang). Memang dalam kehidupan bernegara, dalil atau landasan konstitusional memegang peran penting untuk mengatur hidup warganya. Karena hanya dengan konstitusilah, prinsip rule of law sebagai prinsip utama dalam format negara modern (modern state) bisa berjalan. Akan tetapi, tampaknya kecenderungan yang saat ini berjalan, yang seolah “konstitusi-sentris”, seolah mengedepankan konstitusi, harus segera dikritisi.
Sebagai warga negara yang menyadari peran penting konstitusi ini, kita tidak bisa menutup diri dari kritisisme sebagai manusia, karena dengan jelas terlihat bahwa dalam upaya-upaya yang mengacu pada UU untuk menghalangi Ahok menjadi DKI 1, tampak di sana terdapat kepentingan yang tersembunyi (vested interest) dari beberapa pihak. Ingin dikatakan di sini bahwa UU sedang “dimainkan” atau “dimain-mainkan” demi memuluskan kepentingan yang tersembunyi itu. Mengenai hal ini ada baiknya kita mengacu pada fenomena-fenomena sebelumnya, seperti dalam kasus UU Pilkada 2014 yang mengesahkan pilkada tidak langsung. Akan segera tertangkap oleh akal sehat masyarakat bahwa di balik perumusannya oleh pihak-pihak tertentu yang mayoritas di Parlemen Senayan ada agenda tersendiri, yang coba dilaksanakan untuk mengantisipasi kekalahan di Pilpres 2014. Dalam hal ini kita juga patut mengkritisi UU MD3, karena muncul dalam konteks yang sama dan oleh pihak yang sama. Yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa, dalam kasus Ahok kali ini pun muncul penampakan serupa tentang kepentingan dan hasrat pihak-pihak tertentu, yang sedang memainkan rumusan UU untuk menjegal Ahok. Apa alasan dibaliknya akan dibahas di bawah.
Mengapa Ahok Pantas Segera Dilantik?
Bagaimanapun juga Ahok merupakan pilihan rakyat, karena ia muncul sebagai hasil dari pemilihan umum (pemilu) yang sah. Indonesia telah menyepakati bahwa hanya pemilu-lah yang merupakan proses paling rasional – dalam arti paling adil dan menjamin kedaulatan rakyat per individu – untuk menjaring pemimpin yang paling pantas menerima amanah rakyat. Secara prinsipil Ahok juga orang yang sama sekali bersih, dalam arti tidak sedang dan tidak pernah terlilit kasus hukum. Bahkan sempat Ahok menerima penghargaan sebagai tokoh anti korupsi nasional.
Beberapa pihak memang tidak senang dengan gaya dan pembawaan Ahok sebagai pribadi, yang dianggap “blak-blakan” dalam berucap, dan “terlalu tegas”. Akan tetapi, semua hal tersebut yang kurang mereka senangi, justru mendapat respon positif dalam persepsi masyarakat luas. Sikap dan gaya Ahok disukai dan dikenang karena ia membuktikan dan menunjukkan itu semua demi meluruskan kesalahan-kesalahan di birokrasi pemerintahan yang dipimpinnya. Sikapnya yang tidak pandang bulu dalam menghukum siapa pun yang salah, bahkan tidak segan memecat mereka yang tidak becus bekerja, membuat Ahok mendapat dukungan rakyat. Ahok juga cepat dalam bertindak – dalam hal ini sepertinya ia memiliki orientasi kerja yang sama dengan Presiden Jokowi – dan terbukti mampu membangun serta membenahi infrastruktur ibu kota menjadi lebih baik.
Semua hal di atas, dan tentu masih ada lagi yang luput penulis tuangkan di sini, membuat Ahok pantas-pantas saja, dan memang demikian, untuk segera disahkan sebagai gubernur DKI Jakarta. Dan dalam sudut pandang yang humanis, yang mengedepankan rasionalitas berpikir dan beretika, Ahok sudah cukup untuk menjadi right man on the right place.
Mengapa Mereka Menolak Ahok?
Sebagaimana diungkap di muka, bahwa pihak yang hendak menjegal Ahok dari pelantikannya sebagai gubernur DKI Jakarta, melandaskan argumen dan tindakannya kepada UU. Di sini tidak akan dibedah seperti apa rumusan kata demi kata dalam UU yang dianggap bisa menjegal Ahok itu. Yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa UU itu, mengacu pada polemik yang ada, tampak bermuka dua. UU-lah yang melandasi keterpilihan Ahok sebagai pengganti Jokowi, namun ternyata UU juga yang coba dipakai untuk menjegalnya. Sekali lagi diungkapkan bahwa pihak-pihak yang mengajukan tafsirannya tentang UU untuk menjegal Ahok, bisa dipastikan memiliki kepentingan tersembunyi. Tidak diketahui apa kepentingan dan agenda yang tersembunyi itu. Namun yang pasti, dan akan dijelaskan lebih lanjut di bawah, adalah bahwa nuansa kebencian terlalu kental dalam upaya penjegalan ini. Artinya Ahok dihalangi karena ia dibenci. Hal yang sama sekali bertolak belakang jika kita membandingkan persepsi masyarakat, dan segenap prestasi dan integritas diri Ahok, yang membuatnya tidak pantas dibenci. Lalu mengapa ada yang membencinya? Hal apa dari Ahok yang membuat mereka benci?
Yang paling utama patut kita cermati adalah Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) pimpinan Prabowo Subianto, rival Jokowi dalam Pilpres 2014, yang dahulu adalah penyokong utama Ahok, namun kini menjadi penentang terkerasnya. Hal ini bukan tidak memiliki korelasi positif dengan pendirian dan sikap Ahok yang memilih keluar dari partainya ini setelah tidak menyetujui UU Pilkada 2014. Jelas bahwa dalam polemik Ahok, Partai Gerindra ingin menjegal mantan “jagoannya” ini. Ingin dijelaskan di sini bahwa sebelum memutuskan keluar dari Partai Gerindra, Ahok adalah “jagoan” dan “tokoh” partai ini, setidaknya di bawah level Prabowo, dalam hal popularitas dan nama baik dalam persepsi masyarakat akar rumput. Ahok adalah tokoh yang mampu mendongkrak popularitas Partai Gerindra dalam percaturan politik Tanah Air sebelum akhirnya ia keluar dari partai itu. Sehingga akan jelas terlihat bahwa Partai Gerindra kini sedang melakukan politik balas dendam terhadap Ahok yang keluar.
Silahkan cermati silogisme berikut ini: “Ahok, tokoh yang mempunyai reputasi dan nama baik di masyarakat, memilih untuk keluar dari partainya. Ahok, dengan integritas pribadi dan ketegasannya tentu memiliki alasan yang tidak sepele untuk keputusan sepenting ini. Alasan Ahok adalah partainya tidak lagi mengutamakan kedaulatan rakyat dengan mengusung UU Pikada 2014, sehingga partai seperti ini tidak pantas menjadi tempat tinggal Ahok, tokoh dengan integritas tinggi dan kesetiaan yang jelas terjadap kedaulatan rakyat. Maka bisa dipastikan bahwa, memang benar, Partai Gerindra, sebagaimana disikapi oleh Ahok, tidak memiliki kesetiaan pada rakyat. Dengan demikian, Partai Gerindra tidak pantas memperoleh dukungan rakyat.” Dengan proposisi-proposisi dalam silogisme seperti ini menjadikan citra Partai Gerindra tercoreng di mata rakyat, padahal suara dan dukungan rakyat adalah modal politik utama bagi partai politik. Dengan semua fenomena tadi, tidak heran Partai Gerindra begitu gencarnya melakukan langkah-langkah politis demi menjegal Ahok. Namun bisa dipastikan bahwa secara moral, politik balas dendam Partai Gerindra dan partai lainnya yang sejalan dengan mereka, adalah pilihan yang salah dan tidak etis.
Koalisi Massa Menjegal Ahok
Langkah politik balas dendam Partai Gerindra dan kawan-kawannya di DPRD DKI Jakarta semakin ramai dan menjadi-jadi, setelah ikut bergabung bersama mereka pihak-pihak yang dahulu, semasa Ahok masih berpasangan dengan Jokowi, tidak pernah muncul. Mereka adalah Front Pembela Islam (FPI) dan ormas-ormas lainnya yang mengatasnamakan agama Islam. Entah mengapa, dahulu semasa Ahok belum bermasalah dengan Partai Gerindra, semasa Ahok masih berpasangan dengan Jokowi, FPI dan aliansinya tidak berani muncul di ruang publik, apalagi melakukan banyak kerusakan seperti saat ini.
Aliansi FPI ini membantu langkah politis partai-partai tertentu di Parlemen DKI Jakarta untuk menjegal Ahok, dengan cara menyebarkan kebencian terhadap Ahok. Mereka sedang melakukan kapitalisasi kebencian masyarakat terhadap Ahok, demi memuluskan langkah penjegalan itu. Aliansi FPI serta segenap simpatisannya, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, menyebarkan kebencian terhadap Ahok dengan mengangkat isu utama “Ahok adalah Musuh Islam”. Aliansi FPI dalam hal ini sedang memainkan dan memanfaatkan sentimen keagamaan dan primordial masyarakat awam di Jakarta dengan menyebar isu-isu negatif mengenai Ahok yang seorang keturunan Tionghoa dan beragama Nasrani.
Hal ini memang bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat apa yang dilakukan aliansi FPI dan simpatisannya dengan menyebar kebencian berbasis agama juga dahulu terjadi pada masa-masa kampanye Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta. Bahkan hal tersebut semakin menjadi-jadi pada masa kampanye Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu. Namun ternyata, masyarakat tidak mendengarkan kabar-kabar negatif dari mereka, masyarakat tidak kunjung mengikuti fatwa mereka, meski landasan argumen dan pemberitaan mereka adalah agama, yakni dalil-dalil yang diperoleh dari Kitab Suci dan perkataan Nabi. Namun sekali lagi patut disampaikan pertanyaan, mengapa kini setelah Ahok “sendirian” aliansi FPI bisa dengan mudah semakin menyebar kebencian itu, bahkan sampai merusak ruang dan fasilitas publik. Dahulu kebencian mereka disebar dalam wacana, namun kini, dan ini sangat berbahaya, kebencian itu diwujudkan dalam perusakan fisik yang mengancam keselamatan orang banyak. Entah ini bisa dikaitkan dengan tindakan teror atau tidak.
Bagaimanapun juga sepak terjang FPI dan aliansinya ini sangat penting dan signifikan untuk memanfaatkan sentimen primordial dan keagamaan masyarakat awam, supaya politik balas dendam Parta Gerindra dan partai lainnya bisa berjalan mulus dalam menghalangi Ahok. Di sini bisa dipastikan bahwa apa pun itu yang dilakukan koalisi massa penjegal Ahok ini, jika dikembalikan pada akal sehat dan hati nurani, maka sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sekalipun FPI coba memanfaatkan agamauntuk menyebar kebencian dan sebanyak apapun ayat suci dan hadits Nabi yang mereka kutip dalam orasi-orasi kebencian mereka, semua itu tidak bisa dibenarkan di hadapan mahkamah moral dan rasionalitas kemanusiaan.
Bagaimana Akhirnya?
Dihadapkan pada rasa keadilan dan kemanusiaan masyarakat Indonesia yang majemuk dan khususnya masyarakat DKI Jakarta, maka segenap upaya yang dilakukan koalisi penjegal Ahok akan menemui perlawanan dan ketidaksetujuan nurani rakyat. Sekalipun Partai Gerindra merasa melakukan langkah yang konstitusional, dalam argumen teleologis maupun deontologis, apa yang mereka lakukan tidak memiliki landasan kebenaran dan maslahat, baik itu dalam hal tujuan yang ingin mereka capai (teleologis), atau dari niat mereka sendiri (deontologis). Begitu pun segenap usaha simpatisan dan kader partai-partai yang mengaku membawa amanah agama Islam dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, yang berupaya membantu menebar kebencian terhadap Ahok. Sekalipun Islam adalah atribut politiknya, masyarakat akan dengan jelas melihat bahwa mereka tidak sedang menjalankan ajaran moralitas dan keadilan yang dijunjung oleh Islam. Begitu juga dengan FPI dan aliansinya.
Maka, dengan mengembalikan pada cara berpikir yang benar, yang dilandasi semangat kemanusiaan (humanisme) dan keadilan, apalagi dalam konteks Indonesia yang multikultural ini, serta mengacu pada konstitusi negara Indonesia, Ahok bukan sama sekali orang yang bermasalah untuk segera disahkan sebagai gubernur DKI Jakarta menggantikan Presiden Joko Widodo. Dalam hal ini, Ahok bukan saja pantas, namun dengan segala pertimbangan yang ada, tampaknya saat ini hanya Ahok yang bisa memimpin mewujudkan DKI Jakarta sebagai ibu kota yang lebih baik, setidaknya untuk tiga tahun kedepan. Dan dari polemik ini masyarakat Indonesia akan belajar, untuk tidak mendengarkan begitu saja, apalagi ikut menyebar kabar-kabar yang berisi propaganda kebencian, sekalipun itu dilandasi dengan dalil-dalil keagamaan. Masyakarakat akan belajar untuk semakin jeli dan semakin hati-hati dalam menjatuhkan keberpihakan politiknya. Apakah kepada kelompk-kelompok yang demi kepentingan mereka sendiri, rela untuk mengadu domba masyarakat se-Tanah Air. Apakah kepada kelompok-kelompok, yang dengan mengaku menegakkan panji-panji agama dan dengan mengaku sebagai kader-kader penyebar ajaran agama, namun tetap saja menebar kebencian terhadap sesama manusia. Atau kepada kelompok lainnya. Yang pasti, sudah seharusnya kita selalu setia dan berpihak kepada rasionalitas, kedewasaan berpikir dan bersikap, serta kerendahan hati, sebagai acuan utama hidup bermasyarakat.
Wallahu A’lamu bish Shawab.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H