Sumber: foto istimewa, ilustrasi korupsi di Indonesia.
Koran Republika (17/1/2015) memuat berita "Pejabat Korup Naik Jabatan". Plt. Gubernur Banten pada tanggal 16/1/2015 melantik 21 pejabat struktural pemprov Banten, dimana salah satunya merupakan seorang tersangka korupsi. Rano melantik Sutadi menjadi Staf Ahli Gubernur, yang sebelumnya adalah Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD). Ketika sebagai Kepala BLHD, yangbersangkutan ditetapkan oleh Polda Banten sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan Jembatan di Kota Tangerang senilai Rp. 23,42 milyar.
Kejadian yang memprihatinkan ini bukan saja terjadi di Banten, ternyata dua hari sebelumnya (14/1/2014), menurut harian Kompas (17/1/2014) Gubernur Sumut melantik Hasban Ritonga sebagai Sekretaris Daerah Sumut. Padahal Hasban saat ini menyandang predikat sebagai tersangka karena tersandung kasus sengketa lahan sirkuit Ikatan Motor Indonesia (IMI) yang merupakan aset pemprov Sumut, saat ia menjadi Asisten Bidang Administrasi Umum dan Aset Setda Provinsi Sumut. Kompas melaporkan bahwa Hasban sempat ditahan di Mabes Polri, sebelum menjadi tahanan kota di Medan. Sidang kasus Hamban PN Medan digelar sejak 4 Desember lalu.
Para penggiat anti korupsi dan lembaga government watch tentu saja protes dengan pengangkatan para pejabat pemda tersebut. Mereka minta agar Gubernur Banten dan Sumut segera membatalkan SK pengangkatan para pejabat diatas. Mereka meminta Gubernur berpedoman pada Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Pasal 88 (c), ditegaskan bahwa  PNS diberhentikan sementara, apabila ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Padahal dalam kasus prov. Sumut, Sekda Hasban pernah ditahan di Mabes Polri,  sebelum sekarang menjadi tahanan kota.
Selain mengacu pada UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN, menurut mantan Ketua MK Prof Mahfud, sebenarnya kita sudah punya dasar hukum tentang etika dan moral bagi pejabat yakni TAP MPR No. VI/MPR/2001 dan TAP MPR No.VIII/MPR/2001. Simak ini http://chirpstory.com/li/247798?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter. Dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001 tersebut ditegaskan bahwa bagi pejabat publik yang disorot publik karena indikasi negatif harus bersedia mundur tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Kemudian menurut TAP MPR No.VIII/MPR/2001, Pegawai Negeri yang terlibat kasus hukum dapat ditindak secara administratif tanpa harus menunggu vonis peradilan.
Pesan moral dan etika kedua TAP tersebut diatas, menunjukkan bahwa yang sedang menjabatpun harus turun kalau terlibat masalah hukum, termasuk pejabat yang masih berstatus sebagai "tersangka". Hal ini sudah dibuktikan dengan mundurnya Andi M, Jero Wacik dan Suryadarma Ali dari jabatannya sebagai menteri. Dengan demikian tidak ada dasar hukum yang kuat bagi Gubernur Banten dan Gubernur Sumut untuk melantik pejabatnya yang sedang tersandung kasus korupsi, baik sebagai tersangka maupun terdakwa. Bahkan mereka seharusnya undur diri atau diberhentikan sementara dari jabatan yang saat ini sedang diembannya. Semoga aturan yang sudah ada ini dapat ditegakkan dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri Indonesia tercinta ini (artikel lain, simak ibnupurna.id)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H