Mohon tunggu...
Humaniora

Bahagia, Siapa Dia?

29 September 2015   19:02 Diperbarui: 29 September 2015   20:45 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Seseorang berkata " agar bahagia kau memerlukan kearifan " tapi apakah kearifan kemudian. Untuk bahagia kau memerlukan kebenaran untuk membuatmu bebas. Sekali lagi, tapi apakah kebenaran yang memebebaskan kita.

           Terkadang aku membuka sebuah topik dan berdebat bersama aku yang lain, apakah aku telah menemukan bahagia itu ataukah belum, atau sama sekali belum mengetahui apa itu bahagia, siapa itu bahagia, dimana itu bahagia. Apakah itu hal indah atau hal yang mengerikan.

           Mengapa manusia begitu mudah mengatakan “aku bahagia” sedang dia dalam dirinya belum tentu merasakannya, ??????? Terukir tanya dan sebuah pernyataan “Ketika aku bahagia maka aku dalam dirikupun bahagia” tanggapan demikian mungkin akan dikatan oleh setiap manusia yang merasakan bahagia. “Bahagia adalah rasa, tidaklah mungkin rasa itu bisa dijelaskan struktur dan unsurnya, itu sama halnya ketika kamu bertanya bagaimana hakikat rasa manis, maka itu akan sangat sulit dijelaskan” begitulah jawaban yang diberikan seorang yang dianggap guru Rohani oleh muridnya, walaupun nyatanya dia mengatakan dia adalah guru rohani. Aku merasa pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh, apakah ketika aku bertanya hakikat kebahagiaan adalah sebuah kekeliruan. Tidak, aku tersentak dan aku berfikir ini bukanlah kekeliruan, untuk apa bahagia jika aku sama sekali tidak mengenal kebahagiaan sesungguhnya, kemudian apakah senang dan bahagia itu sama. Dan kemudian beetumpuk-tumpuk kertas menumpuk di kepalaku dengan begitu banyak tulisan pertanyaan, dan yang paling sulit kumengerti; mengapa guru rohani tidak mengenali bahagia yang kucari, bukankah dia adalah guru rohani. Seharusnya dia mengenali bahagia yang ku inginkan atau memang aku tak layak bertemu dengan bahagia yang kuimpikan.

Mungkin ini adalah hal yang sulit dan dianggap salah atau sebagainya, semu begitu sulit bahagia yang kucari untuk didefinisikan-pun sulit. Dan semakin hari ketika aku mendengar kata-kata bahagia aku seperti dihantui rasa bingung, “seperti apa bahagia mereka itu ?”

           Ini semakin menjadi beban, dari awal kisah tulisan ini tentunya aku hanya mengambil kata bahagia sebagai kasusku. Mengapa ? banyak hal dimana kamu sebagai tokoh utama dalam kehidupan memerankan peran yang sama sekali tidak diketahui skenarionya. Menyatukan hal tidak bersatu, menyamakan hal tidak sama, menganggap luka adalah ukiran indah, menganggap masa lalu adalah kenangan dan selalu dikenang dan kemudian menjadi beban, menganggap senyuman adalah lambang kebahagian ,menganggap perbedaan adalah hal indah dan kemudia berkata “aku bahagia”, semua itu seperti omong kosong bagiku. Jika satu persatu bebarapa dusta diungkap menjadi fakta nyata dan apakah masih ada bahagia itu. . . .

 "Jumpalah Bahagiamu, Sapalah dia, Dan Kenalkan Padaku"....Jika Benar kau Mengenalnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun