Judul ini sangat tendensius dan pasti sangat tidak disuka sama yang sering membuly Fadli dan Fahri. Namun sambil iseng saya mau tuliskan, pandangan pribadi saya sebagai salah satu peserta aksi damai 411.
Salah satu hal yang disorot pasca aksi damai 411 adalah kehadiran Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon dan Fahri Hamzah pada aksi damai tersebut. Sudah barang tentu, bagi kelompok yang anti terhadap aksi damai 411, hadirnya Fadli Zon dan Fahri Hamzah menjadi titik empuk untuk semakin menguatkan persepsi bahwa AKSI DAMAI 411, ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Atau setidaknya mencoba membangun persepsi bahwa Aksi Damai 411, lebih kental tujuan politiknya dibanding agenda perlawanan terhadap penista Al-Quran. Entah itu Pilkada Jakarta atau bahkan Pilpres.Â
Di sini, saya memiliki pandangan berbeda. Saya justru melihat kehadirannya sebagai sesuatu yang positif.
Ada beberapa alasan kenapa Fadli dan Fahri patut diapresiasi. Pertama, mereka berdua adalah sedikit di antara anggota DPR yang masih berani untuk kritis. Kalau sedikit ingin meluas, sebagaimana yang kita lihat pasca Golkar merapat kepada Istana, KMP secara de facto bubar. KMP yang didesain sebagai kelompok pengontrol pemerintah meredup perlahan-lahan. Setelah itu, kita bisa amati pula bahwa hanya tinggal Gerindra dan PKS yang berada di luar pemerintahan dan secara fungsional menjalankan peran sebagai "oposisi". Mungkin ditambah Demokrat. Yang memang sejak awal relatif ingin mengambil posisi mandiri. Dan jika kita lihat lebih dalam lagi, secara kelembagaan, kedua partai ini pun (Gerindra dan PKS) ternyata tidak mampu berperan maksimal dalam perannya sebagai oposisi.
Ya tentu banyak faktor kenapa bisa seperti itu. Tapi yang jelas, faktor "keselamatan" lembaga biasanya menjadi faktor prioritas bagi setiap partai, termasuk Gerindra dan PKS, untuk tidak terlalu menunjukkan wajah galak kepada pemerintah, meskipun fungsinya sebagai oposisi. Sebab kalau terlalu galak, potensi "dikerjain" oleh rezim penguasa, semakin besar. Entah tiba-tiba ada anggotanya yang ditangkap KPK, entah kasus lama diungkap lagi, atau bentuk penekanan lainnya. Yang jelas dalam politik, hal tersebut lazim terjadi. Mirip seperti bagaimana sekarang SBY dikerjain dengan berbagai kasusnya.
Namun, "diam" dan berwajah "baik" sepertinya tidak berlaku untuk Fadli dan Fahri. Di media, kritikan Fadli dan Fahri sangat mewarnai. Meski banyak di bully oleh pasukan buzzers bayaran, saya melihat kritik yang sering disampaikan Fadli atau Fahri kepada Presiden Jokowi/kebijakan pemerintah, adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh sistem negara ini. Apalagi ketika semuanya relatif "diam". Maka orang-orang yang suka melakukan kritik seperti Fadli dan Fahri tentu sangat dibutuhkan agar kesadaran kritis tetap terjaga dalam sistem bernegara. Kalau kita pakai teorinya Talcott Parsons, struktural fungsional, Fadli dan Fahri justru penting agar struktur politik DPR tetap punya fungsinya.
Coba kita bayangkan jika negara ini dipaksa dijalankan tanpa ada fungsi kritik. Tanpa ada dialektika. Hampa dan seolah-olah semua baik-baik saja? Itu justru menunjukkan ada fungsi yang tidak berjalan. Bahkan masyarakat sipil yang seharusnya memainkan peran itu, semakin dibuat tidak berfungsi lantana dibajak perannya oleh kelompok buzzer. Sehingga alih alih opini publik, banyak ditemukan justru itu opini kelompok buzzer.
Jika ditengok kebelakang, kekritisan Fadli Zon dan Fahri kepada pemerintah Jokowi, bukan hal yang baru. Sehingga tidak aneh kalau mereka gabung dalam aksi 411. Mereka bukan aktor yang tiba-tiba "muncul" karena memanfaatkan panggung. Saya lihat, itu justru itu bagian dari konsistensi mereka berdua.
Kedua, kedatangan mereka berdua bukti bahwa mereka memenuhi janjinya. Kalau kita simak berita, ketika para ulama datang ke DPR mengundang keduanya gabung aksi, Fadli Zon dan Fahri berjanji akan turun gabung dalam aksi damai 411. Menurut saya, pilihan mereka itu beresiko. Sebagai aktor politik formal, anggota DPR, apalagi Wakil Ketua DPR, berjanji untuk hadir dalam aksi itu ada yang mengibaratkan membangun perangkap sendiri. Kalau hadir bisa disalah-salahkan, tidak hadir juga bisa dicap ingkar janji. Terjepit lah pastinya. Namun ternyata mereka mau hadir dan berorasi disana. Satu pilihan yang sangat beresiko. Disinilah saya apresiasi sikap keduanya yang berani menepati janji.
Bisa jadi sah-sah saja orang bilang bahwa mereka punya kepentingan politik. Kalau saya boleh ukur, tentu  mereka berdua sangat tidak suka dengan Ahok. Ya selain karena kata-katanya Ahok yang kotor, kalau Fadli mungkin karena pengalamannya dengan Ahok yang berkhianat terhadap Gerindra. Kalau Fahri bisa jadi karena beberapa sikap Ahok yang kesannya tidak suka bener dengan Islam. Sehingga sangat logis kalau orang menduga mereka punya kepentingan politik. Cukup naif lah kalau aktor politik tidak punya agenda politik. Tapi ya itu sah sah saja selagi mendukung agenda penegakkan hukum terhadap AHok yang sudah menistakan Al-Quran.
Namun bagi saya yg melihat langsung orasi mereka, saya melihat kehadiran mereka lebih didorong oleh isu yang menjadi agenda aksi damai; penegakkan hukum terhadap Ahok dibanding agenda politik lainnya, toh Jokowi sudah bertemu Prabowo, dan PKS juga tidak komentar apa-apa. Apalagi Fahri dan PKS sedang musuhan. Sehingga, mengaitkan hadirya Fadli dan Fahri dalam aksi damai 411 semata-mata karena agenda politik partai atau pilkada atau pilpres, sepertinya jauh sekali. Saya justru menduga, barangkali latar belakang mereka berdua yang mantan aktifis UI, hadir ke aksi damai 411membuat mereka bisa bernostalgia dengan masa-masa perjuangan jalanan.Â