Oleh : Ahmad Zahruddin
Dunia ada di genggaman tanganmu, kiranya peribahasa itulah yang tepat untuk menggambarkan zaman milenial ini, Zaman dimana dipenuhi dengan puluhan bahkan ribuan teknologi mutakhir dan super canggih. Tak hanya di negara maju saja, teknologi canggih kini dapat kita temui di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali bumi nusantara.
Tak cukup disitu, peribahasa tersebut juga sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia hari ini dengan perkembangan teknologi yang sangat memudahkan manusia. Salah satu teknologi yang sangat kita rasakan kedatangannya adalah teknologi dalam bidang komunikasi dan informasi atau sering disebut dengan media. Secara garis besar media adalah segala bentuk saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan baik cetak ataupun elektronik (perantara).
Perkembangan teknologi di Indonesia khususnya dalam bidang komunikasi dan informasi ternyata tak sejalan dengan tujuan dan manfaatnya, ujaran kebencian, hoax, isu sara, dan penyebaran fitnah berseliweran di lini masa media sosial. Padahal ini adalah Media yang hampir setiap waktu menemani berbagai aktivitas masyarakat Indonesia bahkan masyarakat internasioal. Walhasil, satu persatu permasalahan mulai muncul ke permukaan akibat dari tak sejalan nya tujuan awal.
Dengan kehadiran sebuah teknologi yang dapat mempermudah sesuatu, Tak heran banyak dari masyarakat Indonesia memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari seperti pendidikan, sosial, usaha, bisnis, bahkan sampai ke ranah politik. Para akademisi pendidikan memanfaatkan teknologi itu untuk membantu aktivitas pembelajaran yang ditempuhnya, misalnya sebagai suatu referensi akademik. Tak ketinggalan para pebisnis dan pengusaha yang juga ikut andil dalam memanfaatkan teknologi itu untuk menawarkan jasa, dan dagangannya melalui media sosial yang dilengkapi dengan fitur-fitur yang menarik.
Di tahun politik ini pun kita tak bisa memandang sebelah mata sebuah media sosial, karena dampaknya benar-benar dapat kita rasakan secara personal. Ketergantungan yang berlebihan membuat banyak orang terlena karena menyepelekan dan menggampangkan sesuatu tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu dan tak menjadikannya prioritas awal. Walhasil, salah satu tujuan teknologi komunikasi dan informasi pun tercapai akan tetapi kurang maksimal.
Dalam hal ini, media sosial memang berperan banyak karena memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi baik lokal maupun interlokal, yang berisi tentang informasi yang rasional bahkan tak jarang juga berisikan informasi yang tak masuk akal. Maka peran konsumen media lah yang kini menjadi sangat berperan penting agar dapat memilah dan memilih media informasi agar tak langsung menelan mentah-mentah atau bahkan asal menguntal. Apalagi di tahun-tahun menjelang huru-hara politik serentak yang membuat segala sesuatu menjadi sensitif, sehingga menjadikan semuanya serba halal, padahal sebenarnya sangat tak bermoral.
Tahun 2018-2019 disebut tahun politik karena didalamnya terdapat kontestasi politik mulai dari pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilu legislative (pileg) hingga pemilu presiden/wakil presiden  (pilpres). Dalam kontestasi politik ini tentunya semua calon mengharapkan terpilih dan mendapatkan jabatan yang diinginkanya, sehingga berusaha untuk mengumpulkan suara sebanyak mungkin untuk merealisasikanya, dan media sosial lah salah satu perantaranya. Para calon akan memanfaatkan simpatisannya untuk gencar dan aktif di media sosial dan memosting segala sesuatu yang terkait tentang aktivitas politik nya.
Sejak Pemilu 2014 media sosial dipandang menjadi alat yang efektif berkampanye, beradu gagasan, termasuk menjatuhkan lawan yang berseberangan. Dan Tensi penggunaan media sosial untuk tujuan itu kian meningkat. Meskipun demikian, kita tak bisa menafikan bahwasanya media massa memiliki beberapa kelebihan, diantaranya adalah mendekatkan yang jauh.Â
Yang berarti semua masyarakat yang ada meskipun terhalang akan jarak yang jauh asalkan bisa mengakses media sosial mereka bisa mengetahui apa yang ada di luar sana. Akan tetapi kekurangan media massa akan muncul ketika esensi dari semua itu disalahgunakan dan tak lagi bertujuan untuk menjadi alat penyampai pesan dan informasi yang mengakibatkan bertambahnya redaksi menjadi "mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat).
Idealnya, media massa bisa menjalankan aktivitasnya dengan berpegangan kepada kode etik yang sudah berlaku, yaitu dengan mengedepankan idealisme yang tinggi bukan hanya untuk fokus meraup pundi-pundi. Faktanya, semenjak media massa dianggap sangat ampuh untuk bertarung politik, sekarang hampir semua media massa fokus akan siapa yang bisa membuatnya sejahtera dan akhirnya menyampaikan sesuatu yang bisa membuat lain pihak sengsara. Dengan prosentase yang sangat miris yaitu 30% idealisme (murni sebagai perantara informasi) dan 70% nya Bisnis yang melenceng jauh dari sebuah esensi.