Perang Diponegoro: Menyingkap Lembaran Sejarah yang Tersembunyi
Oleh: Yanuar Arifin
Perang Diponegoro adalah salah satu episode paling dramatis dalam sejarah Indonesia, menggambarkan perlawanan gigih terhadap kolonialisme Belanda. Ketika saya masih kecil, kisah yang sering saya dengar adalah tentang Pangeran Diponegoro yang memimpin perlawanan dengan keberanian luar biasa. Namun, seiring bertambahnya usia dan pemahaman, saya menemukan bahwa konflik ini jauh lebih kompleks dan kaya dengan berbagai tokoh serta dinamika sosial yang mengubah jalannya sejarah Jawa.
Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Jawa dengan pengaruh besar, menjadi pusat dari perlawanan ini. Ia lahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada 11 November 1785, dan kemudian dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Ia tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai spiritual dan tradisi Jawa, tetapi juga dihadapkan pada kenyataan kolonial yang menekan.
Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro memproklamasikan perlawanan terhadap Belanda yang memicu Perang Jawa, atau yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro. Salah satu pemicu utama perang ini adalah keputusan Belanda untuk membangun jalan yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa izin. Tindakan ini dianggap sebagai penghinaan besar dan menjadi pemicu kemarahan rakyat.
Konflik ini tidak hanya dipicu oleh faktor pribadi atau religius, tetapi juga oleh ketidakpuasan sosial dan ekonomi yang meluas di kalangan rakyat Jawa. Kebijakan kolonial Belanda yang menindas, termasuk pajak yang tinggi dan kerja paksa, membuat kehidupan rakyat semakin sulit. Ketidakadilan ini membangkitkan semangat perlawanan di kalangan rakyat yang dipimpin oleh Diponegoro.
Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Peter Carey dalam bukunya The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785--1855, Diponegoro memanfaatkan ketidakpuasan sosial ini untuk membangun basis dukungan yang kuat. Ia menggabungkan pesan religius dengan semangat kebangsaan, menyerukan jihad melawan penjajah yang dianggap kafir dan menindas.
Pangeran Diponegoro mengadopsi strategi perang gerilya yang efektif dalam menghadapi pasukan Belanda yang lebih terorganisasi dan dilengkapi dengan persenjataan modern. Ia memanfaatkan pengetahuan mendalam tentang medan Jawa untuk melancarkan serangan-serangan mendadak yang melelahkan pasukan Belanda.
Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya menjadi medan pertempuran utama. Diponegoro dan pasukannya sering berpindah-pindah tempat untuk menghindari serangan balasan dari Belanda. Strategi ini cukup berhasil dalam tahap awal perang, membuat Belanda kewalahan dan kehilangan banyak prajurit.
Perlawanan Diponegoro tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan luas dari rakyat Jawa. Banyak petani, bangsawan kecil, dan ulama bergabung dalam perlawanan ini. Mereka melihat Diponegoro sebagai pemimpin yang mampu mengembalikan kehormatan dan kedaulatan Jawa dari cengkeraman kolonial.