Mohon tunggu...
Yanuar Arifin
Yanuar Arifin Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Penulis dan editor buku-buku religi, motivasi, dan pengembangan diri, serta penikmat rawon sejak lama. Kini, juga menjadi pendiri dan owner Penerbit Teduh Pustaka, salah satu penerbitan indie di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi Karbala: Kisah Pengorbanan Sayyidina Husain

16 Juli 2024   10:57 Diperbarui: 16 Juli 2024   10:59 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://beingzab.wordpress.com

Rombongan Husain terdiri dari 72 orang; sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Hanya ada 32 prajurit berkuda dan 40 pejalan kaki yang siap bertempur. Namun, di hadapan mereka berdiri 4.000 pasukan berkuda dengan persenjataan lengkap yang dipimpin oleh Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash.

Pada 10 Muharram 61 Hijriah, tepatnya 10 Oktober 680 Masehi, terjadilah pertempuran yang sangat tidak seimbang. Pasukan Husain bertempur dengan gagah berani, menantang hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas satu per satu, mempersembahkan nyawa mereka demi keyakinan dan keadilan. Di bawah terik matahari Karbala, Husain berdiri sebagai sosok terakhir yang masih tegak, menantang takdir dengan mata yang penuh keteguhan. Namun, akhirnya, Husain pun dibunuh dengan kejam, dan darahnya mengalir di pasir Karbala.

Sebelum syahid, di tengah deru pertempuran yang tiada henti, Husain berdiri tegak, meski tubuhnya telah penuh luka. Darah mengalir dari luka-luka yang tak terhitung jumlahnya, tetapi semangatnya tetap menyala. Ia adalah cucu Rasulullah, pembawa panji kebenaran yang tak gentar menghadapi kezhaliman. Di sekelilingnya, saudara-saudaranya, sahabat-sahabatnya, satu per satu gugur. Mereka berjuang sampai napas terakhir, memegang teguh keyakinan mereka.

Husain memandang sekelilingnya, melihat anak-anak dan perempuan yang ketakutan. Ia tahu, ini adalah akhir dari sebuah perjuangan yang suci. Dengan langkah yang mantap, ia mendekati perkemahan mereka. "Jangan takut," bisiknya lembut, "Allah bersama kita."

Sejenak ia memejamkan mata, mengingat wajah-wajah yang dicintainya. Ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang telah mengajarinya tentang keberanian dan keadilan. Ibunya, Fatimah az-Zahra, yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan. Kakeknya, Rasulullah, yang menjadi panutannya sepanjang hidup. Semua kenangan itu memberinya kekuatan untuk melangkah ke medan perang, menghadapi musuh yang jauh lebih banyak.

Dengan sisa tenaga yang ada, Husain mengayunkan pedangnya, melawan pasukan yang terus merangsek maju. Tubuhnya terhuyung, tetapi ia tetap berdiri. Dalam hati, ia berdoa, memohon ampunan dan kekuatan dari Allah. Tiba-tiba, sebuah lembing meluncur cepat, menembus dadanya. Husain terjatuh, tetapi tangannya masih menggenggam pedang dengan erat. Matanya menatap langit yang cerah, seolah mencari tanda-tanda dari Allah.

Saat-saat terakhirnya dipenuhi dengan kesakitan yang luar biasa, tetapi hatinya tenang. Ia tahu, pengorbanannya tidak sia-sia. Darahnya yang tertumpah akan menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan untuk kebenaran. Dalam hembusan napas terakhirnya, ia memanggil nama Allah, menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Darah Husain mengalir di pasir Karbala, membasahi tanah yang sunyi. Di tempat itu, sebuah tragedi besar terjadi, meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Islam. Perang Karbala bukan sekadar peristiwa sejarah; ia adalah simbol keberanian dan pengorbanan demi kebenaran. Kejadian ini menunjukkan betapa mendalamnya perselisihan dan permusuhan di kalangan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Tragedi Karbala mengukir kisah pilu yang tak pernah pudar dari ingatan, membawa pesan tentang betapa mahalnya harga sebuah keadilan dan kebenaran.

Setelah kematian Husain, tubuhnya yang tak bernyawa terbaring di pasir Karbala, dikelilingi oleh anggota keluarganya yang tersisa. Kesunyian menyelimuti medan perang yang sebelumnya dipenuhi oleh suara dentingan senjata dan jeritan perjuangan. Wanita-wanita dan anak-anak yang selamat meratap dalam kesedihan yang mendalam, menyaksikan kepergian orang-orang terkasih mereka.

Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash lantas memerintahkan pasukannya untuk memenggal kepala Husain dan membawa kepalanya ke istana. Kepala Husain dibawa dalam keadaan berdarah, sebagai tanda kemenangan yang keliru bagi mereka yang haus akan kekuasaan. Namun, di hati banyak orang, kepala yang terpenggal itu adalah simbol keberanian dan pengorbanan yang suci.

Para tawanan dari keluarga Husain, termasuk adik perempuannya, Zainab, dibawa ke istana dengan tangan terikat. Zainab, yang sebelumnya dikenal sebagai wanita yang kuat dan berani, kini berdiri di hadapan Yazid dengan kepala terangkat tinggi. Dengan penuh keberanian, ia berbicara, menantang kezhaliman yang dilakukan oleh Yazid dan pengikutnya. Kata-katanya menggema, menembus hati siapa saja yang mendengarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun