Mohon tunggu...
Yanuar Arifin
Yanuar Arifin Mohon Tunggu... Editor - Penulis

Penulis dan editor buku-buku religi, motivasi, dan pengembangan diri, serta penikmat rawon sejak lama. Kini, juga menjadi pendiri dan owner Penerbit Teduh Pustaka, salah satu penerbitan indie di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kiai dan Rekonstruksi Nasionalisme Kebangsaan: Menyatukan Tradisi dan Modernitas

26 Juni 2024   01:17 Diperbarui: 26 Juni 2024   01:20 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://assets.karyakarsa.com

Kiai dan Rekonstruksi Nasionalisme Kebangsaan: Menyatukan Tradisi dan Modernitas

Oleh: Yanuar Arifin

Agama dan negara sering dilihat sebagai dua entitas yang bertolak belakang dalam konteks politik modern. Dalam sejarah peradaban, kedua institusi ini memegang peran penting dalam membentuk tatanan sosial dan politik. Namun, dalam dinamika kehidupan berbangsa, agama sering dipinggirkan, sedangkan negara memperoleh kendali penuh atas kebijakan dan identitas nasional. Perspektif ini, yang menempatkan agama sebagai entitas terpisah dari urusan kenegaraan, menimbulkan konflik dan tantangan dalam merumuskan nasionalisme kebangsaan yang inklusif dan harmonis.

Dalam konteks sejarah Indonesia, para kiai, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), memainkan peran krusial dalam merumuskan konsep nasionalisme yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Perjuangan kemerdekaan Indonesia diwarnai oleh kontribusi besar para kiai seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, dan KH. Bisri Syamsuri. Salah satu momen penting adalah Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini menjadi titik balik dalam perlawanan terhadap penjajah, terutama saat Pertempuran 10 November di Surabaya, yang mempertegas peran agama dalam membangun semangat kebangsaan.

Agama dan Negara: Perspektif Budaya dalam Nasionalisme

Ali Maschan Moesa, dalam bukunya Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (LkiS, 2007), menawarkan perspektif baru dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Melalui pendekatan budaya, Moesa menunjukkan bahwa agama dan negara memiliki korelasi positif yang dapat saling memperkuat dalam membangun nasionalisme kebangsaan. Dengan mengkaji peran para kiai NU, ia menegaskan bahwa agama tidak harus menjadi oposisi terhadap negara, melainkan dapat menjadi mitra dalam membangun tatanan sosial yang adil dan berkeadilan.

Pasca kemerdekaan, kebijakan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru menciptakan pemisahan yang tajam antara agama dan negara. Nasionalisme yang diterapkan oleh pemerintah cenderung mengesampingkan peran agama, seolah-olah agama tidak memiliki tempat dalam pembangunan kebangsaan. Taktik politik ini, yang sering kali otoriter dan represif, hanya memperkuat kontrol pemerintah tanpa memberikan ruang bagi interaksi yang sehat antara agama dan negara. Kebijakan ini menimbulkan dampak negatif, termasuk perlawanan dari masyarakat yang merasa identitas keagamaannya diabaikan.

Berbeda dengan sikap pemerintah, para kiai dan masyarakat pesantren memandang bahwa simbol-simbol agama dapat sejalan dengan konsep nasionalisme. Para kiai memahami bahwa selama nasionalisme dibangun di atas dasar nilai-nilai agama Islam yang inklusif, konsep ini tetap relevan dan layak digunakan dalam kehidupan berbangsa. Sikap inklusif ini menunjukkan bahwa para kiai mampu mengintegrasikan antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keagamaan mereka. Ini menggarisbawahi bahwa nasionalisme yang diwarnai oleh agama dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat.

Pendekatan budaya yang ditawarkan oleh Moesa mengusulkan bahwa hubungan antara agama dan negara dapat dipahami sebagai interaksi yang harmonis, bukan sebagai entitas yang selalu bertentangan. Dengan memandang agama dan negara dari perspektif budaya, kita dapat menciptakan pemahaman yang lebih inklusif dan konstruktif. Pendekatan ini menekankan pentingnya menghargai nilai-nilai keagamaan dalam membangun identitas nasional yang kuat dan bermakna.

Pentingnya Spirit Nasionalisme Inklusif

Di tengah fenomena semakin lunturnya spirit nasionalisme kebangsaan, pemahaman yang inklusif tentang nasionalisme menjadi sangat penting. Buku Moesa memberikan wawasan tentang bagaimana nilai-nilai keagamaan dapat memperkuat semangat kebangsaan dan membangun masyarakat yang harmonis. Dengan mempelajari peran kiai dalam sejarah nasionalisme Indonesia, generasi muda dapat memahami bahwa nasionalisme tidak harus berseberangan dengan agama. Potret para kiai yang menunjukkan loyalitas mereka terhadap Indonesia dan Islam memberikan cerminan bahwa substansi ajaran agama dapat melahirkan nasionalisme yang kuat dan bermakna.

Data dari Pew Research Center menunjukkan bahwa lebih dari 87% populasi Indonesia mengidentifikasi diri sebagai Muslim. Fakta ini menegaskan bahwa agama memiliki peran signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, ada peningkatan dalam sekularisasi kebijakan pemerintah, yang seringkali tidak sejalan dengan kepercayaan mayoritas warga. Ini menekankan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dalam merumuskan kebijakan nasionalisme yang menghormati kepercayaan agama masyarakat.

Pengalaman para kiai NU menunjukkan bahwa integrasi antara agama dan nasionalisme dalam kebijakan publik dapat menghasilkan pengaruh positif dalam membangun negara. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan-kebijakan yang cenderung memisahkan agama dari urusan negara dan mulai melihat agama sebagai mitra dalam pembangunan nasional.

Menuju Nasionalisme yang Inklusif dan Agamis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun