Puisi Gus Zainal Arifin Thaha
Perjalanan Spiritual dan Romansa Terakhir: Menyelami MaknaOleh: Yanuar Arifin
Â
Gus Zainal Arifin Thaha adalah nama yang tak asing, terutama di kalangan sastrawan dan penyair Yogyakarta. Beliau adalah seorang guru dan pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari yang para santrinya diajari untuk hidup mandiri melalui dunia tulis menulis. Gus Zainal, demikian beliau akrab disapa, menulis dua puisi terakhir sebelum menjelang wafatnya pada tahun 2007 silam. Dalam puisinya "Ciuman Terakhir Menjelang Kematian" dan "Cinta Adalah Nyawa", beliau seakan membawa kita menyelam dalam kedalaman emosi manusia yang kompleks saat menghadapi batas antara kehidupan dan kematian, serta esensi cinta yang mengakar dalam jiwa. Puisi-puisinya, dengan bahasa yang penuh dengan simbolisme dan metafora, memberikan kita perspektif yang lebih dalam tentang perjalanan spiritual dan romansa terakhir. Mari kita bedah kedua puisi ini dengan melihat tema, simbolisme, dan pesan yang tersembunyi di balik kata-kata indahnya.
Ciuman Terakhir Menjelang Kematian: Penantian di Ambang Akhir
1. Penantian di Tengah Terik Matahari
Pada bait pertama, Gus Zainal membuka puisinya dengan gambaran suasana yang intens dan mendesak:
Di bawah matahari terik yang meledak-ledak
keringat begitu deras melumuri tangan malaikat
dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu dalam gaib asmaradana
Matahari terik yang meledak-ledak mengindikasikan situasi yang mencekam dan penuh ketegangan, memperlihatkan kondisi yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional. Keringat malaikat melambangkan usaha dan perjuangan dalam tugas ilahiah, memperkuat suasana mendesak yang melingkupi momen tersebut. Sang tokoh, yang berada dalam kondisi sekarat, menggambarkan dirinya yang lemah dan rapuh. Frasa "memandang wajahmu dalam gaib asmaradana" menggambarkan pandangannya pada seseorang atau sesuatu yang dicintainya, meski dalam kondisi hampir kehilangan kesadaran.
2. Permohonan Terakhir kepada Tuhan
Tokoh dalam puisi ini menyadari kedekatan dengan kematian dan mengajukan permohonan terakhir kepada Tuhan:
"Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang
Meninggalkan tanah surga yang jalang rupawan."
Permohonan untuk ciuman terakhir ini bisa diinterpretasikan sebagai keinginan untuk merasakan kehangatan, cinta, dan penerimaan sebelum akhirnya meninggalkan kehidupan. "Tanah surga yang jalang rupawan" bisa dilihat sebagai penggambaran dunia yang indah tetapi penuh godaan dan penderitaan, menunjukkan ambivalensi perasaan terhadap kehidupan dan kematian.
3. Malaikat dan Perjalanan Nyawa
Bait berikutnya menggambarkan proses malaikat mendekati dan mencari nyawa sang tokoh:
Dan malaikat mulai lingsir ke sebelah wuwung
malaikat merayap-rayapkan tangan
mencari letak nyawa
tangis begitu mengharap
Di sini, malaikat digambarkan dengan sifat manusiawi, merayap-rayapkan tangan dalam usaha mencari nyawa. Proses pencarian nyawa oleh malaikat memberikan nuansa mistis sekaligus personal pada momen sakral ini. Tangis yang mengharap menunjukkan ketidakpastian dan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh tersebut saat menghadapi momen kematiannya.