Mohon tunggu...
ibnu Jalil
ibnu Jalil Mohon Tunggu... Guru - hobi saya membaca dan menulis

seorang pejalan jauh yang suka menikmati alam liar

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Beranikah KPK Membidik Usman Admadjaja?

16 Juli 2019   14:29 Diperbarui: 16 Juli 2019   14:51 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung pada 9 Juli 2019 dinyatakan bebas. Lewat amar putusan No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi Syafruddin dalam kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut MA tindakan Syafruddin tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sehingga dinyatakan bebas dari jerat hukum.

Masyarakat tentu mempertanyakan putusan yang diambil oleh MA tersebut. Komitmen MA sebagai bagian dari penegak hukum -- selain Kepolisian, Kejaksaan dan KPK -- dalam pemberantasan korupsi diragukan. Harapan publik terhadap penegakan hukum yang seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan extraordinary crime, apalagi dalam kasus mega korupsi BLBI, kandas ditangan MA. Menggantungkan kepada KPK untuk menjerat pelaku korupsi ternyata tidak cukup.

Bagaimana tidak? Ketika KPK sudah bekerja keras melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dengan hukuman maksimal, proses di pengadilan justru berkehendak lain. Lebih dari itu, dalam kasus Syafruddin, Pengadilan Negari (PN) Tipikor sudah memvonis dengan hukuman 13 tahun penjara. Bahkan, upaya banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Alih alih, putusan kasasi di tingkat MA justru menganulir itu semuanya.

Dari sini kita melihat bahwa tidak semua kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan diproses di meja persidangan akan berakhir di penjara. Lewat upaya hukum, seorang pelaku korupsi yang dituntut oleh KPK masih bisa bebas di tangan MA. Ini juga menjadi penanda bahwa koruptor yang telah menjarah harta negara sama sekali tidak berminat untuk pasif. Mereka akan terus memanfaatkan celah-celah hukum, bahkan politik (das politische) untuk mempermainkan keadilan (justice a game).

Maka tidak aneh jika kemudian muncul dalam perbincangan publik bahwa "KPK kalah dengan MA". Apakah benar demikian? Tentu butuh analisis yang panjang dengan melibatkan beberapa aspek, mulai dari analisis hukum formal dan material, pasal - pasal dalam UU Tipikor, hukum pembuktian, hingga interpretasi penyidik KPK dengan para hakim di MA terkait dengan kasus tersebut. Dari itu semua, bahwa penyelesaian kasus-kasus korupsi besar, seperti BLBI bukan perkara yang mudah.

Dalam kasus Syafruddin, KPK masih punya kesempatan untuk membuktikan ulang bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah melakukan korupsi, yakni melalui Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Butuh perhatian serius dan dukungan publik bagi KPK untuk mengembalikan nilai kerugian negara Rp 4,58 triliun yang diduga diselewengkan oleh terdakwa. Selain menuntaskan kasus Syafruddin ini, KPK masih memiliki pekerjaan rumah untuk membidik tersangka lain, yakni Usman Admadjaja.

Seperti halnya tersangka Sjamsul Nursalim yang saat ini kasusnya masih di tahap penyidikan, Usman Admadjaja adalah penerima dana triliunan rupiah dari BLBI untuk Bank Danamon. Menurut Tempo, Usman tercatat masih punya utang Rp 12,5 triliun kepada pemerintah. Dan hingga hari ini, dia masih bebas berkeliaran seolah hukum sulit menyentuhnya. Beranikah KPK membidik Usman Admadjaja? Dukungan publik tentu dibutuhkan agar KPK kembali memiliki kepercayaan dan keberanian.

Menurut Tempo (21 Agustus 2003) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menemukan 10 aset yang diduga milik Usman. Aset tersebut tersebar di dalam dan di luar negeri. Jika aset-aset tersebut bisa buru dan dibuktikan oleh KPK, maka BPPN bisa melakukan eksekusi terhadap aset-aset milik koruptor BLBI itu. Karena ulah konglomerat hitam seperti Usman, negara dirugikan triliunan rupiah. Kini, harapan publik berada di pundak KPK. Kepercayaan dan dukungan akan terus mengalir, bukan saja ketika kasus korupsi dapat tertangani, tetapi juga ditangani oleh lembaga anti-korupsi (KPK) yang kredibilitas dan independensinya tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun