Saya berusaha sebisa mungkin agar tulisan ini benar-benar ringkas. Akan tetapi ada beberapa hal yang membuat tulisan ini tetap menjadi tulisan yang agak panjang, lantaran beberapa istilah harus saya perjelas agar pembaca tidak bingung ketika menemukannya.
Di Indonesia, Komunisme bukanlah sesuatu yang asing lantaran aliran filsafat ini pernah mewarnai perjalanan bangsa Indonesia dan memberikan noda hitam dalam sejarah.Â
Namun, selama ini komunisme sering dijadikan sebuah istilah yang disalahgunakan terhadap faksi politik tertentu. Sejatinya, faksi politik tersebut memang merupakan bagian dari sayap kiri dalam spektrum politik, tetapi tidak serta-merta semua yang "kiri" adalah komunis.Â
Toh, sosialis dan liberalis juga masuk dalam "left-wing". Meski demikian, kemungkinan adanya tokoh komunis yang berlindung di bawah pohon liberalisme tetap harus diperhitungkan. Karena komunisme adalah ideologi yang dilarang di Indonesia, sehingga mereka tidak akan mungkin mendeskripsikan diri sebagai komunis secara publik.
Lantas, apa itu komunisme? dan kenapa para komunis menjadi atheis?
Pertanyaan ini bisa dijawab jika kita mengetahui apa thesis dari Karl Marx, Frederich Engels, dan Vladimir Lenin. Ketiganya merupakan bapak ideologi komunisme, walaupun terkadang Marxisme sering dibedakan dari komunisme.
Komunisme sendiri merupakan ideologi Karl Marx yang dikembangkan Frederich Engels sebagai respon terhadap aliran German idealism. German idealism adalah kelompok filosof era enlightenment eropa yang dimulai oleh Immanuel Kant.Â
Di antara tokoh German idealism yang menjadi objek kritik oleh Karl Marx adalah George Hegel yang mencetuskan sebuah pendekatan baru tentang dialetic sebagai sebuah metode. Hegel adalah seorang tokoh yang berfokus pada Phenomenology of Mind, Studi estetika, Logika dan Sejarah.
Dialektika Hegel atau Hegelian dialectic adalah sebuah pendekatan berfikir untuk merumuskan epistimologi sesuatu. Hegel percaya bahwa Absolute mind adalah sesuatu yang tidak bisa dicapai secara langsung. Absolute mind sendiri bersifat divine atau bisa disebut sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang telah ada sebelum semesta menjadi exist (Said Ramadhan Bouti, al-mazahib tawhidiyah wa falsafatul mu'ashirah 2013).Â
Untuk bisa mencapai konsep-konsep absolut tadi, dalam makna epistimologi (pengetahuan), maka Hegel menggunakan dialectic. Dialektika di sini bukanlah percakapan antara dua pihak sebagaimana Sokrates dahulu. Tetapi Dialektika Hegel adalah benturan antara Thesis-Anti Thesis yang melahirkan sebuah synthesis.Â