Matahari hampir berada di puncak maksimal, panas menyengat, namun tak menurutkan semangat. Kata orang waktu-waktu tersebut enaknya ngadem sambil minum es dan koyah (ngobrol).
Di salah satu rumah daerah Ngronggo-Kediri. Pukul 10.30 setelah  selesai dengan segala urusan rumah, barulah seorang pria justru bergegas dengan peralatan lengkap. Bak siap menuntaskan misinya di hari itu. Dengan berbekal sepeda onthel tua, topi caping (topi petani), juga serentetan botol bekas yang di isi dengan ramuan khas dari istrinya. terbesit dalam hati mengapa jamu tidak diteliti oleh universitas terbaik Jepang yang memiliki standar tinggi untuk menguji khasiatnya?
Jamu. Ya, kiranya itulah yang akan dijajakan oleh pria tersebut. sudah empat tahun ini berkeliling di sekitar daerah Ngronggo.
Di sisi dan waktu yang lain pula. saya pada jam 14.00, di sekretariat LPM Dedikasi STAIN Kediri sedang bersiap.
Di hati sudah berniat pergi ke kelas, untuk melaksanakan kuliah yang sebenarnya dijadwalkan jam 13.50. "ga papa lah telat sedikit, toh dosennya juga sering telat" gumamku dalam hati.
Dalam perjalan menuju kelas, dikarenakan saya mahasiswa Tarbiyah, maka dengan berjalan kaki, langkah demi langkah saya susun, menuju kampusku yang bersebrangan dengan Seketariat LPM Dedikasi. Setelah menyebrang  jalan, terlihat sosok yang menarik perhatianku.
kuurungkan sejenak niatku ke kelas. Menuju sosok penjual jamu di pinggir jalan dengan penampilan khasnya. Berbusana batik dibumbui dengan topi khas petani. Juga dikarenakan saya sendiri sudah terhitung lama tidak minum jamu, dan jarang menemui penjual jamu.
Langkahku pun berbelok arah ke penjual jamu. melihat ada dua macam ukuran, yang satu berukuran botol 1500 mililiter dan yang satunya 600 ml. Saya bertanya mengenai harga.
"Kalo yang botol besar ini Rp. 10.000, terus yang kecil Rp. 5.000 mas" tukasnya.