Mohon tunggu...
Ibnu Arsib
Ibnu Arsib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Legislator yang Berkhianat

27 Juli 2022   14:05 Diperbarui: 27 Juli 2022   14:08 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal apa lagi yang kita (rakyat) banggakan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini? Catatan buruk, sumpah serapah, kritik yang membangun, makian yang terpendam dan keputusasaan yang mulai klimaks bertubi diposkan ke lembaga legislatif itu, tapi toh telinga mereka yang mengisi lembaga DPR masih tersumbat dari aspirasi rakyat banyak. 

Adakah yang salah dengan lembaganya? Adakah yang salah dengan sistem pemerintahan yang memungkin DPR tidak perlu ada jika memang tidak selayaknya menjadi DPR? Dan atau kah oknum-oknumnya yang bermasalah? Atau sudahkah selayaknya mencari dan mengganti sistem pemerintahan baru? Konklusi sikap rakyat pun akhirnya mulai mengarah pada krisis kepercayaan pada anggota DPR, hingga puncak klimaksnya (mungkin suatu saat) akan diam mengunci pemberian mandatnya.

Sering kita sebutkan bahwa, anggota DPR adalah wakil dan pembantu rakyat, itu sebabnya jabatan tersebut diperoleh dari rakyat. Untuk apa? Tentu tidak lain dan tidak bukan untuk menjaga hak-hak kedaulatan rakyat. Dalam konstitusi disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan berdasarkan UUD. Hal itu masih dalam konsep abstrak, tentu konkritisasinya adalah adanya dewan perwakilan rakyat. Perlu ditegaskan bahwa pengisian kekuasaan di legislatif adalah bentuk perwakilan, pemegang kekuasaan sebenarnya adalah rakyat itu sendiri.

Kita tidak memungkiri bahwa secara konstitusi bahwa tugas dan fungsi DPR adalah untuk legislasi (legislation), mengawasi (controling) dan penganggaran (budgeting), hal ini memang sangat penting dalam kestabilan dan keseimbangan (chek and balance) jalannya roda pemerintahan yang menganut sistem trias politica (non pemisahan murni seperti yang disebutkan teori Montesquieu). 

Akan tetapi pelu disadari bahwa sejatinya DPR adalah pelaksana tugas menjalankan kedaulatan rakyat salah satunya lewat proses legislasi yang pro rakyat, bukan pro pada pihak eksekutif yang seharusnya melayani rakyat. Agak aneh memang bahwasanya pihak eksekutif (Presiden hingga jajarannya) di Indonesia ini diistimewakan seperti dalam negara monarki.


Legislasi yang Buruk

Ada satu hal yang paling diamati dan dikritik oleh publik saat ini, yaitu terkait proses legislasi skala nasional di dalam lembaga DPR. Publik memberi catatan buruk pada mereka. Di berbagai media dan pengamat pemerintahan, hukum dan politik meragukan kemampuan dan kualitas anggota-anggota DPR saat ini. Saya menilai bahwa DPR saat ini seperti pepatah mengatakan: kacang lupa akan kulitnya. Mereka lupa pada rakyat yang memberi mandat padanya.

Sebagaimana yang dilansir dalam akun resmi instagram hukum online (22/6/2022), yang mengutip dari penilaian Titi Anggraini (anggota Perludem) menyebutkan bahwa, kinerja DPR periode saat ini dalam legislasi justru makin buruk, padahal lima belas persen dari seluruh anggota DPR RI berpendidikan ilmu hukum. Pihak Hukumonline sendiri mencatat bahwa setidaknya ada 89 lulusan hukum dari 575 anggota DPR RI.

Secara penilaian berdasarkan faktanya, menurut Anggraini, saat ini makin banyak undang-undang yang disahkan oleh anggota DPR RI tapi ditolak oleh publik. Proses legislasinya buruk karana semakin jauh dari keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan asas akuntabilitas. Salain apa yang disampaikannya tersebut, sudah menjadi rahasia umum beberapa tahun ini pengesahan sebuah Undang-undang disahkan secara kilat (seperti UU IKN), bahkan disahkan padahal menyalahi UU PPP (sebelum perubahan) seperti UU Ciptaker yang pada akhirnya digugat (judicial review) kemudian MK membatalkan UU tersebut dengan bersyarat (inkonstitusional bersyarat) selama dua tahun untuk memperbaiki. Ini fenomena yang cukup aneh. MK sendiri tampaknya tidak konsisten untuk menegakkan konstitusi yang katanya lembaga itu (MK) sebagai the guardian of constitution (benteng konstitusi).

Senada dengan anggota Perludem tersebut, sangat menarik dan jelas apa yang ditulis Bivitri Susanti selaku pakar Hukum Tata Negara dari STHI Jentera, (Kompas, 7/7/2022). Dalam proses legislasi yang dilaksanakan DPR masih jauh dari proses legislasi yang partisipatif, hal ini buktikan oleh Bivitri dengan masalah terbaru mengenai pembahasan RKUHP yang rencananya akan disahkan. Selain mengutip pengistilahan proses legislasi kilat, istilah yang lain juga adalah DPR memberlakukan praktik ugal-ugalan dalam legislasi. Jika proses legislasi kilat itu diukur dari waktu pembahasan dan pengesahannya, proses legislasi ugal-ugalan diukur dengan sejauh mana partisipasi publik dilibatkan oleh DPR. Saya mengistilahkan bahwa nampaknya DPR saat ini memakai jurus mabuk sambil menyumbat kedua telinganya.

Hal yang paling aneh lagi adalah rencana pembahasan RKUHP di DPR dan pihak pemerintah eksekutif akan membahas hanya 14 pasal yang dianggap oleh mereka pasal krusial dari enam ratus lebih pasal dalam RUU tersebut. Jadi bagiamana dengan pasal-pasal yang lain yang ternyata memiliki dampak buruk ke depannya? Selain kejanggalan dan keanehan itu, pembahasan pun akan dilaksanakan secara tertutup, padahal ke depan dampak dari UU (jika disahkan) adalah pada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun