Mohon tunggu...
Ibnu Arsib
Ibnu Arsib Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk

26 Juli 2022   10:33 Diperbarui: 26 Juli 2022   10:42 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan dari penjelasan Levitsky dan Ziblatt, bahwa salah satu upaya pemerintah yang berkuasa untuk membajak demokrasi yaitu dengan membentuk hukum yang melindungi kekuasaan, kemudian mengorbankan kebebasan demokrasi masyarakat, lembaga pers, lembaga pelindung demokrasi, dan kelompok masyarakat lainnya. Upaya-upaya itu mulai begitu tampak di negara kita beberapa tahun belakangan ini. Aroma-aroma rezim Orde Baru (Orba) mulai tercium.

Untuk mengidentifikasi jenis hukum seperti apa yang mereka gunakan untuk membunuh demokrasi dan kebebasan sosial di dalam demokrasi, khususnya di negara kita saat ini. Dan sekarang negara kita, secara teori hukum berada di fase mana? Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif (terjemahan) membagi tiga jenis hukum yang berbasis pada teori hukum sosilogis, yaitu: Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif. Jenis hukum yang terakhir adalah sebuah bentuk wacana para penulis atau sebagai sintesis dari Hukum Represif dan Hukum Otonom.

Yang dimaksud Hukum Represif adalah hukum yang digunakan oleh penguasa untuk menekan yang dikuasi. Hukum yang dibentuk dan digunakan adalah untuk menjaga kepentingan kekuasaan pemerintah, tidak untuk kepentingan yang diperintah (rakyat). Legitimasi rakyat sebagai yang diperintah diingkari. Hukum Represif ini biasanya lahir dari pemerintahan yang represif.

Setelah fase Hukum Represif, lahirlah Hukum Otonom. Hukum Otonom ini adalah hukum yang netral, bebas dari pengaruh politik dan kepentingan penguasa. Hukum ini muncul untuk menjinakkan hukum represif. Sejarah perkembangan hukum ini sering disebut sebagai; rule of law. Karakter khas Hukum Otonom yaitu seperti: Hukum terpisah dari kepentingan politik; prosedur adalah jantung hukum; tertib hukum; dan patuh pada peraturan-peraturan hukum positif.

Selanjutnya masuk ke dalam fase Hukum Responsif, adalah hukum yang muncul dari bawah berupa aspirasi masyarakat untuk merespon kepentingan rakyat di bidang ekenomi dan sosial melalui partisipasi politik. Jika kita dekatkan dengan kondisi yang menjadi awal pembicaraan kita tadi, di fase manakah hukum kita saat ini? Apakah di dalam fase Hukum Responsif? Jawabannya tentu seperti pepatah; jauh panggang dari api.

Apakah di fase hukum yang pertama? Secara murni tentunya tidak, karena saat ini rezim tidak seperti di masa Orba. Apakah di fase hukum yang kedua? Secara murni juga tidak. Sebab intervensi kepentingan politik dan dibentuknya peraturan, mayoritas menekan yang dikuasai, apalagi jika berlakunya pasal-pasal RKUHP yang melindungi pejabat negara. Jika tidak pada yang ketiga-tiganya secara murni, jadi di fase yang mana?

Penutup

Di sini lah letak benang merah apa yang dijelaskan oleh Levitsky dan Ziblatt dengan Nonet dan Selznick. Dua orang dari yang pertama menjelaskan bahwa, terjadinya pembunuhan demokrasi tidak dengan cara-cara tradisional lagi, tapi dengan demokrasi itu sendiri, yaitu salah satunya memanfaatkan hukum untuk melegalisasi upaya-upaya pembunuhan demokrasi rakyat. Para penguasa yang ingin membunuh demokrasi dengan menggabungkan (mixed) dua jenis hukum yang dijelaskan Nonet dan Selznick, sesuai kepentingan penguasa saja. Dengan campuran jenis hukum tersebut, dipisahkan lah unsur represif secara fisik, tapi dimasukkan secara halus kepentingan politik ke dalam Hukum Otonom.

Sedangkan nasib Hukum Responsif yang bercita-cita melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat dicampakkan begitu saja. Jika ada rakyat atau kelompok masyarakat melakukan protes, melakukan aksi menyampaikan aspirasi langsung atau pun tidak langsung, penguasa telah menyiapkan UU yang bisa menghambat gerakan itu dengan berbagai pasal-pasal dengan ancaman pidana. Pasal-pasal disusun seelastis mungkin (pasal karet) agar dapat digunakan "senjata".

Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka negara Indonesia yang demokrasinya mulai dewasa akan mati digantikan negara "otoritarisnisme konstitusional", sebagaimana berlakunya monarki konstitusional dalam sejarah ketatanegaraan. Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk menjaga jabatan dan kepentingan pejabat negara. Demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi hampa.***

Catatan: Artikel ini telah dimuat di Kolom Opini Harian Analisa. Edisi: Senin, 25 Juli 2022, dengan nama asli penulis dan dengan judul Pembunuhan Demokrasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun