Tulisan ini adalah tanggapan terhadap Tulisan mbak Esther di http://politik.kompasiana.com/2014/03/15/kebohongan-jokowi-dan-estherwi-639590.html
ya, setelah lama tidak hadir di dunia kompasiana, tadi tanpa sengaja saya "terbaca" tulisan Mbak Esther ketika googling sebuah berita..
Didalam tulisan tersebut Mbak Esther meng-analogikan kisah Jokowi yang meninggalkan posisinya sebagai Gubernur Jakarta untuk maju dalam pilpres 2014 dengan kisah Mbak Esther yang membersihkan selokan depan rumahnya sekaligus selokan tetangga-tetangganya se-RT. Agaknya yang menjadi titik utama perbandingan nya adalah soal "banjir".
Jujur, menurut saya analogi ini kurang tepat. karena pertama, masalah di Jakarta bukan hanya banjir. Di Jakarta juga ada masalah transportasi (kemacetan, monorel, bus trans-jakarta), kesehatan (KJS) , semerawutnya pembangunan, sampai permasalahan birokrasi. Kedua, Mbak Esther membandingkan dirinya yang sudah beres dan tuntas membersihkan selokan di depan rumahnya (bahkan sudah membuat lubang biopori) dengan Jokowi yang belum tuntas mengatasi banjir jakarta, apalagi permasalahan-permasalahan jakarta lainnya yang begitu kompleks.
Sebagai tambahan, kalimat “ternyata hanya saya yang menjaga kebersihan selokan di depan rumah saya. Sementara selokan di depan rumah tetangga-tetangga saya dipenuhi sampah daun, lumpur dan kayu-kayu bekas” dalam tulisan mbak Esther jika dianalogikan dengan Jakarta dan provinsi serta kabupaten/kota disekitarnya, seakan-akan hanya Jokowi/Jakarta saja yang bekerja mengatasi masalah yang ada (utamanya banjir), sedangkan tetangga-tetangga Jakarta tidak bekerja sama sekali, tidak melakukan apa-apa. Menurut saya ini sangat tidak tepat dan tidak proporsional.
Kalaupun ingin menganalogikan jokowi yang maju sebagai capres meninggalkan posisi Gubernur (Pemimpin) Jakarta dengan segudang masalah dijakarta yg kompleks dan “multi dimensi” yang belum tuntas dengan fair dan adil, maka bandingkanlah, misalnya, dengan seorang laki-laki Kepala (pemimpin) keluarga dengan permasalahan rumah tangga nya yang kompleks juga. Bagaimana mungkin seorang Ayah ingin maju sebagai Ketua RW, atau katakanlah ketua organisasi kemasyarakatan dilingkungannya dgn segala kesibukannya, sedangkan dirumahnya saja ada anaknya yg sering bolos kuliah, atap rumahnya bocor, selokan dirumahnya belum bersih 100%, dst. Padahal diawal pernikahan laki-laki ini berjanji pada istrinya untuk membangun rumah tangga yang bahagia/sakinah mawaddah wa rohmah sebelum dia berekspansi melakukan “cita-cita”nya yang lain. Jadi wajar Istrinya menuntut dia menunaikan janjinya dulu, atau tetangga-tetangganya protes dengan pecalonan nya untuk menjadi ketua RW/organisasi kemasyarakatan di lingkungannya. permasalahan Rumah tangganya saja belum beres, eh sudah mau maju ke posisi yang tanggung jawabnya lebih kompleks dan besar, yang pastinya membuat dia makin tak fokus membereskan permasalahan rumah tangganya.. Bagaimana mungkin seorang Jokowi ingin maju sebagai capres, sementara hampir semua permasalahan-permasalahan dijakarta belum selesai dan dia sudah berjanji akan menyelesaikannya (saking banyaknya masalah di Jakarta, Jokowi kemarin-kemarin selalu menjawab “gak mikir” ketika ditanya pencapresan). see?
Soal pencapresan Jokowi ini, coba survei pendapat warga Jakarta. Karena merekalah yang lebih tau kinerja jokowi, mereka yang kemarin memilih jokowi menjadi gubernur, dan mereka yang agaknya lebih mengetahui sukses tidaknya jokowi memenuhi janji-janji kampanye nya dulu. Pertanyaannya sederhana saja; Apakah anda lebih setuju jokowi nyapres atau tetap menjadi gubernur jakarta dulu minimal 5 tahun? Apakah jokowi sudah berhasil merealisasikan janji-janji kampanyenya dulu dijakarta; misalnya mengatasi banjir dan kemacetan? Apa anda puas dengan kepemimpinan jokowi selama ini?
Jawaban-jawaban masyrakat Jakarta yg merasakan langsung kepemimpinan Jokowi (setidaknya sampai saat ini) sangat layak untuk kita pertimbangkan dalam memutuskan untuk memilih atau tidak memilih jokowi dalam pilpres nanti bukan?
Terlepas dari itu semua, menurut saya seharusnya kita tetap bisa berlaku proporsional dalam menyikapi apa-apa yang kita sukai atau benci. Entah itu Jokowi, PDI-P, Prabowo, PKS, Demokrat, apapun itu. Memangnya ketika kita menghina Jokowi, Prabowo mau menanggung dosanya? Atau ketika kita memfitnah Prabowo, Jokowi ikut memikul dosanya dengan kita? Tidak kan, yang ada kita sendiri yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat nanti akan semua itu. So, be wise guys. mind our step.. (",)
“The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem. Do you understand?”