Dalam pola masyarakat, terbentuk sebuah tatatan yang madani. Di mana ini terlahir dari para pemimpin atau raja-raja yang kapabel dalam sebuah kepemimpinan dalam suatu society atau kenegaraan. Atau Justru masyarakat tersebut hilang dari rasa aman, tentram dan banyak timbul gejolak di dalamnya. Bisa jadi, ini lahir dari keraguan masyarakat terhadap pemimpin atau raja pada suatu masyarakat tertentu.
Pada masa peralihan kekuasaan  kerajaan Demak Bintoro kala itu, tepatnya pada tahun 1568. Sunan prawoto secara secara accidental memindahkan kedudukan Kerajaan Demak Bintoro ke Pajang. Demak Bintoro yang awal mulanya didirikan oleh Raden Patah yang termasuk keturunan Brawijaya V memusatkan pemerintahannya di Demak. Letak yang dekat dengan pantai utara menjadikan Kerajaan Bintoro akan maritimnya.
Namun, pada masa peralihan kekuasaan dari Sultan Trenggono ke Sultan Prawoto, kerajaan Demak Bintoro beralih ke Pajang, yang saat ini menjadi Kartasuro. Selain peralihannya yang menandakan pemindahan dari kemaritiman ke agraris. Juga terjadinya konflik internal yang tejadi antara Raden Hadiwijaya alias mas Karebet alias Jaka Tingkir. Meskipun akhirnya, Arya penangsang sebagai pihak oposisi membunuh  Sultan Prawoto dan Raden Hadiri (suami Ratu Kalinyamat) justru terlihat lebih tampak atas ketidaknyamanan dalam kerajaan pada masa itu.
Namun pada akhirnya, Arya Penangsang pun tumbang di tangan Raden Hadiwijaya alias Jaka Tingkir atas bantuan dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Dalam sebuah buku Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Pemanahan  diberi hadiah tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi juga diberi hadiah di daerah Pati untuk mereka kuasai.
Dalam masa emas kerajaan Pajang, tak luput dari seorang yang menulis sebuah serat atau sajak (Macapat) yang mampu menghipnotis para Pemimpin di masa itu. Konon, serat ini menjadi role model terhadap pemimpin-pemimpin selanjutnya. Memang, pada waktu Raden Hadiwijaya ingin menjadikan masa itu perkembangan kesusatraan. Maka muncul lah seorang bernama Pangeran Karang Gayam yang menulis sebuah serat bernama 'serat niti sruti'.
Dalam tulisannya di dalam 'Serat Niti Sruti',  Pangeran Karanggayam memberikan tetuah terhadap  pemimpin  agar mampu dalam menjaga kerukunan dengan rekan-rekannya. Hal itu sangat penting bagi pertahanan dan keamanan agar tidak muncul masalah dari dalam. "Ing tyas den miratos, ngilangena sakserik ing ngakeh. Ngayemana manahing sasami, sasamining ngabdi. Priyen raket rukun. Prihen raket rukun (Di dalam hati siap sedia untuk menghilangkan rasa sakit hati dam ketakpuasan banyak orang, dapat menenangkan dan menenteramkan hati kawan, supaya dapat dekat, rukun dalam pergaulan).
Selain itu, dinasehatkan juga untuk selalu menghilangkan keinginan yang serakah dan wajah agar selalu ramah. Dalam pergaulan agar selalu tenang dan selalu memperhatikan segala pesan. Jangan sampai melupakan yang dilarang maupun yang harus diingat dalam ajaran yang luhur.
Dari salah satu sajak yang saya ambil sudah jelas, bahwa eksistensi kemasyarakatan atau sebuah kelompok tergantung bagaimana seorang pemimpin itu membawanya. Kalau dalam bahasa tarbiyyah 'Atthoriqotu Ahammu Minal Maddah'. Dan ini sudah terbukti dan bisa dikatakan ampuh bagi pemimpin-pemimpin di Indonesia.
Sebetulnya masih banyak lagi tetuah-tetuah yang dilayangkan Pangeran Karang Gayam dalam tulisan 'Serat Niti Sruti'. Namun secuil petikan serat atau sajak tersebut yang umumnya terjadi saat ini. Wallahu a'lam bis-showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H