[caption id="" align="alignnone" width="658" caption="sumber : http://cdn.theatlantic.com/static/mt/assets/steve_clemons/2010_US_MuslimAmerican.jpg"][/caption]
Beberapa hari yang lalu, saya merasa beruntung sekali karena bisa menghadiri pertemuan dengan berbagai komunitas Muslim di Amerika dalam acara Dinner Party di Friend Center of Philadephia. Pertemuan malam itu mengangkat tema “Muslim in America: Building Bridges in A Climate of Fear”. Acara tersebut berjalan santai dan diselingi dengan pemutaran video dokumenter tentang kehidupan imigran Muslim Somalia di Shelbyville, Indiana. Isu utama yang diangkat adalah prejudice dan diskriminasi orang Amerika kulit putih terhadap migran muslim kulit hitam.
Salah satu bagian yang paling menarik dari film tersebut adalah bagaimana usaha-usaha yang dilakukan Muslim Somalia yang ada di Shelbyville dalam merespon berbagai bentuk prejudice (seperti tuduhan teroris, penyebar HIV/AIDS, uneducated etc.) yang ditujukan kepada mereka. Serangan-serangan dari media dan orang-orang Amerika kulit putih yang terus menerus menyudutkan mereka direspon dengan bijak. Dengan dibantu oleh seorang warga Amerika yang juga menjadi guru private bahasa inggrisnya, mereka mulai bersuara meski dengan bahasa inggris yang terbata-bata. Mereka mulai membuka diri, mengajak media berdiskusi untuk mengenal mereka lebih dekat. Lewat media, image negatif tentang mereka pun perlahan mulai berubah. Pada akhirnya, komunitas non-Muslim pun mulai bisa menerima kehadiran mereka yang dibuktikan dalam perjamuan Thanksgiving di rumah salah seorang warga Amerika yang beragama Kristen. Tidak berhenti di situ saja, orang-orang Muslim tersebut juga mengajak mereka yang non-Muslim untuk datang ke rumah mereka dan menikmati jamuan khas ala Afrika. Hubungan antar iman pun terjalin dengan harmonis. Prasangka pun mulai terkikis dan hak-hak mereka pun tetap terjaga yang dibangun melalui jamuan-jamuan makan malam mereka.
***
Selain pemutaran film dokumenter tersebut, hal lain yang menarik malam itu adalah pertemuanku dengan seorang perempuan Amerika yang turut hadir dalam acara tersebut. Penampilannya unik dan agak berbeda dari kebanyakan perempuan Amerika lainnya. Sekilas, jika diperhatikan dari segi fisik tentu saja dia adalah seorang perempuan. Namun ketika aku perhatikan wajahnya yang ditumbuhi cambang, jenggot plus kumis tipis layaknya seorang laki-laki, aku pun buru-buru menarik kesimpulan awalku dan mulai berpikir bahwa dia adalah seorang laki-laki. Awalnya, aku pun ragu dan sempat berdebat dengan temanku. Aku bahkan ngotot kalo dia itu adalah seorang laki-laki. Teka-teki itu pun akhirnya terjawab ketika ternyata perempuan itu memilih bergabung dengan kami dalam satu meja pada sesi Dialogue and Desert.
“Hi, my name is Lisa,” dia memperkenalkan diri dengan ramah. Lisa adalah satu dari sekian perempuan Amerika yang turut hadir malam itu. “I’m Hudri, muslim, from Indonesia”. Aku turut memperkenalkan diri.
“I don’t believe in any religion,” kata Lisa malam itu. Pernyataan Lisa kali ini cukup mengagetkanku. Aku pun mulai bertanya-tanya, trus, buat apa dia di sini? Ini kan pertemuan komunitas Muslim. “I love such gethering because I can learn from the others about their beliefs, meet different people and share the ideas”.
“I begin to learn religion since my father does not want to answer my question”. Hah, bagaimana mungkin seorang Bapak tidak mau menjawab pertanyaan anaknya sendiri, pikirku. “And what’s your question?”, tanyaku. “I asked my father why we have to be Christian?”, dia terdiam sejenak seperti sedang mengingat-ngingat sesuatu. “And you know what, my father never give me the answer till now, and that’s why I chose to study religion at University several years ago.” Pandangannya menerawang jauh seperti ada beban berat bergentayangan dalam dirinya.
“But why you chose to be an atheist?” aku mencoba menelusuri jalan pikirannya. Dia terdiam sejenak lalu berkata, “but why religious people always say good things, but in fact they do the opposite, they behave in a very evil way?”. Beberapa saat aku cuma bisa terdiam mendengar pernyataan sekaligus pertanyaan Lisa. Ya benar juga. Ada banyak orang yang mengaku beragama, tapi mereka senang membunuh, merusak dan merenggut hak orang lain. Tak jarang, orang-orang yang mengaku beragama menjual ayat-ayat suci untuk melegalkan setiap perbuatan mereka. Teks-teks agama menjadi alat pembenaran terhadap berbagai aksi teror, diskriminasi terhadap mereka yang berbeda. Bahkan mereka seringkali saling menyesatkan satu sama lain, saling menghujat dan merasa diri paling benar dan bahkan tak jarang menghalalkan darah-darah mereka.
Lalu, jika sudah begini, keputusan untuk menjadi seorang Ateis, seperti kasus Lisa, bisa saja tepat meski menyisakan banyak perdebatan. Menjadi ateis adalah sebuah pilihan. Begitu juga dengan beragama. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai luhur agama dipahami dan dipraktekan secara damai, dengan akal sehat dan hati nurani, bukan dengan otot dan pentungan ato malah bom rakitan. Bukankah setiap agama mengajarkan cinta kasih, lalu kenapa kita begitu pelit berbagi kasih!!!???
***