Mohon tunggu...
Ibna Wahidah
Ibna Wahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengguna tinta

Rumah untuk singgah Coretan menjadi gemboknya Susunan kata bertahta kuncinya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Luapan Sang Pendosa

29 Mei 2024   13:18 Diperbarui: 29 Mei 2024   13:24 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Luapan Sang Pendosa 


Setiap jejak yang terukir selalu melukiskan sebuah momen entah bahagia ataupun sedih. Terkadang bingung merasuki tanpa berbasa-basi dengan percaya dirinya. Terkadang penyesalan juga ikut saja datang walaupun tidak ada dalam list undangan. Tangis atau tawa menjadi ukuran yang tidak seimbang tanpa tau kejelasan yang harusnya terpampang. Huh, ingin marah tapi apa penyebabnya?,

 

Entahlah,,, andai saja ada seperti di negeri dongeng. Tapi itu hanyalah imajinasi belaka yang entah ada reallitanya atau hanya sebatas khayalan yang tak berguna. Ingin rasanya memuntahkan air yang terbendung di pelupuk mata, berteriak sekencang-kencangnya, haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,,,, hati bergejolak seperti menghadapi sebuah musuh yang sangat jahat, egois, fanatik. Harus bagaimanaaaa?


Makhluk yang sama-sama lemah, tak memiliki daya, hanya kehendak sang kuasa yang memberikan sehgalanya, tapi masih bisa berjalan dengan sombongnya . Dalam hati berkata, "berhati apakah mahkluk ini?". Seketika senyum di bibir yang kecil ini menghilang tergantiikan olehh luapan amarah yang membara, sorot kebencian mulai memenuhi indra penglihatan, ingin meluapkan tapi belum ada tempat yang bisa menampungnya.


Adakah seseorang disana? Yang mampu menampung luapan ini. Yang rela memberikan bahunya untuk bersandar? Yang rela berusaha mengibaskan aura untuk mencairkan es di kutub? Yang mampu menjinakkan jiwa yang liar ini? Yang tak memandang asal muasal? Yang memberikan kehangatan dikala tumpukan salju berduyun-duyun terjun demngan kelembutannya?


Nestapa yang menjelma menjadi sebuah rasa, akankah luluh dengan seseorang itu? Andai bisa kucari,, dimana sekarang kau berada? Apakah sedang berjuang pula? Ataukah sedang nyenyak tertidur? Rasanya terlalu tinggi ekspektasi ini, mengharapkan untuk selalu ada, realitanya entah dimana ia berada. Rancu memang, tapi bagimana lagi?


Gelagat penyesalan mulai lagi terang, memang benar yang dikatakan penyair mengharapkan sesuatu kepada makhluk, berujung kekecewaan. Oksigen yang berkeliaran terperangkap dengan khidmat. Mencoba berdamai dan memunculkan lengkungan manis di bibir dengan berat awalnya. Sangat berat.


Awal dan akhir memang jauh, memang berbeda. Namun ada kesinambungan yang tertera. Lupakan semua, haha itu hal yang tidak mungkin kecuali amnesia. Tapi cukup jadikan icon yang harus dibungkus rapi agar tidak berkeliaran dipadang pemikiran. Semua hal yang terjadi, ada bunga yang harus di rawat agar tumbuh dengan subur dan memberikan efek yang baik untuk lingkungan.


Terima kasih untuk luapan ini, setidaknya mengobati luka yang sudah tercipta

baik baru maupun yang baru. Dari hal itu pendosa ini hanya berusaha untuk IKHLAS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun