Mohon tunggu...
muhammad bambang pontas rambe
muhammad bambang pontas rambe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Siapa yang kan sapa sepiku ? kala sangkakala Sang Tunggal ditiupkan , tanggalkan akhir pada hari , tinggalkan aku sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Sufi Sinta

18 Januari 2014   01:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan lagi, Tuhan lagi…. Emang lu ga ada pembicaraan lain, selain Tuhan?.Ga bosen?Pertanyaan ini keluar dari bibir Otto ditengah-tengah pembicaraan temannya.Ia kembali menghidupkan roko’nya, kemudian menghisapnya dengan penuh hikmat. Hufff… hembusnya, dan hampir seluruh asap yang bersirkulasi dari mulut, paru-paru, hingga keluar kembali dari mulut, memenuhi setiap sudut ruangan kecil itu. diteguknya kopi hitam yang berada tepat di atas meja kecil didepannya. Seiring dengan tegukan pertamanya, kesegaran zat yang terdapat di dalam Kopi, juga mengalir kesekujur tubuhnya.

Sinta, yang agak jengkel dengan Otto yang menyela ditengah pembicaraannya pun hanya bisa diam tanpa kata. Disamping jengkel, ia juga sadar bahwa hampir satu bulan Sinta hanya terfokus pada kajian kajian teologi yang bahkan diirinya sulit untuk memahami. mmm… Tampaknya Otto ingin memulai pembicaraannya lagi.Tapi sebelum itu, Sinta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan Otto.Laki-laki berjanggut tipis berkulit sawo matang itu bukannya mengejar Sinta, malah tersenyum sinis. Dari senyumannya seakan tergambarkan pelecehan Intelektual yang mungkin akan menggoreskan luka yang cukup dalam di hati Sinta.

Sinta yang keluar dari pintu kamar Otto, berjalan dengan kaki gemetar.Wajahnya pucat, tubuhnya terasa begitu ringan seakan dewa Apollo memasuki raganya dan menginginkannya untuk terbang menemani Sang Dewa. BLEP!!!.Sinta terjatuh. Dia masih bisa melihat langit biru, hingga Otto datang menghampirinya dan….

Sinta, Sinta!!!.Sinta mendengar suara memanggil manggilnya. Suara itu seakan ingin menyadarkan Sinta bahwa ia sedang tertidur, bahkan bermimpi. Tapi Sinta enggan mendengar suara itu.entah kenapa, semakin ia mendengar suara itu, semakin terasa goresan luka yang ada tepat dibagian terdalam hati nuraninya.

Tidak!! Kata Sinta dengan yakin. Tidak!!, aku tidak sedang tidur. Kalimat terakhir ini meyakinkan dirinya bahwa saat ini ia sedang tidak tidur. Tapi, ia tidak melihat apa pun kecuali kegelapan yang mungkin tidak akan ada habisnya.

Bodo’!!, ucapnya pasti..

Ia pun berjalan menelusuri kegelapan yang ia sendiri pun tidak yakin akan berakhir dimana. Langkah demi langkah ia hentakkan. “Aneh!!” ucapnya.Ia tidak merasakan apa pun, bahkan tanah sekalipun sebagai latar pijakan kakinya. Lantas??.Apakah yang sedang aku pijak?Tanah? Atau udara?. Walau agak takut untuk memikirkannya, ia berusaha untuk memecahkan teka-teki itu, tanpa melihat ke arah bawah.

Ditengah-tengah perjalanannya, tiba-tiba cahaya yang entah darimana asalnya, muncul begitu saja menghampirinya.Ia tidak takut, bahkan tidak bertanya apa pun tentang Cahaya itu. yang ia fikirkan hanya “Apa yang aku pijak sekarang?”.

Tik-tok-tik-tok… jam dinding yang berada diatas kepala Otto sama sekali tidak bersuara. Suara (Tik-tok) itu, berasal dari balik tulang rusuknya.Khawatir, cemas, takut, dan segala hal mengerikan menghampiri perasaannya.Begitu banyak orang lalu-lalang dihadapannya.Akan tetapi, fikirannya terfokus pada kenyataan bahwa Kekasih manisnya difonis terkena kanker sel darah putih beberapa menit yang lalu oleh seorang lelaki tua berjas putih.

“Otto!!!” teriak seorang wanita setengah baya sambil melambai-lambaikan tangannya.Wanita itu dipenuhi dengan rasa takut dan cemas.Siapa-pun dapat memastikan hal itu hanya dengan melihat mimik wajahnya. Tanpa menoleh sedikitpun, Otto mengangkat tangannya sebagai Isyarat bahwa ia berada disitu. “Wanita ini Bodoh!!” (fikirnya).

“Dimana Sinta?” “Apa yang terjadi?” “kenapa kau tak langsung menghubungi kami?”.

Wanita itu melancarkan berbagai pertanyaan.Tanpa berkata sepatah kata pun, Otto melangkah pergi menjauh dari wanita itu.karena kesal dengan perlakuan Otto, wanita itu menarik lengan bajunya dan berkata “Kemana kau pergi?”.

“Diam disini dan jangan bertanya apa-pun, pada siapa pun” ucap Otto pasti!

Wanita itu kaget bukan kepalang mendengar bentakan Otto. 3 tahun sudah, ia mengenal Otto, dan baru kali ini ia melihatnya marah. Raut wajahnya cukup datar.Bentakannya pun tidak sekeras gledek mini.Tapi, kepastiannya berucap lah yang merubah seluruh Energi yang berada diruangan itu.kerutan diwajah Wanita tua itu pun semakin terlihat jelas. Ditambah warna merah yang berpadu dengan kulit pucat keriputnya.Perlahan, tanpa dorongan untuk menangis, wanita itu meneteskan air mata ke pipihnya.Air mata itu membelah bagian bagian lusuh pipih tua nya.

Menangis… dan menangis…, mungkin hanya itu lah yang bisa dilakukan seorang ibu ketika mendengar anak satu-satunya terkena penyakit mengerikan. Air mata yang mengucur semakin deras setiap detiknya, sama sekali tidak merubah apa pun. Ya!! Semua orang diruangan itu masih berlalu lalang.Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.Tak ada seorang pun yang ingin mendengar keluh-kesah wanita tua ini.ditengah-tengah keheningan jiwanya, seorang lelaki tua berjas putih yang biasa disebut Dokter oleh banyak orang, menyeru “keluarga Sinta???”.

Sontak wanita tua itu melihat kearah Dokter.Ia berjalan perlahan menuju si Dokter. Disetiap langkah kakinya, kekhawatiran terus meliputi.Semakin dekat dengan Dokter, semakin gelap terasa Jiwa nya.Masih begitu banyak suara ditengh-tengah keramaian Rumah Sakit. Tapi, tak satu pun suara yang ia dengar kecuali kekhawatiran hatinya, jeritan bathinnya, dan semua suara yang berasal dari dalam dadanya.

“BU!!” suara parau si Dokter lah yang mampu mengalihkan perhatiannya dari jeritan bathinnya. “Anda keluarga Sinta?”,

“Ya!!, saya ibunya”

Maaf bu, anak ibu tidak bisa kami selamatkan.

Gelap, dan hanya kegelapan yang ada.Tidak ada lagi Cahaya yang mampu membuat matanya melihat sekeliling. Darah yang mengalir disekujur tubuhnya semakin deras, air matanya pun mengalir bagai air terjun nan deras.

Sinta, masih berjalan ditemani Cahaya yang begitu terang.Ia masih bertanya-tanya dimana ia sekarang, dimana ia berpijak, dan masih banyak pertanyaan pertanyaan lain yang bisa saja tak terjawab sampai kapan-pun. Tapi kemungkinan mengerikan itu, ditepisnya dengan segala prasangka baik yang ia munculkan dengan penuh kemunafikan. Perjalanannya yang cukup panjang, telah memperlihatkan banyak hal kepadanya.Terutama, tentang masa lalunya.

Ia masih berjalan… dan berjalan…

Hingga dipersimpangan jalan, ia melihat lelaki tua. Ia merasa senang karena bertemu orang lain yang mungkin bisa ia ajak berbincang, tapi ia juga bingung, karena merasa aneh melihat lelaki tua sendirian ditengah kegelapan. “Pak..” sapanya kepada lelaki tua itu. “Aneh” fikirnya…

Lelaki tua itu malah mengulurkan tangan.Dan dengan tangan bergetar dan berkata “Aku lah Tuhanmu.”

Seiring dengan perkataan lelaki tua itu, cahaya mulai menerangi setiap sudut ruangan.Sinta terkejut melihat sekelilingnya yang begitu terang dan begitu luas.Ia mampu melihat kemana pun… terang…dan terang sekali. “Ini Mukjizat” serunya dalam hati.Sinta tidak lagi bisa menggambarkan suasana gelap yang meliputinya beberapa detik yang lalu.Semakin panjang perjalanan yang dilaluinya, semakin banyak pertanyaan yang ada dibenaknya, semakin bingung, dan semakin merasa bodoh.

Sinta menarik nafas panjang, dan kemudian berkata “Kenapa Kau??, Kenapa harus Kau?, Kenapa Tuhanku adalah seorang pria tua yang ringkih?”.

“Kenapa kau berkata seperti itu Sinta?” tanya lelaki tua itu dengan nada yang sedikit keras.

“Aku fikir Tuhanku adalah Dia Yang Maha Segalanya. Maha Kuat, Maha Kaya, Maha Gagah, dan Maha Sempurna”.

Senyum sinis terlihat di wajah lelaki tua.Dia hanya tersenyum dan kemudian mulai melangkah menjauhi Sinta.Selangkah, demi selangkah mulai menjauh. Seiring dengan itu, Cahaya yang tadinya meliputi Sinta, mulai surut mengikuti jejak sang lelaki tua. Sinta pun merasa bingung, dan kemudian…

“SINTA!!!” teriak sosok dengan pakaian hitam.Suaranya bagai suara petir yang menyambar ditengah derasnya hujan. Sinta tidak lagi merasakan kedamaian dan ketenangan seperti yang ia rasakan ketika berhadapan dengan lelaki tua tadi. Bibirnya bergetar, tubuhnya hampir saja jatuh menghempas tanah…

“Kau bukanlah yang ditunggu Yang Maha Kasih!, Kembali lah!, karena kau belum mencapai puncak pengetahuanmu.!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun