Mohon tunggu...
Iben Nuriska
Iben Nuriska Mohon Tunggu... -

(bukan) seorang suami dari istrinya. (bukan) seorang ayah di anak-anaknya. sedang belajar dari sekolah kehidupan. menulis menjadi kesenangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menantu Ayah

30 Mei 2012   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:36 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menantu Ayah

Sambil berbaring aku menatap langit-langit kamar. Dan seketika, waktu menyusut. Meski telah bertahun-tahun berlalu, aku merasa beberapa peristiwa yang pernah kualami bersama ayahku baru saja terjadi.

Peristiwa pertama, tentang langit-langit kamarku yang biasa kusebut loteng. Papan triplek yang dipotong persegi dengan panjang 1m dan lebar 50cm. Proses pelotengan inilah untuk pertama kalinya kedua tanganku mengakrabi alat-alat pertukangan. Ayahku memintaku menggergaji berhelai-helai papan triplek menuruti garis yang diteranya. Dengan senang hati aku mengerjakannya.

Aku merasa peristiwa itu baru saja terjadi. Begitu mudahnya waktu menyusut sekehendak perasaan. Masih terdengar jelas paduan irama seretan gergaji pada papan triplek itu beriringan ketok palu ayahku memaku potongan-potongan triplek gergajianku. Dan paku-paku yang begitu kuat menancap di ambang loteng itu masih terlihat jelas. Sedang ayahku, yang memakukannya, yang pada saat itu mengajariku agar mencintai pekerjaan, tak lagi dapat kulihat.

Rasanya baru kemarin. Apakah semudah itu panjang-pendek waktu ditentukan? Semudah merasakan kenangan? Tapi sungguh, rasanya baru kemarin. Peristiwa kedua yang membuatku tersipu di depan teman-temanku. Ketika ayahku dengan tergopoh-gopoh keluar dari kamar kosku di jogja. Dia mendengar teman kuliahku mengganti namaku dengan sebutan sayang. "Mana menantuku?" seru ayahku sambil berlari. "Mana menantuku," tanya ayahku pada kelima temanku begitu ia tiba di tengah-tengah kami sambil terengah-engah. Dan mukaku bersemu merah, karena dia yang memanggilku sayang tak lebih dari teman biasa.

Dan rasanya juga baru kemarin. Peristiwa ketiga, peristiwa yang masih sangat jelas kulihat, ketika tiba-tiba, di malam itu, ayahku mendadak sesak nafas dan memintaku mengurut punggungnya. Rasanya baru kemarin, tubuh ayahku tiba-tiba membeku dan aku membaringkannya. Dan saat aku bersama keluarga dan kerabat mengantarnya ke pemakaman, belum ada menantunya yang mendampingiku.

Di loteng itu, kini, aku melihat kedua tangan ayahku sedang menantikan tangis bayi yang dilahirkan oleh menantunya yang, hingga saat ini, ketika waktu tidak memanjang dan menyusut, belum kutemukan.

rumahkata batubelah, 230512

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun