Mohon tunggu...
Iqbal Prihastowo
Iqbal Prihastowo Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman\r\n:-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Politik Bhinneka Tunggal Ika Dalam Keragaman Budaya Indonesia

28 Juni 2011   18:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:05 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia, negara yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai sebuah cita-cita untuk persatuan dan kesatuan bangsa ternyata telah menunjukkan kegagalan. Istilah tersebut mengandung nilai persatuan dan kesatuan yang ditanamkan ke seluruh bangsa Indonesia. Cita-cita persatuan dan kesatuan ini merupakan cita-cita yang “haram” untuk digugat oleh siapapun terutama oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Namun cita-cita yang cenderung memaksa tersebut justru malah menimbulkan masalah-masalah baru.

Konsep “bangsa yang satu” telah dipopulerkan sejak era pemerintahan Soekarno, dan pada era Soeharto diterjemahkan melalui politik “asas tunggal” yang menekankan homogenitas masyarakat. Secara represif, politik “asas tunggal” ditanamkan ke seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini justru menimbulkan resiko disintegrasi dari masyarakat itu sendiri, mengingat beragamnya suku bangsa, etnis, ras, serta agama di Indonesia. Keragaman etnis seolah dikesampingkan demi mencapai cita-cita persatuan dan kesatuan, karena dinilai menghambat integrasi masyarakat Indonesia.

Resiko disintegrasi tersebut telah dibuktikan dengan memisahnya Timor-timur dari wilayah NKRI, serta munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal-hal tersebut wajar terjadi karena adanya dominasi dari etnis mayoritas di Indonesia (Jawa) dalam pelaksanaan kegiatan atau kebijakan guna memenuhi cita-cita persatuan dan kesatuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kegagalan dalam pemenuhan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Dalam hal agama dan kepercayaan, telah terjadi kesalahan yang fatal yang dilakukan oleh pemerintah, terutama pada era pemerintahan rezim orde baru. Berawal dari era tersebut, kebebasan beragama dan menganut kepercayaan telah dikekang oleh pemerintah, namun seolah-seolah memberikan kebebasan dengan memberikan lima pilihan agama yang boleh dianut di Indonesia. Hal ini mengakibatkan punahnya keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Salah satunya adalah agama Konghucu yang tidak mampu berkembang akibat tekanan politik. Pada hal kepercayaan, di berbagai daerah dikenal Permalim, Pelbegu, Kaharingan, dan lain-lain yang tidak mendapatkan ruang ekspresi akibat kebijakan agama yang seolah menentang adanya pluralitas.

Hal ini telah menunjukkan kegagalan bangsa Indonesia, terutama pemerintahnya dalam membawa Indonesia ke negara persatuan dan kesatuan. Ditambah lagi dengan adanya modernisasi yang dibawa oleh negara dan pasar dalam berbagai bentuk. Kebhinnekatunggalikaan telah melahirkan suatu politik budaya yang represif yang melahirkan berbagai bentuk resistensi dan konflik yang laten. Parsudi Suparlan mengatakan bahwa bhinneka tunggal ika itu hanya dapat berlangsung dengan empat syarat, yaitu harus didasarkan pada pembentukan masyarakat sipil, adanya demokrasi sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memperlakukan hak satu dengan yang lain secara sama, dan harus ada penegakan hukum untuk menjamin keteraturan. Namun justru empat hal itulah yang mengalami kerusakan paling parah di Indonesia. Dengan adanya pengingkaran terhadap keberagaman budaya yang berlangsung secara terus menerus, cita-cita persatuan dan kesatuan akan sulit untuk terwujud.

Bila kita mengingat para pejuang dan pemikir multikulturalisme, pluralisme, atau kesetaraan hak seperti Bhiku Parekh, Lawrence Blum, Voltaire, Nelson Mandela, Nur Kholis Majid, atau John Lennon sekalipun, sebenarnya secara tidak sadar pun kita memiliki impian yang sama dengan mereka. Impian tersebut adalah keharmonisan dalam kehidupan manusia di seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kehidupan manusia telah berdampak pada perpecahan antara satu sama lain. Toleransi yang dibawa oleh Voltaire telah tercacati oleh perilaku manusia itu sendiri. Disintegrasi terjadi dimana-mana, diskriminasi ras serta agama pun selalu hadir di dalam kelompok masyarakat yang kompleks, masyarakat yang beragam.

Jutaan orang Yahudi dibunuh di Jerman pada masa pemerintahan fasis Adolf Hitler, jutaan orang berkulit hitam di Afrika Selatan didiskriminasi secara sosial dan politik oleh para koloni berkulit putih. Contoh-contoh tersebut hanya dua dari sekian banyak kasus diskriminasi dan intoleransi antar umat manusia yang terjadi di Planet Bumi ini. Kekesalan terjadi dimana-mana, ketakutan muncul setiap waktu, dan kekecewaan selalu menghampiri. Impian akan menjadi omong kosong apabila manusia tidak mampu dan tidak mau untuk saling menghargai satu sama lain. Tidak hanya menghargai, namun juga membela dan saling memperjuangkan hak-hak yang kian lama kian pudar, hak yang kian lama hanya beberapa manusia saja yang mampu menikmatinya.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya, ras, etnis, dan agama yang paling besar di dunia telah menunjukkan kegagalan dalam menciptakan masyarakat yang integratif. Bahkan semboyan yang mengedepankan persatuan dan kesatuan (Bhinneka Tunggal Ika) pun justru menimbulkan masalah-masalah baru di dalamnya. Konflik antar identitas (agama, suku, etnis) terjadi dimana-mana, gerakan separatis bermunculan, dan diskriminasi ras, agama, dan kepercayaan pun hadir mewarnainya.

Sebuah harapan yang mustahil untuk menciptakan persatuan dan kesatuan ketika masyarakat Indonesia belum mampu dikontrol dan diarahkan untuk secara bersama-sama mewujudkan cita-cita tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah lah yang mengambil peran untuk menangani permasalahan seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun