Di penghujung 2018 dan awal 2019, publik disuguhi informasi usang seputar penyitaan buku-buku beraliran Marxisme/Leninisme. Referensi perspektif kiri disita karena ia dianggap 'hantu' yang menakutkan. Menariknya, aktor yang menyita buku adalah para pemain lama, baik TNI, Kepolisian maupun Kejaksaan, dan disokong pemerintah daerah. Hal ini setidaknya terjadi di Kediri-Jawa Timur, dan di Padang-Sumatera Barat.
Peristiwa ini sebetulnya menambah panjang barisan keterlibatan militer membatasi akses publik terhadap wacana marxisme sebagai sistem berpikir, metode ilmiah dan ideologi, serta komunisme dalam kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan pembantaian massal pada 1965 pasca perang dunia kedua.
Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa militer tidak pernah berhenti membuat sensasi terkait referensi dan dialektika berhaluan kiri? Dan, konteks sosial-politik macam manakah yang memungkinkan wacana ini terus memanas?
TNI telah dan sedang menghadapi semacam 'tuduhan' bahwa salah satu aktor besar yang mendesain genosida di Indonesia adalah militer. Benedict Anderson dan Ruth T Mcvey dalam Cornel Paper (2017), sebuah analisis awal, menunjukkan bahwa genosida itu dipautkan dengan konflik internal Angkatan Darat (AD). Pihak yang mesti bertanggungjawab atas rentetan peristiwa itu adalah militer. Pasca kekalahan politik Belanda dan nasionalisasi perusahaan asing, aset negara dikelola oleh militer, dan kemudian diserahkan kepada pengusaha China. Lambat-laun, ketika Soeharto mengambil-alih kekuasaan sesudah supersemar, relasi ekonomi antara militer dan pengusaha dikendalikan oleh Soeharto. Tentu, segala sesuatu yang beririsan dengan Soekarno dan PKI, turut dilenyapkan oleh rezim Soeharto melalui tangan militer.
Pada sisi lain, genosida ini juga dikaitkan dengan gejolak pertarungan ideologi di tingkat global antara komunisme yang disokong Uni Soviet versus kapitalisme anak kandung liberalisme yang didukung secara masif oleh Amerika Serikat. Untuk memutus mata rantai Komunisme, AS mendukung militer Indonesia untuk menghancurkan gerakan kiri. Dengan demikian, tak dapat disangkal keterlibatan militer sebagai agen dan aktor genosida.
Dalam ranah dialektika, aksi mencekal buku-buku Marxisme yang beredar di tengah masyarakat dapat dilihat sebagai upaya menghapus jejak militer pada tahun 1965/1966. Lebih dari itu, walau telah memasuki etape pasca otoritarian, negara Indonesia sebetulnya masih diwariskan benih-benih totalitarian negara yang diprakarsai oleh militer.
Hingga saat ini, proses rekonsiliasi terhadap para korban pembantaian masal 1965-1966 tidak pernah terwujud. Salah satu tantangan yang masih menuai protes yakni tidak adanya proses pengadilan terhadap para pelaku genosida yang dilakukan secara terbuka. Kekosongan celah ini menghambat rasa keadilan para korban. Keadilan dapat terjadi, salah satunya, jika melewati proses pengakuan dari para pelaku, dan diikuti oleh pemaafan dari para korban. Di sana, lahirlah rekonsiliasi. Untuk sampai pada tahap ini, negara semestinya menciptakan prakondisi-prakondisi yang membiarkan pelaku mengakui tindakan pembantaian kepada publik umumnya dan para korban khususnya.
Tapi, peta politik di istana saat ini membuat kita pesimis, sebab faksi militer masih dibutuhkan oleh istana untuk menciptakan situasi politik yang kondusif. Ada politik simbiosis-mutualis antara militer dan istana. Istana membutuhkan sokongan militer, dan militer membutuhkan jejaring kekuasaan untuk mengamankan kepentingan, walau harus diakui bahwa agak pelik membongkar relasi kuasa kedua institusi ini.
Meski demikian, militer terus menebar ketakutan akan marxisme. Ketakutan ini adalah ketakutan artifisial, sesuatu yang dangkal. Militer mengekang orang untuk membaca buku-buku. Buku mana yang harus dibaca, rupanya perlu diatur oleh militer. Kebebasan orang untuk mencari informasi dan kehendak untuk memperdalam pengetahuan, masih terus dikerangkeng oleh militer. Padahal, marxisme atau komunisme, di tataran ide, telah direnungkan secara mendalam dan kemudian dijadikan sebagai pijakan yang adekuat bagi Soekarno dan para pendiri bangsa dalam menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.
Pada tahun 1928 di Suluh Indonesia Muda, yang kemudian diterbitkan kembali dalam masterpiece-nya, Â Dibawah Bendera Revolusi, Soekarno menegaskan bahwa sosialisme atau komunisme akan berdiri berhadap-hadapan dengan kapitalisme untuk saling memerangi. Dimana ada kapitalisme di sana akan ada sosialisme. Sosialisme, demikian Soekarno, adalah "suatu reaksi, suatu faham perlawanan terhadap pada [sic] kapitalisme [...]. Ia adalah anaknya kapitalisme, tetapi ia adalah pula suatu kekuatan yang mencoba menghancurkan kapitalisme" (2005:57). Â
Jika sosialisme atau komunisme itu eksis oleh adanya kapitalisme, maka yang menjadi 'hantu' bukanlah marxisme, apalagi buku-buku kiri, melainkan kapitalisme. Kapitalisme telah memuluskan penumpukan kapital pada segelintir elite di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Ia menjelmakan dirinya dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari politik, budaya, hingga agama.