Saya masih ingat pada akhir tahun 2013 lalu saya sangat bersemangat pergi melangkahkan kaki mengayunkan tangan menuju gerbang dunia perkuliahan. Semuanya terasa sangat baru bagi saya selaku mahasiswa baru pada saat itu.Â
Dengan berpakaian baju putih celana dasar hitam, saya merasa kepercayaan diri saya meningkat ke level tertinggi ketika berjalan di dekat anak-anak SMA. Lubang hidung saya menjadi kembang kempis karena merasa sangat berwibawa waktu itu. "Selamat tinggal putih abu-abu!" ucap saya. Saya akan menjadi seorang pria dewasa!.
Namun seiring berjalannya waktu, saya semakin tahu bagaimana sebenarnya dunia perkuliahan itu dan hidup seperti apa yang menanti di dalamnya. Tugas harian yang gak pernah berhenti, deadline yang semakin menjadi-jadi, praktikum yang banyak memakan biaya, sampai stok indomie yang lupa ditarok dimana. Semua itu belum ada apa-apanya sampai kita berada pada satu titik dimana realita tak sebanding dengan kenyataan. Tugas akhir kuliah atau yang lebih kerennya Skripsi.
Skripsi bisa menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi kalangan mahasiswa apalagi mahasiswa yang sudah dari tahun ke tahun menduduki kursi tunggu dosen di depan prodi atau jurusan. Biasanya mahasiswa ini bentuknya beranekaragam.Â
Ada yang berjenggot lebat, ada yang berkumis lebat, ada yang berambut gondrong (biasanya menjadi idola mahasiswa baru), ada yang selalu nongkrong di kantin sampai-sampai ibu kantin hafal kalau hari ini dia bakalan ngutang lagi, ada yang gak nongol-nongol lagi tapi masih terdaftar sebagai 'donatur' tetap kampusnya, ada yang menenteng anak kemana-mana (akhir-akhir ini saya tahu kalau itu ternyata penjaga kampus), serta masih banyak lagi jenis mahasiswa tua yang gak mungkin muat kalau saya sebutkan satu persatu.
Dari sekian banyak jenis mahasiswa tua, cita-cita mereka tetap sama. Cita-cita yang sudah diproklamirkan semenjak melewati batas normal 4 tahun kuliah, CEPAT WISUDA!. Apapun bakalan dilakukan oleh mahasiswa tua, mulai dari nyari joki buat skripsi, mencoba Sok Kenal Sok Dekat (SKSD) ama dosen (dengan harapan dikasih tanda tangan nantinya), sampai jadi 'kuli' dosen buat disuruh-suruh kesana-kemari. Semua itu dilakukan mahasiwa tua dengan harapan dapat mewujudkan cita-cita mulia mereka, CEPAT WISUDA.
Namun tak sedikit juga mahasiswa tua yang menyerah angkat koper dari kampus tercinta dan lebih memilih mencari kegiatan lain yang dirasa menguntungkan.Â
Dengan berbagai alasan mulai dari dosen yang susah dihubungi, revisian yang gak kelar-kelar, dosen yang pura-pura sibuk, sampai adanya rapat jurusan tiap minggu yang mengharuskan dosen buat nongkrong bareng sambil makan bakwan goreng!. Apapun itu, kendala yang dirasa memberatkan menjadi salah satu alasan terbesar kenapa masih adanya nama-nama mahasiswa tua beredar di data kampus itu sendiri.
Terlepas dari banyaknya revisian, susahnya membuat alat ukur penelitian, buku yang susah dicari, dosen yang ngilang tiap kali ditemui, sampai ada yang kawin lari. Mahasiswa tua tetap menjadi salah satu devisa Negara Kesatuan Kampus Indonesia (NKKI -- yang saya proklamirkan sendiri) yang wajib untuk diperhatikan haknya.Â
Dengan semakin bertambahnya umur, maka beban psikologis yang diderita mahasiswa tua bakalan bertambah berkali lipat. Perkembangan umur yang tidak dibarengi dengan perkembangan tingkat pendidikan (stuck di S1) membuat mahasiswa tua makin bertambah stres dari hari ke hari. Dan lagi dengan adanya bayang-bayang DO (Drop Out) membuat beban stres bertambah berkali-kali lipat dari biasanya.
Daripada itu semua, mahasiswa tua tetaplah seorang manusia yang memiliki cita-cita mulia memajukan bangsanya dengan tidak menjadi "pengangguran terang-terangan" walaupun harus menyaksikan teman-temannya wisuda satu persatu. Mahasiswa tua adalah pejuang suci yang berjuang untuk mewujudkan cita-citanya yang sangat mulia, CEPAT WISUDA(H)!