1. Wilayah Propinsi;
2. Wilayah tertentu secara parsial".
Selanjutnya berdasar pada Pasal 15 ayat (2) UU Kehutanan jo. Pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan hutan untuk wilayah propinsi yang dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan Pasal 18 ayat (2) PP 44/04 dijelaskan bahwa untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan kawasan hutan provinsi sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka TGHK tahun 1982 tersebut secara hukum dapat dianggap memiliki kekuatan hukum sebagai untuk diberlakukan dikarenakan hal-hal berikut:
1. TGHK merupakan suatu peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan yang belum dicabut/dirubah;
2. Pertimbangan RTRWP dan/atau pemaduserasian antara RTRWP dengan TGHK tidak menjadi suatu dasar yang dapat diambil secara mutlak dalam menetapkan suatu penunjukkan kawasan hutan.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 82 UU Kehutanan yang menyebutkan bahwa"semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini."
Dengan demikian untuk menumbuhkan iklim investasi yang terkait dengan masalah pengukuhan kawasan hutan, hendaknya pemerintah menerbitkan peraturan pengukuhan kawasan hutan seperti apa yang maksud dalam UU Kehutanan.
*Alumni Fakultas Hukum, Universitas Indonesia 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H